SEMARANG (jatengtoday.com) – UIN Walisongo Semarang kembali menambah profesor baru. Prof Dr Musahadi MAg resmi dikukuhkan menjadi Guru Besar bidang Ilmu Hukum Islam pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI).
Ia dikukuhkan langsung oleh Rektor UIN Walisongo Semarang Prof Dr Imam Taufiq MAg, di Auditorium II Kampus 3, Rabu (8/1/2020).
Dalam meraih gelarnya, Prof Musahadi mengangkat pidato ilmiah tentang ‘Fikih Prasmanan (Mencermati Disrupsi di Bidang Hukum Islam)’.
Menurutnya, saat ini orang dapat mengekplorasi pengetahuan fikih lintas mazhab, mulai dari yang paling konservatif fundamentalis hingga yang paling liberal, cukup melalui searching dan googling. Semua orang bisa menyeleksi, memformulasikan, dan mengeksekusi sendiri ‘menu-menu’ fikih tersebut.
“Proses pengambilan keputusan mengenai menu mana yang akan diambil berada di tangan mereka, dan dapat dilakukan sendiri secara personal. Inilah yang saya maksud dengan fenomena ‘Fikih Prasmanan’ yang suka atau tidak suka telah hadir dalam era disrupsi ini,” jelasnya.
Menurutnya, banyak netizen yang mengakses pengetahuan fikih tanpa guru yang jelas serta tidak memperhatikan sanad keilmuan yang jelas. “Mereka menjadi santri milenial yang belajar fikih melalui kyai Google. Cara ini bisa berbahaya, karena tanpa bimbingan guru, sangat berpotensi terpapar terorisme,” imbuh Musahadi.
Sementara itu Rektor UIN Walisongo Prof Imam Taufik menyatakan pengukuhan ini merupakan anugerah bukan hanya bagi Prof Musahadi dan keluarga, tetapi juga bagi kampus. Sebab, ia tercatat menjadi Guru Besar UIN Walisongo ke-27.
Menurutnya gagasan ‘Fikih Prasmanan’ sangat relevan untuk menjawab cara beragama muslim Indonesia dewasa ini dengan beberapa pertimbangan. Apalagi saat ini siapa pun punya kebebasan untuk mengakses informasi, siapa saja boleh membuat fatwa, sehingga kita dihadapkan pada dua hal, otoritas dan kualitas.
“Ustadz dengan jumlah follower yang banyak menjadi otoritatif di ruang digital, meski pengetahuan agamanya terbatas. Sementara kyai yang memiliki kualitas yang memadai tidak memiliki otoritas di ruang digital karena jumlah follower yang sedikit. Akibatnya agama disimplifikasi dengan citra virtual, bukan kapasitas ilmu,” paparnya. (*)
editor : ricky fitriyanto