in

Tunggakan BPJS Menggunung di Semua Rumah Sakit Kota Semarang, Nilainya Mencengangkan

SEMARANG (jatengtoday.com) – Sejumlah pengelola rumah sakit di Kota Semarang mengeluh hingga kini belum dibayar oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Bahkan hal itu terjadi hampir di seluruh rumah sakit di Kota Semarang yakni kurang lebih berjumlah 26 rumah sakit. Nilainya kian menggunung dan mencengangkan, karena tunggakan di masing-masing rumah sakit mencapai puluhan miliar yang belum dibayarkan oleh BPJS.

Direktur RSUD KRMT Wongsonegoro, Susi Herawati, mengungkapkan di rumah sakitnya tunggakan BPJS yang belum dibayar mencapai Rp 51 miliar untuk 2019. “Tidak hanya itu, tunggakan 2018 juga masih ada, yakni kurang lebih Rp 8 miliar,” kata Susi, Rabu (21/8/2019).

Kondisi tersebut secara otomatis berdampak pada operasional. “Kemampuan kami untuk belanja kebutuhan peralatan terganggu karena memang BPJS masih menunggak Rp 51 miliar untuk 2019,” katanya.

Pihaknya telah berkomunikasi dengan Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA) Seluruh Indonesia Provinsi Jawa Tengah dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi). Bahkan telah melayangkan surat kepada Presiden RI Joko Widodo beberapa waktu lalu.

“Namun tampaknya keuangan mereka (BPJS) yang tidak mencukupi. Tapi kami tidak berpikir BPJS punya uang atau tidak, kami berpikirnya sana bayar ke sini. Gitu aja. Sesuai Tupoksi, saya (rumah sakit) melayani masyarakat, Tupoksi dia (BPJS) membayar. Saya tidak mengerti apakah, di sana ada manajemen bagaimana saya tidak mengerti. Yang jelas apa yang telah kami berikan pelayanan tentunya segera dibayar. Itu saja,” bebernya.

Permasalahan tersebut telah lama menjadi permasalahan yang dikeluhkan oleh para pengelola rumah sakit. “Kami hanya minta apa yang telah kami lakukan segera dibayar. Karena kami kan juga sudah diverifikasi,” katanya.

Tidak hanya masalah tunggakan pembayaran, permasalahan lain adalah diberlakukannya kebijakan rujukan berjenjang BPJS. Dalam rujukan berjenjang ini, pasien harus ke rumah sakit Tipe D hingga maksimal, baru ke Tipe C, selanjutnya Tipe B dan A. Dalam praktiknya di lapangan, masyarakat kerepotan dan cenderung dirugikan karena tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan secara cepat.

“Misalnya ada pasien dari warga tidak mampu rumahnya di daerah Rowosari Tembalang. Tapi karena aturannya Rujukan Berjenjang, dia harus menuju ke Tipe D, lalu Tipe C, yang lokasinya jauh. Dia tidak bisa langsung ke RSUD Wongsonegoro yang Tipe B dan posisinya dekat dengan warga Rowosari,” terangnya.

Dengan diberlakukan Rujukan Berjenjang, pasien umum tanpa BPJS di rumah sakit RSUD Wongsonegoro cenderung mengalami peningkatan. Sebab, banyak masyarakat ingin langsung mendapat pelayanan cepat di rumah sakit Tipe B dengan cara membayar atau tanpa BPJS. “Program Rujukan Berjenjang ini cenderung merepotkan. Meski ada peningkatan jumlah pasien umum (bukan BPJS) di RSUD Wongsonegoro. Saya bukan berarti senang, tidak. Sebenarnya saya justru sedih, karena ada hak pasien yang tidak bisa terpenuhi. Ada hak-hak masyarakat yang tidak bisa diberikan, karena adanya rujukan berjenjang tadi,” katanya.

Kalau masyarakat harus menuju ke rumah sakit tipe D atau C yang lokasinya jauh dari tempat tinggalnya, biayanya juga membengkak untuk transportasi. “Saya rasa hal-hal seperti itu perlu dipikirkan oleh BPJS agar pelayanan lebih maksimal,” katanya.

Sementara itu, Wali Kota Kota Semarang, Hendrar Prihadi, mengatakan problematika rumah sakit terkait pembayaran BPJS yang selama ini tidak bisa “on time”, perlu disikapi secara serius. “Kalau di tempat kami dengan kekuatan fiskal yang cukup lumayan, sampai hari ini Bu Susi masih bisa jalan. Tapi tidak boleh begitu, di Indonesia ini kan beragam. Ada banyak rumah sakit, apalagi yang swasta. Kalau tunggakannya sampai puluhan miliar, bisa-bisa dia kolaps,” ujarnya.

Menurut dia, hal tersebut juga tidak mendukung investasi di Kota Semarang. Termasuk tidak mendukung percepatan pelayanan kesehatan di Indonesia. “Saya minta Dinas Kesehatan Kota Semarang kumpulin semua rumah sakit di Kota Semarang. Coba bicara dengan BPJS pusat, Kemenkes, maupun Kementerian Keuangan. Bagaimana mencari solusi terbaik?,” katanya.

Dia menyatakan, kalau memang harus membiayai sendiri-sendiri seperti ketika ada Jamkesmaskot, pihaknya menyatakan siap. “Tapi jangan kemudian kami dibuat agak berpikir, karena problematikanya wah banyak sekali. Rumah sakit ini mengeluh ke saya. Sehingga ini harus segera diatasi,” katanya. (*)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis