in

Trans Jateng Rencanakan Transportasi Umum 24 Koridor, Baru Terealisasi 2 Koridor

SEMARANG (jatengtoday.com) – Rencana induk transportasi perkotaan di Jawa Tengah sedikitnya terdapat tujuh kawasan aglomerasi yang akan dikembangkan. Dari tujuh kawasan tersebut, baru tiga wilayah aglomerasi yang sudah memiliki kajian perencanaan transportasi umum.

Ketiganya, yakni Subosukowonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten) sebanyak 8 rute. Kedungsepur (Kendal, Demak, Ungaran), Kota Salatiga, Kota Semarang, dan Purwodadi (Kabupaten Grobogan) sebanyak 12 koridor, dan Barlingmascakeb (Banjarnegara-Purbalingga-Banyumas-Cilacap-Kebumen ) sebanyak 4 koridor. Totalnya sebanyak 24 koridor.

“Dari 24 koridor tersebut, baru dua koridor yang dapat direalisasikan. Jika dalam setahun hanya satu koridor yang dikembangkan, maka akan membutuhkan waktu 22 tahun lagi baru selesai,” kata Peneliti Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, Senin (13/8).

Belum lagi di empat kawasan aglomerasi lain yang juga memerlukan pengembangan transportasi umum. “Padahal kebutuhan mobilitas warga sudah meningkat pesat. Maka dari itu, perlu program cepat dan serius dari Pemprov Jateng,” katanya.

Sejak tahun 2014 silam, kata dia, Direktorat Bina Sistem Transportasi Perkotaan (BSTP) Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan menyelenggarakan Bantuan Teknis Penyusunan Rencana Induk Transportasi Perkotaan pada Kawasan Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen (Barlingmascakeb).

Rekomendasinya adalah peningkatan lima ruas jalan Gombong – Sumpyuh – Buntu, Buntu – Rawalo – Wangon, Cilacap – Wangon, Wangon – Ajibarang – Pakuncen, dan Cilacap – Adipala –Wangon – Buntu. Pelebaran jalan untuk Cilacap – Wangon, Wangon – Ajibarang, Mandiraja – Purbalingga dan Buntu – Gombong.

Ada pengembangan angkutan umum diberikan untuk empat koridor, yakni Mandiraja-Banyumas-Purwokerto, Gombong-Sumpyuh-Buntu-Rawalo-Patikraja-Purwokerto, Cilacap-Wangon-Ajibarang-Purwokerto dan Purbalingga-Purwokerto. “Setelah melalui proses sosialisasi pada operator yang ada baru terlaksana bulan Agutus 2018 koridor Purbalingga-Purwokerto sepanjang 39 kilometer,” katanya.

Untuk mendukung keempat koridor tersebut diperlukan pengembangan tiga koridor angkutan pengumpan (feeder), yakni Gumilir-Adipala-Rawalo, Wangon-Rawalo dan Adipala-Kroya-Buntu.

Selain itu, ada pengembangan lima lintas angkutan barang yang meliputi Cilacap-Wangon-Ajibarang-Pekuncen, Lumbir-Wangon-Rawalo-Buntu-Sumpyuh-Gombong, Ajibarang-Purwokerto-Bukateja, Gumilir-Buntu-Banyumas-Purbalingga dan Banyumas-Somagede-Klampok-Mandiraja. “Untuk menunjang kelancaran angkutan barang diperlukan sejumlah terminal barang di Cilacap, Buntu dan Purwokerto dilengkapi dryport,” katanya.

Tahun 2015, lanjut dia, Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Tengah melakukan kajian Detail Desain Koridor Pelayanan Aglomerasi Barlingmascakeb Koridor Purwokerto-Purbalingga. Djoko mengingatkan, penggunaan istilah Bus Rapid Transit (BRT) untuk rute yang dioperasikan Purwokerto-Purbalingga, perlu dipertimbangkan.

“Sebaiknya menggunakan istilah Bus Umum Trans Jateng Purwokerto-Purbalingga,” cetusnya.

Dijelaskannya, BRT adalah sistem angkutan berbasis bus berkualitas tinggi yang memberikan layanan cepat, nyaman, dan hemat biaya pada kapasitas tingkat metro. Hal ini dilakukan melalui penyediaan lajur khusus dengan busway dan halte-halte ikonik yang biasanya diselaraskan dengan pusat jalan, pengumpulan ongkos off board dan operasi yang cepat dan sering.

Bus Umum Trans Jateng koridor Purwokerto-Purbalingga ini merupakan yang kedua dioperasikan oleh Pemprov Jateng, sebelumnya Juli 2017 telah dioperasikan Koridor Bawen (Kabupaten Semarang) – Stasiun Tawang (Kota Semarang).

“Penggunaan bus lantai tinggi atau highdeck) semestinya bisa diganti dengan lantai rendah atau lowdeck yang lebih mudah dan lebih murah membangun halte,” katanya.

Bus berlantai tinggi cocok digunakan untuk jaringan yang memiliki jalur khusus (busway), seperti Bus Trans Jakarta. Jaringan tersebut terletak di tengah jalan, bukan di tepi jalan. Tujuannya, sebenarnya agar penumpang tidak naik turun sembarang tempat. “Hanya bisa turun di halte yang berlantai tinggi pula. Maka Kemenhub perlu memberikan bimbingan teknis ke daerah agar penggunaan bus lantai rendah lebih dimasyarakatkan,” katanya.

Tetapi model seperti ini kurang cocok untuk bus umum yang dioperasikan tanpa jalur khusus. Jika hanya berupa bus line bisa menggunakan bus berlantai rendah. “Halte yang dibangun pun bisa bertahap. Misalnya lokasi halte cukup diberi rambu halte. Hemat dalam hal pembangunan halte. Jika dikhawatirkan akan ada penumpang naik turun sembarangan, dapat disiasati dengan penambahan instrumen GPS (global position system) di setiap unit armada bus,” katanya.

Selain itu, pengemudi harus dipastikan mendapat gaji tetap bulanan, bukan sistem setoran. Diberikan perjanjian khusus jika menaik-turunkan penumpang tidak pada tempatnya akan diberikan sanksi. “Pasti sang pengemudi tidak berani melakukan itu, kecuali jika nekat ingin dikeluarkan dari perusahaan,” tuturnya.

Model pengoperasian Bus Trans Jateng adalah Pemprov Jawa Tengah membeli pelayanan (buy the service). Operator yang menyediakan perangkat armada bus. Pemda tidak perlu membeli armada bus lagi. Penumpang yang menggunakannya mendapat subsidi operasional dari Pemprov Jawa Tengah. Penumpang yang mendapat subsidi bukan operator. “Operator menjalankan bus sesuai biaya operasional yang disepakati. Selisih tarif antara biaya operasional dan yang dibayarkan penumpang ditanggung oleh pemda,” katanya.

Model seperti ini, kata dia, hendaknya dapat ditiru oleh pemda lain. Dengan keterbatasan anggaran di daerah, pemerintah pusat (Kemenhub) dapat juga membantu. “Pemprov DKI Jakarta telah memulai tahun 2004, karena memiliki anggaran cukup besar,” katanya.

Lebih lanjut, transportasi umum yang murah dan nyaman sangat membantu masyarakat kecil dalam bermobilitas. “Transportasi umum menjadi bagian dari program transportasi ramah lingkungan atau green transportation,” katanya. (*)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis