in

Tradisi Pahat Bongpay Tionghoa Nyaris Punah, Ini Satu-satunya Sosok Terakhir yang Tersisa

SEMARANG (jatengtoday.com) – Pianto Sutanto atau Tan Hay Ping menjadi generasi kelima yang mewarisi profesi keluarga sebagai seniman pemahat batu alam Bongpay (batu nisan ukir) di Kota Semarang.

Sebuah bangunan tua di Kawasan Pecinan, Jalan Gambiran Nomor 25, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Semarang Tengah, menjadi saksi bisu riwayat seni pahat Bongpay yang telah ada sejak ratusan tahun silam.

Pianto sendiri mengaku sedih karena seni pahat Bongpay yang menjadi tradisi masyarakat Tionghoa nyaris punah. Sebab, generasi muda sekarang tidak ada yang tertarik mendalaminya.

“Ini kebudayaan nenek moyang Tionghoa. Saya berusaha menjaga seni pahat batu nisan agar jangan sampai punah,” kata Pianto, belum lama ini.

Usaha warisan keluarga yang diberi nama Hok Tjoan Hoo merupakan satu-satunya kerajinan pahat batu alam Bongpay yang masih beroperasi di Kota Semarang. Bahkan ia terancam menjadi generasi terakhir. Sebab sejauh ini belum ada penerusnya.

Mengenai sejak kapan Hok Tjoan Hoo berdiri, Pianto sendiri mengaku tidak mengetahui secara persis, karena tidak ada catatan resmi. Namun Hok Tjoan Hoo dipastikan telah berdiri sejak ratusan tahun silam. “Ini menjadi usaha turun temurun,” katanya.

Pertama kali, usaha kerajinan pahat batu nisan Hok Tjoan Hoo didirikan oleh kakek buyutnya bernama Tan Hian Gik. Berdasarkan prasasti di Kelenteng Gang Lombok, tercatat pada tahun 1911 memberikan bantuan di sana. Asumsinya, usia Hok Tjoan Hoo lebih tua dari itu.

Generasi kedua adalah Tan Gie Sing, kemudian dilanjutkan oleh Hartono Sutanto. Seni pahat tersebut menjadi warisan turun temurun yang berlangsung secara alami. Tidak ada proses regenerasi ataupun pelatihan khusus. Dia sendiri mengaku hanya melihat ayahnya sering memahat batu. Lambat laun, Pianto belajar sendiri.

“Belajar pahat batu alam Bongpay ini harus kesadaran dan kemauan anak itu sendiri. Jika dipaksa, pasti gagal. Generasi setelah saya belum tentu ada yang melanjutkan,” katanya.

Bongpay sendiri menjadi tradisi budaya Tionghoa yang sudah tua. Ukiran Bongpay terdapat dua simbol, yakni Liong (laki-laki) dan Hong (perempuan). Di sisi samping Bongpay memuat simbol yang menceritakan anak berbakti 24 kebaikan kepada orang tua.

Tujuannya sebagai ‘tetenger’ atau tanda supaya makam tidak keliru. “Ada banyak simbol yang mengandung filosofi bahwa anak harus mengingat kebaikan orang tua. Sehingga meski orang tuanya sudah meninggal, anaknya tetap mengingat kebaikannya,” terangnya.

Maka ada tradisi menjenguk almarhum orang tua atau leluhur yang istilahnya disebut Cheng Beng. Cheng Beng adalah tradisi ziarah kubur leluhur Tionghoa dengan sembahyang sesuai ajaran Khonghucu.

“Bongpay juga sebagai tempat untuk menuliskan silsilah keturunan. Orang tua, anak, cucu, buyut dan seterusnya,” katanya.

Namun seiring perkembangan waktu, lanjut dia, masyarakat Tionghoa lambat laun justru meninggalkan tradisi menggunakan Bongpay. Sebab, saat ini, kebanyakan jenazah orang Tionghoa diperabukan dan dilarung ke laut. “Kalau orang Tionghoa lebih memilih diperabukan lalu dilarung di laut, maka tradisi kebudayaan Bongpay ini punah,” katanya. (*)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis