in

Tradisi Bubur Samin, Menikmati Buka Puasa Tanpa Memandang Agama

Mereka bisa datang ke masjid untuk bersama-sama menikmati bubur tanpa harus memberitahukan identitas maupun agama.

Petugas membagikan takjil bubur samin Banjar kepada warga di halaman Masjid Darussalam, Solo, Jawa Tengah, Minggu (3/4/2022). (ANTARA FOTO/Maulana Surya)

SOLO (jatengtoday.com) – Cuaca terik pada hari kelima Bulan Ramadan 1443 Hijriah tidak mengurangi semangat warga untuk mengantre demi mendapatkan bubur samin di Masjid Darussalam, Kelurahan Jayengan, Kecamatan Serengan, Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah.

Mereka berdiri berjajar hingga di luar halaman masjid sambil menenteng rantang atau tempat lain untuk mewadahi bubur samin yang akan dibagikan oleh panitia, yang kembali melaksanakan tradisi pembagian bubur samin pada bulan puasa tahun ini setelah menghentikannya selama dua tahun karena pandemi COVID-19.

“Akhirnya saat ini kembali kami adakan, namun untuk antrean tetap dengan protokol kesehatan,” kata Nurcholis, ketua panitia pembagian bubur samin di Masjid Darussalam.

Nurcholis mengatakan bahwa dalam satu hari panitia bisa membagikan sampai ratusan porsi bubur samin kepada warga yang hendak berbuka puasa bersama di Masjid Darussalam maupun warga yang ingin membawa pulang bubur samin untuk dimakan di rumah.

“Insya Allah menyehatkan. Ada daging, sayur, minyak, karbohidrat, disajikan hangat dan mengenyangkan,” katanya.

“Kami terbuka terhadap siapa saja (yang ingin mendapat bubur samin), banyak juga warga non-muslim yang suka,” ia menambahkan.

Nurcholis mengatakan bahwa bubur samin merupakan perpaduan aneka bahan makanan dan rempah yang sehat dan lezat. Bubur samin dibuat dari beras, rempah-rempah, macam-macam sayuran, daging, dan minyak samin.

Tradisi pembagian bubur samin pada bulan puasa dimulai oleh para perantau asal Banjar, Kalimantan Selatan, di wilayah Solo sekitar tahun 1980. (ant)

“Berbagai macam sayur, daging sapi, dan tetelan. Semuanya diaduk,” kata Nurcholis.

Semua bahan untuk pembuatan bubur direbus bersama air dan diaduk selama kurang lebih dua jam.

Proses pembuatan bubur samin dalam jumlah banyak membutuhkan tenaga dari beberapa pria dewasa karena adonan bubur harus terus diaduk agar tidak sampai mengendap di dasar panci.

Karena proses pembuatannya lama dan cukup menguras tenaga, panitia mulai memasak bubur samin setelah shalat dzuhur sampai waktu shalat ashar tiba saat Ramadan.

Setelah itu, panitia akan membagikan bubur samin kepada warga yang biasanya sudah datang dan mengantre sejak siang hari.

Panitia pembagian bubur samin di Masjid Darussalam dalam satu hari memasak sekitar 35 kg beras untuk membuat bubur samin dan jika peminat bertambah, maka panitia akan menambah porsi beras yang dimasak menjadi 40 kg pada pekan berikutnya.

Dalam antrean panjang warga yang ingin mendapat bagian bubur samin di Masjid Darussalam ada Afni Duriahtuti, yang mengaku hampir setiap Bulan Ramadan selalu ikut mengantre demi mendapatkan bubur samin yang gurih dari panitia.

“Sudah dua tahun ini kan tidak (ada pembagian bubur samin). Biasanya (antre untuk mendapat bubur samin) buat keluarga. Kalau pas Ramadan selalu antre seperti ini,” katanya.

Siwi Wardani, warga yang lain, saat berada di Kota Solo juga selalu berusaha mampir ke Masjid Darussalam untuk ikut mengantre mendapat bubur samin pada bulan puasa.

“Saya kebetulan bukan warga Solo tetapi selalu ke sini kalau pas ke Solo. Memang rasanya enak. Kadang saya ikut berbuka puasa di sini juga,” katanya.

Dimulai oleh perantau

Tradisi pembagian bubur samin pada bulan puasa dimulai oleh para perantau asal Banjar, Kalimantan Selatan, di wilayah Solo sekitar tahun 1980.

Para perantau Banjar yang tinggal di daerah Jayengan membangun langgar yang kemudian menjadi Masjid Darussalam.

Bagian dari budaya dan kuliner Banjar pun kemudian berkembang di daerah permukiman perantau Banjar di Solo.

Kerinduan terhadap kampung halaman mendorong para perantau dari Banjar untuk membuat bubur samin bersama guna memperkuat tali persaudaraan masyarakat Banjar di perantauan.

Kebiasaan tersebut kemudian berkembang menjadi tradisi pembagian bubur samin gratis kepada warga pada bulan puasa. Warga dari daerah lain pun selanjutnya menjadi penasaran ingin mencicipi bubur khas Banjar yang beraroma sedap itu.

Tradisi pembagian bubur samin pada bulan puasa tetap dipertahankan setelah sebagian dari warga asal Banjar yang merantau ke Solo dan keturunan mereka berpencar untuk mencari rezeki ke daerah-daerah yang lain seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Sukoharjo, dan Semarang.

Kalaupun tidak bisa selalu ikut memasak atau sekadar mencicipi bubur samin secara langsung, perantau asal Banjar maupun keturunan mereka menyumbangkan dana untuk kegiatan pembagian bubur samin gratis pada Bulan Ramadan di Masjid Darussalam.

“Kalau anggaran (dana untuk pembuatan bubur samin) ini dari simpatisan Masjid Darussalam, jamaah, ada dari luar kota, termasuk yang tinggal di Banjarmasin hingga Singapura, mereka bersedekah,” kata Nurcholis.

Wakil Ketua Takmir Masjid Darussalam itu berharap tradisi pembagian bubur samin Banjar bisa lestari, apalagi sekarang tradisi itu sudah menjadi salah satu daya tarik wisata religi pada Bulan Ramadan.

“Kami hanya ingin berbagi dengan masyarakat,” katanya.

Saat ini tradisi pembagian bubur samin tidak hanya menjadi pengobat rindu para perantau terhadap kampung halaman, tetapi juga menjadi simbol toleransi antar-umat beragama.

Warga dengan berbagai latar belakang suku dan agama bisa ikut mengantre untuk mendapat bubur samin gratis dari panitia di Masjid Darussalam. Mereka bisa datang ke masjid untuk bersama-sama menikmati bubur samin tanpa harus memberitahukan identitas maupun agama. (Aries Wasita Widi Astuti/ant)