SEMARANG (jatengtoday.com) – Sejauh ini para peternak susu sapi perah dalam cengkeraman para tengkulak. Bisnis susu sapi perah dikendalikan oleh para pemain tengkulak. Hal tersebut membuat para peternak sulit berkembang dan dirugikan.
Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu meminta agar persoalan mata rantai bisnis susu sapi perah yang cenderung dikuasai para tengkulak diputus. Hal itu perlu adanya sinergi berbagai pihak.
“Jawa Tengah masih kekurangan stok susu sapi. Apalagi selama ini masih didominasi para tengkulak,” kata Mbak Ita saat meninjau aktivitas para peternak sapi perah di Kelurahan Sumurejo, Gunungpati, Semarang, Jumat (29/6).
Dikatakannya, para peternak tidak langsung menjual susu ke KUD. Tetapi mereka menjual ke tengkulak. Sebab, tengkulak bermain dengan cara berani membeli lebih mahal dari KUD.
“Disini, saya cek masih ada yang diambil tengkulak. Alasannya harganya lebih mahal. Sedangkan kalau ke KUD harganya lebih murah. Ini akan coba kami tata,” katanya.
Untuk memutus mata rantai tengkulak perlu adanya upaya keras dari pemerintah. “Maka kami meminta agar Dinas Pertanian ada terobosan, agar bisa memutus mata rantai tengkulak,” tegasnya.
Dia mengaku sudah melakukan komunikasi dengan pihak perbankan agar bisa mensupport. Misalnya petani maupun peternak kekurangan modal bisa mendapatkan bantuan modal. “Sehingga diharapkan keberadaan peternak sapi perah tersebut bisa menambah suplai susu di Kota Semarang,” katanya.
Sejauh ini, di Kota Semarang ada tiga kecamatan potensi peternakan, utamanya Gunungpati, Mijen, dan Ngaliyan. “Kami harapkan ini menjadi penyangga Kota Semarang, kalau bisa nanti dikembangkan. Minimal untuk pemenuhan susu dan daging sapi,” katanya.
Apalagi Kota Semarang menjadi tiga besar penghasil susu sapi di Provinsi Jawa Tengah, selain Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga. “Ini harus dipertahankan dan ke depan harus bisa ditambah. Kami memiliki keinginan untuk mengembangkan potensi-potensi peternakan. Apalagi di Kelurahan Sumurejo ini kelompok peternak Rejeki Lumintu rencananya akan dibuat Minapolitan,” katanya.
Diharapkan, ke depan bisa terintegrasi antara pertanian, perikanan, dan peternakan. “Ini akan menjadi percontohan. Tentunya akan meningkatkan taraf hidup petani maupun peternak,” katanya.
Sejauh ini, Kelompok Tani Rejeki Lumintu tidak hanya mengembangkan ternak sapi. Tapi juga mengembangkan padi, dan sejumlah tanaman lain. “Ada juga yang bisa membuat pupuk organik. Termasuk bisa berinovasi pengobatan sapi sendiri. Di sini mereka sudah membuat obat cacing, influenza, nafsu makan, atau keracunan. Ini memang sederhana, tapi mereka bisa mandiri,” katanya.
Dia berharap, kreativitas para kelompok tani ini bisa dikembangkan dan ditularkan kepada kelompok lain. “Kalau bisa nanti ditularkan ke peternak lain agar bisa mandiri dan sejahtera,” katanya.
Kepala Balai Inseminasi Buatan Ungaran, Triono Prasojo, mengatakan setiap tahun pihaknya menggelar lomba penilaian kelompok tani-ternak. “Komoditas sapi potong, kerbau, dan sapi perah. Termasuk ternak kecil kambing atau domba, ternak lokal itik dan ayam lokal,” katanya.
Kriteria penilaiannya, pertama kali dilihat dari aspek agribisnisnya. Mulai dari hulu, budidaya, hingga hilir pasca panen, serta unsur pendukung seperti perbankan, inovasi, maupun penerapan teknologi.
“Untuk pelaksanaannya, profil dibuat masing-masing kelompok kemudian disahkan oleh dinas kabupaten/kota. Selanjutnya dikumpulkan di provinsi untuk diseleksi melalui dokumen, diteruskan pengecekan ke lapangan,” katanya.
Ia mengakui, produksi susu sapi di Jawa Tengah memang masih kekurangan. Permasalahannya sebetulnya adalah mengenai kualitas susu yang tidak memenuhi syarat untuk Industri Pengolahan Susu (IPS). “Sehingga ditolak. Akhirnya peternak menjualnya sendiri melalui tengkulak, sebagian lewat koperasi. Sehingga mereka tidak bisa berkembang,” katanya.
Untuk koperasi yang menjadi contoh bagus adalah koperasi di Jawa Barat dan Jawa Timur. “Di sana sudah maju, bisa membiayai dokter hewan, sarjana peternakan, untuk melayani para peternak anggota koperasi. Nah, di Jawa Tengah belum bisa seperti itu meski telah diupayakan,” katanya.
Kendala yang terjadi di Jawa Tengah, karena keberadaan para tengkulak telah mengakar kuat. Mereka memiliki mata rantai panjang yang sulit diputus. “Mata rantai penjualan terlalu panjang. Itu yang menyebabkan peternak sulit berkembang,” katanya. (abdul mughis)
editor : ricky fitriyanto