SEMARANG – Ada mata rantai panjang di balik propaganda isu tembakau, rokok, dan kesehatan. Dosen dari Unika Soegijapranata Semarang, Donny Danardono, melihat persoalan tembakau dari perspektif tradisi dan sejarah. Tembakau memiliki riwayat sebagai daun penyembuh, tetapi saat ini dipelintir sebagai pembunuh.
Di kisaran 1980-1990, orang merokok pernah diidentikan dengan ‘kemacoan’ dan kesuksesan. Namun di era 2000-an iklan rokok menjadi sangat cerdas, muncul banyak peraturan yang membatasi produk tembakau dan penggunaannya di level nasional). “Sejak tahun 2000-an ini pula muncul istilah perokok pasif,” kata Donny.
Produk-produk peraturan yang membatasi rokok itu muncul dari pemerintah dan semakin meluas. Bahkan hingga sekarang, rokok selalu dituding sebagai pembunuh. Anehnya, penjualannya dilegalkan oleh pemerintah yang membuat aturan itu sendiri. “Di Indonesia, merokok dianggap tidak bermoral. Pemerintah menyediakan tempat khusuk untuk merokok, layaknya orang membuang kotoran. Apakah tembakau sangat jahat bagi perokok dan bagi orang yang tidak merokok?” ungkapnya.
Pertanyaannya adalah, mengapa aturan-aturan tersebut muncul sejak tahun 2000. Sejak tahun itu, tembakau dan rokok dituding sangat dekat dengan kematian atau sumber penyakit. Pemerintah Indonesia kemudian membuat banyak peraturan yang membatasi rokok, bahkan hingga sekarang Presiden Jokowi ingin menaikkan pajak-cukai rokok. “Apakah benar rokok adalah satu-satunya penyebab penyakit, selama ini banyak dugaan orang menjadi sakit karena rokok. Padahal, boleh jadi karena lingkungan yang jelek,” katanya.
Lebih lanjut, adanya Peratuaran Daerah (Perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan peraturan pemerintah yang menentang tembakau sebagai tanaman terlarang patut dipertanyakan. “Klaim-klaim yang ada saat ini adalah kepentingan politis, daripada berdasar hasil riset. Sejak tahun 2000-an tembakau dan merokok dianggap dekat dengan penyebab penyakit dan kematian. Merokok berbahaya karena mengandung zat berbahaya seperti nikotin dan tar. Tetapi dicari sumber risetnya tidak ada. Namun kajian menariknya karena ada analisis hukum,” katanya.
Lebih lanjuut, kata Donny, manusia sejak bangun tidur hingga tidur lagi telah mencemari lingkungan dengan berbagai aktivitas yang mengandung racun tertentu. Mulai dari memasak bubur, menghidupkan gadget, kendaraan bermotor. Sehingga bukan hanya merokok. “Jika tidak ingin mencemari lingkungan, mari hidup seperti binatang, memakan langsung dari alam dan tidak mencemari lingkungan,” bebernya.
Sejarah mencatat, lanjutnya, tembakau pertama kali ditemukan oleh Columbus di Benua Amerika, tepatnya di suku Indian. “Saat itu tembakau digunakan untuk pengobatan dan disebut sebagai tanaman penyembuh. Merokok lebih untuk sosialisasi, sehingga di Amerika populer dengan pipe for peace. Dugaan saya, merokok dari bangsa Indian bukan sekadar kenikmatan, tetapi untuk sosialisasi dan kesembuhan. Bangsa Eropa menggunakan tembakau untuk kenikmatan, seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Spanyol. Bangsa jajahan mereka kemudian dibawakan tembakau untuk memperluas kolonialisme. Di jawa yang memperkenalkan adalah VOC,” terang Donny.
Sedangkan tembakau asli di Indonesia ditemukan di Papua. Sementara Indonesia bagian timur seperti Flores adalah dari Protugis. “Di Jawa ada kebiasaan mengunyah tembakau untuk kesehatan mulut. Perkembangan selanjutnya mmemunculkan persaingan antar tembakau dan sirih. Di Jawa juga terdapat naskah atau karya sastra tentang tembakau. Salah satunya di dalam kisah Roro Mendut, meski masih disangsikan kebenarannya. Tetapi hal ini menunjukkan peran besar rokok saat itu. Di mana rokok dijadikan tameng untuk membebaskannya. Roro Mendut menjual rokok dengan harga yang mahal, namun laku terjual. Di jaman krisis moneter yang tidak berubah adalah kebiasan merokok,” katanya.
Hal yang patut dicatat, lanjutnya, pada tahun 2014, rupanya ada peran asing dalam membiayai pemasangan peringatan bahaya merokok. Pembuatan berbagai aturan hukum yang mengendalikan produk tembakau dan merokok itu dibiayai oleh Bloomberg Initiative, sebuah lembaga yang didirikan oleh Michael Bloomberg yang membiayai berbagai universitas dan perusahaan farmasi untuk “obat penyembuh kebiasaan merokok”.
“Kesuksesan pemasaran “obat” ini—yang berarti merebut konsumen rokok untuk dijadikan konsumen “obat penyembuh kebiasaan merokok”—hanya mungkin bila ada kampanye anti rokok yang gencar. Maka, diperkirakan Bloomberg Initiative ada di belakang pembuatan berbagai aturan hukum tersebut. Jon Emont, wartawan The New York Times, melaporkan, bahwa sejak Bloomberg Initiative mendanai program-program anti rokok, mulai tahun 2006 lebih dari 107 kota di Indonesia telah membuat Perda yang melarang merokok di ruang publik,” bebernya. (Abdul Mughis)