in

8 Taktik Menjual yang Bikin Orang Tidak Mau Beli Produk Kamu

Salah cara menjual, hasilnya: orang lari, tidak mau beli produk kamu.

(Credit: elenlabs)

Ini cerita paling menyakitkan yang saya alami, di sebuah tempat wisata..

Pada suatu hari, saya sedang di suatu tempat wisata, dengan seorang kawan. Itu tempat paling “aman” untuk bicara lebih lepas, tanpa Android, dan melihat air di mana-mana dengan pengalaman masa kecil yang sedang kami bandingkan.

Kemudian, datanglah emak-emak, menawarkan makanan. Tentu saja kami tidak melirik apa produknya. Dengan nada memelas, dia meminta kami membeli. Katanya, sudah sejak tadi pagi tidak ada yang beli. Acting atau tidak, bohong atau tidak, saya tidak suka kualitas produknya, berupa makanan kecil, yang tidak unik sama sekali, dan caranya menjual tidak akan bisa membuat saya menginginkan produk itu.

“Tidak, saya tidak ingin beli.”. Saya berikan uang kertas, pecahan limaribu rupiah, “Entah dapat apa, pakai saja uang ini.”.

Dia masih mendesak, “Kalau yang limaribu, tidak ada. Yang ini, duabelasribu dapat tiga. Saya tidak mau pemberian uang.”. Sepintas dia berusaha keras dan tidak mau pemberian. Sebenarnya tidak.

Saya menggeleng. Tetap tidak mau. Saya berikan uang pecahan sepuluhribu rupiah. “Berarti harganya duabelasribu, kan? Ini sepuluhribu, berarti masih ada kembalian tigaribu. Sekarang, uang dan makanan itu, bawa saja semua. Saya sedang lihat-lihat tempat wisata ini, dengan kawan saya.”.

Kalau saja saya bisa singkat dengan satu kalimat, “Enyahlah dari hadapanku..”. Serius, produknya nggak menarik dan cara jualnya sangat memaksa.

Pergilah orang itu dari hadapan saya.

Belum ada 1 menit, datanglah 2 orang emak-emak, “Saya juga belum dapat pembeli.”.

Mereka memakai trik yang sama. Suara memelas. Menawarkan produk yang tidak menarik, dengan cara yang sangat tidak menarik. Kemudian sebisa mungkin tanpa kembalian. Sebagai seorang manusia (pembeli juga manusia!) saya tidak suka caranya menjual.

Penampilan mereka memang sederhana dan seolah-olah memelas, tetapi itu hanya kedok. Sebenarnya mereka (dalam cerita saya itu) menjual dengan cara yang membuat orang tidak mau beli.

Tidak Tahu Target Pasar dan Masalah Orang

Identifikasi target pasar, baru buat bisnis. Target siapa yang akan beli, baru buat produknya. Jangan terbalik.

Membuat produk dulu tanpa riset kebutuhan orang, hasilnya pasti buruk.

Prinsip: setiap produk adalah solusi kamu atas masalah yang dialami orang.

Pelajari kebutuhan orang, pecahkan masalahnya. Kamu menjual solusi, bukan menjual “sesuatu”.

Sebelum menjual, tentu kita harus tahu, siapa yang akan beli.

Buat persona. Yang butuh produk atau layanan saya ini, orangnya seperti apa: dia punya masalah apa? kebiasannya seperti apa? dan ingin mencapai apa? Target pasar bukan “semua orang”. Jika kamu jual minuman khusus untuk penderita penyakit dalam, tentu kamu harus bisa menjelaskan sedetail mungkin tentang siapa yang akan beli produk kamu.

Menjelaskan Fitur, Bukan Menjelaskan Manfaat

Bedakan antara fitur (feature) dan manfaat (benefit).

Fitur: “Apa” ini? Spesifikasi. Detail. Pembeli dapat apa.

Manfaat: “Hasil” kalau pakai produk ini. Apa yang dilakukan. Pembeli akan berada di keadaan seperti apa.

Pembeli belum tentu sepintar kamu dan berpengalaman seperti kamu, terkait produk yang kamu jual.

Produk ini mengandung bahan-bahan herbal pilihan, natural, aman bagi tubuh, tanpa efek samping, teruji klinis, dll. Disebutkan nama-nama bahannya. Fitur mengatakan itu. Sedangkan “manfaat” menyebutkan dengan cara lain: tidak perlu perawatan tradisional, waktu singkat, dan hasilnya bikin pacar kamu lebih terpesona.

Yang paling menggoda pembeli adalah “manfaat dari manfaat” (BoB, Benefit of Benefit).

Manfaat berkata, “Ramuan ini untuk obat asam urat”.

Manfaat dari manfaat berkata, “Asam urat hilang, Anda dapat shalat malam tanpa rasa sakit”.

Perlihatkan hasil yang akan mereka capai.

Terlalu Menjual dan Memaksa

Buat orang penasaran, beri mereka waktu berpikir, dan jangan memaksa. 

Terlalu banyak dorongan, bujukan, dan bukti yang kuat (kadang hanya berupa simulasi dan apa kata statistik), orang justru menjadi semakin curiga. Seperti ketika tiba-tiba ada lelaki terlalu perhatian dan baik hati kepada seorang perempuan, tentunya mencurigakan. Berbeda ketika kamu datang ke toko (bukan swalayan) dengan pelayan yang tidak terlalu ramah. Kamu melihat-lihat, bertanya, “Kalau yang ini, apa namanya?”. Orang suka “berbelanja”. Orang tidak suka membeli.

Tidak Membedakan antara Membeli dan Berbelanja

Ketika berbelanja, keputusan datang dari diri sendiri.

Berbelanja sudah melampaui kebutuhan biasa. Ketika berbelanja, seseorang merasa cerdas (dalam memilih harga dan kualitas) — sekalipun harga yang dibandingkan itu sepenuhnya datang dari penjual. Merasa lebih tahu — setidaknya, lebih tahu dari kawan-kawannya, karena informasi itu datang dari produsen. Tampil keren karena pilihan sendiri — walaupun “pilihan” itu berasal dari apa yang tersedia dan telah dirancang penjualnya.

Membeli, hanya tentang butuh apa dan dapat apa. Sebatas 1 jalur.

Pembelanja maupun pembeli, sama-sama tidak suka paksaan.

Jadi, yang perlu dilakukan adalah “membuat orang ingin membeli”. Buatlah mereka sangat menginginkan produk itu. Biarkan mereka menabung, biarkan mereka membahas produk ini dengan kawan-kawan mereka, bahkan biarkan mereka memberikan komentar negatif — karena ini akan menjadi jalan untuk menjelaskan “yang sebenarnya” dari produk kita.

“Silakan lihat-lihat dulu..”.

Terlalu Ingin Dianggap Masuk Akal

Memakai logika, melupakan “emosi” manusia, tidak akan berhasil dalam menjual.  

Lihatlah bagaimana banyak MLM gagal menawarkan produk madu dengan pendekatan yang terlalu masuk akal, dengan menyampaikan penelitian, bukti, logika, argumentasi, dll.

Logika berkata, “Ini pena terbaik, dibuat dengan tinta yang tidak akan hilang selama 1000 tahun.”.

Emosi berkata lain, “Ini adalah pena yang berbeda dari apa yang kamu punya ketika masih kecil. Pena ini akan kamu gunakan untuk menulis catatan yang akan dikenang semua orang, menandatangani perjanjian penting, dan mereka akan melihat gaya kamu menulis. Silakan tulis nama kamu. Elus, pakai, dan lihatlah bentuknya.”.

Logika menjelaskan fitur. Benar, fitur harus ada. Ini akan diperiksa pembeli. Tetapi jangan jual dengan logika sepenuhnya.

Emosi menjelaskan apa yang akan dicapai orang. Betapa benarnya keputusan mereka dalam membeli. Emosi menjadi pembuat keputusan terbanyak dalam hidup manusia sehari-hari. Emosi terlalu melekat dalam diri manusia, dalam menilai, memilih, merasakan sesuatu, dan ketika merasa benar dalam mengambil langkah.

Melupakan Kekuatan Bercerita

Gunakan cerita dalam penjualan.

Storytelling berarti seni bercerita, bertutur, agar orang lain berubah karena cerita itu.

Cerita bisa mematahkan kepercayaan orang tentang merk lain, yang selama ini mereka percaya sebagai yang terbaik. Cerita punya BTS (behind the scene). Cerita mengubah anak-kecil menjadi pahlawan penakluk naga. Cerita mengijinkan kita membingkai kehidupan seseorang “sebelum” kenal produk kita, menjadi “setelah” kenal produk kita. Cerita membentuk reputasi, membuat orang dikenal sebelum bertemu langsung. Cerita menghancurkan penghalang yang tidak membeli. Cerita berbagi kemenangan.

Blair Warren, dalam One Sentence Persuasion: “Orang akan lakukan apa saja untuk mereka yang dorong impian mereka, membenarkan kegagalan mereka, menghilangkan ketakutan mereka, mengkonfirmasi kecurigaan mereka, dan membantu mereka melempar batu ke musuh mereka.”.

Menjual Itu Manusiawi, Bukan tentang Angka

Kepada pembeli, kamu menjual kepada “manusia”. Jangan demi angka penjualan dan keuntungan.

Coba hapus kata-kata yang muncul dari statistik: viewer, influencer, buyer, klik, pelanggan, pemakai, dst. Gantilah nama pekerjaan, tempat tinggal, umur, dll. Gantilah semua itu dengan kata “manusia”. Bayangkan lagi, seorang manusia, seribu manusia, bahkan lebih, yang akan memakai produk atau layanan kamu. Mereka makan, minum, bermasalah, ingin tertawa, sama seperti orang lain. Mereka menunggu pendekatan yang manusiawi. Merekalah manusia lain, yang akan kamu datangi.

Ayo, periksa lagi taktik untuk menjual produk atau layanan kamu. Jangan sampai penjualan menurun karena salah-taktik. [dm]

Day Milovich

Webmaster, artworker, penulis, konsultan media, tinggal di Rembang dan Semarang.