SEMARANG (jatengtoday.com) – Perwakilan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (Perda KSPI) Jawa Tengah menyesalkan sikap Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Moh Abdul Hakam yang mengeluarkan statement terkait adanya klaster demo 11 orang positif Covid-19.
Pernyataan tersebut dinilai tidak mencerdaskan bangsa. “Akhir-akhir ini publik disuguhkan pemberitaan yang seolah-olah unjuk rasa itu disandingkan dengan perilaku vandalisme dan penyebab klaster Covid-19,” ungkap Sekretaris Perda KSPI Jawa Tengah, Aulia Hakim, Minggu (18/10/2020).
Dijelaskannya, vandalisme adalah tindakan kriminal. Sementara demonstrasi merupakan penyampaian pendapat di muka umum akibat gagalnya penyampaian pendapat secara biasa. Demonstrasi di negara demokrasi merupakan hak warga dan jalan berpendapat yang dilindungi Undang-Undang (UU).
“Kami menyesalkan desain informasi dari Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang yang tidak sehat tersebut. Kami menuntut kepada pemerintah dan pihak keamanan untuk memberikan informasi yang mencerdaskan bangsa. Mereka harus bisa membedakan perilaku vandalisme dan demonstrasi,” katanya.
Dia mendesak pemerintah agar tidak memilih-milih waktu dalam melakukan test Covid-19. “Jangan sampai menimbulkan kesan bahwa sebutan demo klaster Covid-19 sengaja diarahkan untuk membungkam kebebasan berpendapat,” tegasnya.
Hakim juga meminta kepada seluruh elemen buruh untuk terus melawan segala bentuk ketiadakadilan. Pemberitaan yang seolah peristiwa demonstrasi menyampaikan pendapat di muka umum itu sebagai pengganggu, perusak dan penyebab klaster penyebaran Covid-19 merupakan penggiringan opini yang tidak berdasar.
“Pemberitaan dengan sumber Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang itu menyebutkan adanya 11 orang yang disebut positif Covid-19. Pertanyaannya, mengapa bukan klaster perusahaan? Sungguh mengherankan, aksi yang sudah dilakukan berminggu-minggu sebelumnya kenapa baru sekian hari lalu tidak dilakukan test?” ungkapnya mempertanyakan.
Situasi pandemik Covid-19, lanjutnya, justru dimanfaatkan untuk menutupi kegagalan saluran aspirasi. Aksi penolakan omnibus law itu sendiri adalah akibat tertutupnya legislatif sejak konsep awal hingga RUU tersebut disahkan.
“Jadi, wajar jika kemudian masyarakat menempuh jalan ekstra parlementer. Jika demonstrasi tidak dilakukan, kehendak parlemen tidak ada penghalang lagi,” katanya.
Lebih lanjut, kata dia, mengapa DPR RI justru memaksakan diri membahas dan mengesahkan omnibus law ketika situasi pandemi? “Sementara mereka paham betul suasana hati masyarakat menolaknya. Aksi demonstrasi terjadi nyaris di seluruh kota di Indonesia,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Moch Abdul Hakam sebelumnya mengatakan ada 10 demonstran positif Covid-19. “Mereka juga ikut menularkan virus ke satu orang lainnya. Jadi klaster demo ini totalnya ada 11 orang,” ujarnya.
Mereka yang positif itu merupakan pendemo dari kalangan karyawan atau buruh. “Ini dari dua perusahaan berbeda yang kemarin ikut demo,” imbuhnya.
Menurutnya, perusahaan yang bersangkutan cukup kooperatif. Bahkan, klaster ini diketahui setelah pihak perusahaan mengadakan rapid test kepada para buruh yang ikut demo. Saat ini, kata dia, 11 demonstran itu dalam kondisi klinis yang baik. “Mereka semua itu orang tanpa gejala, sekarang dalam kondisi yang baik dan diisolasi di rumah dinas Wali Kota Semarang,” tutur dia. (*)
editor: ricky fitriyanto