in

Tak Berdaya Melepas Diskriminasi Guru Sekolah Swasta

SEMARANG (jatengtoday.com) – Nasib guru swasta di sekolah swasta di Kota Semarang masih memprihatinkan. Kewenangan penataan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah masih terkesan tumpang tindih. Pemerintah daerah seringkali tak mau ambil pusing karena merasa hal tersebut bukan kewenangannya.

Akibatnya, diskriminasi guru swasta di sekolah swasta masih sangat kental. Bertahun-tahun guru swasta di sekolah swasta harus menelan kesabaran. Sedangkan nasibnya cenderung tak diperjuangkan. Apalagi sekolah berbasis madrasah di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag). Pemerintah dinilai tak berdaya mengurai masalah tersebut.

“Sampai saat ini, masih ada kesan diskriminasi antara guru swasta yang mengajar di sekolah swasta dengan guru swasta yang mengajar di sekolah negeri,” kata Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, Wiwin Subiyono, Rabu (27/6).

Semestinya, baik sekolah negeri maupun swasta harus ada persamaan. Prinsipnya, guru swasta di sekolah swasta ini perlu mendapatkan kesejahteraan yang sama dengan guru swasta di sekolah negeri.

“Sebab, mereka juga sama-sama membantu pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa. Kami berharap agar ada terobosan-terobosan, yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang agar ada kesetaraan kesejahteraan bagi semua guru di Kota Semarang,” katanya.

Selama ini, Pemkot Semarang terkesan lepas tangan terhadap keberadaan guru swasta di sekolah swasta. Sebetulnya hal itu bisa dilakukan selama tidak menabrak aturan. Memang, lanjut dia, guru swasta yang mengabdi di sekolah swasta tidak masuk dalam database Pemkot Semarang.

Misalnya sekolah swasta Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), maupun sekolah yayasan. Sejauh ini pengelolaan sekolah berbasis madrasah berada di bawah naungan Kemenag yang merupakan instansi vertikal.

“Di Pemkot Semarang, disediakan anggaran untuk kesejahtaraan guru di bawah Dinas Pendidikan. Sehingga guru tidak tetap (GTT) bisa dimasukkan sebagai pegawai Non ASN yang dibiayai menggunakan APBD. Sedangkan, guru swasta yang mengabdi di sekolah berbasis madrasah seperti MI, MTs, MA di bawah Kemenag cenderung belum diperhatikan,” katanya.

Sejauh ini belum ada terobosan untuk mencari solusi itu. “Kami pernah menyampaikan, lha itu untuk masalah guru MI, MTs, MA itu bagaimana? Pemkot bilang ‘Pak, itu di luar kewenangan kami’. Kami juga tidak bisa mengusulkan untuk itu. Sebab, kewenangan MI, MTs, MA berada di bawah instansi vertikal, yakni Kementerian Agama,” katanya.

Menurut Wiwin, sebetulnya permasalahan itu bisa dicarikan solusi selama mau membuat terobosan baru. Bagaimanapun, itu menjadi masalah yang belum bisa diselesaikan di Kota Semarang.

“Kalau dilihat dari kemampuan anggaran APBD, Pemkot Semarang sebenarnya mampu memback up kesejahteraan guru swasta di MI, MTs, MA tersebut. Tetapi mengenai aturan regulasinya ini yang perlu ditata dan dikaji,” katanya.

Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kementerian Agama Kota Semarang, Dr Muhammad Fatkhurrozi mengatakan secara garis besar, sedikitnya ada lima kendala yang selama ini perlu mendapat perhatian. Pertama, belum tersertifikasinya semua guru madrasah. Kedua, pemerintah sampai detik ini belum memenuhi pengangkatan pegawai negeri sipil.

Ketiga, terkait anggaran masih perlu ditingkatkan. Keempat, mengenai kurikulum belum sepenuhnya bisa diterapkan menyeluruh untuk semua madrasah dan kelima, yakni peningkatan sumberdaya manusia. “Masih banyak guru yang belum tersertifikasi tentu sangat memengaruhi kesejahteraan,” katanya.

Ia juga mengakui masih banyak guru madrasah yang gajinya jauh di bawah standar layak. “Kalau madrasah swasta yang notabene rencana anggaran biaya (RAB)-nya dilakukan oleh yayasan, berbeda dengan sekolah negeri. Maka gaji guru swasta lebih kecil. Satu-satunya solusi ya mereka harus tersertifikasi. Supaya ada keseimbangan,” katanya.

Setelah guru tersebut tersertifikasi, lanjut dia, minimal guru tersebut akan mendapatkan gaji Rp 1,5 juta per-bulan. “Itu kalau belum Inpassing. Kalau sudah inpassing, akan disesuaikan dengan PNS, sesuai golongan III A, III B, III C dan seterusnya,” katanya.

Pendidikan madrasah, menurut dia, memiliki peran sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi di era teknologi seperti sekarang ini. Arus informasi melalui media sosial sulit dikendalikan. “Selama pendidikan agama di madrasah bisa terkendali, maka secara otomatis masyarakat memiliki filter melalui pendidikan agama. Sebab, paling utama adalah pendidikan akhlak,” katanya. (abdul mughis)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis