in

Mengapa Survei Layanan Tidak Bisa Ukur Kepuasan Konsumen

Penuh bias dan manipulasi. Bisa hancurkan bisnis kamu. Begini detailnya..

Survei layanan pelanggan. Kita sering temukan. “Bagaimana layanan kami?”. Ada yang pakai rating 5 bintang, ada yang pakai emoticon.

Siang itu, saya di suatu kafe terkenal (tidak saya sebutkan, demi kedamaian orang-orang yang bekerja di situ). Saya mendapatkan tawaran mengisi “penilaian”. Bagaimana layanan kami? Saya hampir mengisinya, kemudian saya menolak, “Saya tidak mau isi survei ini.” Manajer kafe itu membujuk saya, mengatakan bahwa survei itu akan sangat membantu bisnis mereka. Tidak. Saya tidak mau.

Meskipun desakan itu cukup halus, saya tetap menolak. Saya katakan kepada manajer harian, “Survei seperti ini tidak efektif untuk melihat kepuasan konsumen.”. Saya tahu bagaimana survei seperti ini dibuat, saya tahu bagaimana kafe ini dikerjakan, namun manajer harian tersebut tidak akan percaya. Mungkin karena penampilan saya kurang meyakinkan.

Ketika pesanan sudah jadi, masih ada sodoran mengisi survei kepuasan konsumen. Akhirnya saya terusik dan berbicara kepada manajer harian. Saya berkata, “Saya ingin menuliskan feedback sebagai konsumen, untuk mengomentari survei ini. Di mana saya bisa kirim email?”. Ini bukan ancaman. Saya tahu, manajer harian akan mengajak saya bicara, “Anda bisa sampaikan langsung kepada saya, jika berkenan.”.

“Ini survei buatan 2013. Penciptanya, menyesal melihat survei seperti ini dipakai untuk mengukur kepuasan konsumen. Saya bisa tunjukkan, betapa survei ini justru berbahaya bagi perusahaan Anda,” kata saya. Manajer harian itu akhirnya mau menyimak penjelasan saya sampai selesai.

Saya tidak bisa menilai suatu layanan, dari manusia, hanya dalam waktu beberapa menit.

Bayangkan konsekuensi survei itu. Ada beberapa adegan dalam pikiran saya, seandainya saya mengisi survei itu.

Manager harian, percaya begitu saja kepada isian dari pembeli (konsumen), seandainya hasilnya adalah bintang 1 atau emoticon cemberut. Ada atau tidak ada penjelasan mengapa penilaiannya segitu.

Tidak ada kenaikan gaji, tidak ada insentif, seandainya hasilnya memuaskan, karena.. pelanggan sudah puas.

Survei berbasis rating, sarat dengan bias dan penghinaan.

Dan ketika kamu memasukkan nomor telepon atau email, yang terjadi kemudian adalah, “Bisakah Anda luangkan 2 menit untuk mengikuti survei kami, demi peningkatan pelayanan?”. Ponsel dan browser penuh. Selain itu, saya terbiasa diminta orang untuk mematikan notifikasi yang tidak ingin mereka lihat.

Apakah ini cara yang baik untuk mengetahui bagaimana kinerja perusahaan itu?

Skala Likert itu sungguh tidak berguna dan penuh bias, tetapi masih saja dipakai untuk menilai produk dan layanan.

Hampir semua orang sudah kenal skala Likert. Ini skala bintang ketika konsumen [diminta untuk] melakukan review. Sering lihat, kan? PlayStore, Shopee, download movie, penerbit buku, pakai review semacam ini. Pernah ngehit di Google.

Mengapa saya tidak suka Skala Likert? Saya ringkaskan alasannya:

Ketika seseorang menilai dengan bintang 1 sampai 5, dia sedang merepresentasikan kualitas, apresiasi, dll. menjadi 1 pilihan; sedangkan di sisi lain, perspektif penilaian dan keadaan setiap orang ketika menilai, bisa jadi berbeda.

Contohnya? Lihatlah situs download film, cari bagian “India” dan “Korea”. Rating mereka mayoritas tinggi. Kualitas film itu, belum tentu demikian. Mereka punya squad dan bot yang bisa melakukan review dengan cepat, ngasih bintang tinggi. Belum apa-apa, mereka sudah suka film-film keluaran 2 negara itu.

Atau kasus lain. Orang yang ngerti perfilman, dan yang nggak segitu ngerti perfilman, bisa jadi dianggap sebagai penilai yang sama, karena sama-sama ngasih bintang 3. Kalau kamu beranggapan, “Semua orang berhak menilai..”, itu masalah hak. Bukan masalah kualitas apresiasi.
Skala Likert dan survei “kualitas layanan kami” sungguh cara buruk untuk menilai kinerja perusahaan.

Survei tersebut sering menghakimi karyawan secara sepihak. Termasuk menghakimi kualitas toko (misalnya: di Shopee), secara sepihak. Hanya dengan bintang 1, akan ada kejadian mengerikan: komentar kamu dihapus penjual, atau, penjual mengalami penurunan penjualan. Itu toko tempat orang kerja, dibangun dengan modal, bisa di-down-grade karena orang klik icon bintang di review.
Beri mereka peringkat bagus, maka mereka akan senang. Tidak. Sebisa mungkin, saya tidak akan berikan bintang, agar perusahaan tahu bahwa cara beri bintang dalam dunia penelitian konsumen itu sangat primitif.

Tanyakan kepada pemilik toko di Shopee, apa yang akan terjadi jika mereka dapat rating rendah. Secara tidak langsung, terjadi “pay-for-performance” di sini. Mereka dibayar (dibeli) berdasarkan performance.

Survei Accenture-Medallia 2017: 43% perusahaan sekarang menggunakan peringkat umpan-balik pelanggan (consumers feedback) untuk menentukan bagian dari gaji pekerja garis-depan, seperti laporan Forbes dalam “How to Pay Employees Based on Customer Feedback“.

Yang bermasalah, belum tentu pekerjanya. Bisa jadi, masalah ada di aplikasi, di pengiriman, di kebijakan-baru perusahaan, dll.

Ada “perang” menaikkan review. Tidak mengherankan, review berbentuk bintang 5, menghasilkan banyak data sampah. Google dan TikTok rajin melakukan penghapusan review sampah. Mereka pakai mesin dan manusia. Berita penghapusan bisa kita lihat dari situ.

Masalahnya, hasil review konsumen, di perusahaan, seperti kasus kafe terkenal yang saya datangi itu, dilihat langsung, dirapatkan, dan terjadilah keputusan. Namun, sekali lagi, data bisa dengan mudah dipalsukan.

“Pada skala 0 hingga 10, seberapa besar kemungkinan Anda merekomendasikan produk atau layanan perusahaan kepada teman?”

Penghitungan ini dikenal dengan “Skor Promotor Bersih” (atau NPS).

“Skor Promotor Bersih (NPS): indikator kuat tentang seberapa besar pertumbuhan jangka panjang yang dapat diharapkan brand kamu berdasarkan persepsi pelanggan. Skor Promotor Bersih terbukti memberi pandangan objektif tentang seberapa baik kinerja strategi pengalaman pelanggan Anda.”.
Ini temuan tahun 2003. Perusahaan memakai skor 1-10. Penghitungannya lumayan rumit.

Penemunya, Fred Reichheld, keheranan melihat bagaimana orang memakai NPS untuk menentukan bonus dan sebagai indikator kinerja. “Saya tidak tahu bagaimana orang akan mengacaukan skor untuk membengkokkannya, untuk membuatnya melayani tujuan egois mereka,” kata Fred.

NPS—or net promoter score—is a measure of customer satisfaction that has developed a cultlike following among CEOs. An increasing number of companies use it to develop new products and assign bonuses. It also may be misleading.

Betapa mudah memanipulasi data, sebagai jalan pintas untuk menunjukkan kualitas, sekaligus bisa memperbaiki insentif karyawan atau perusahaan. Sekaligus, peluang menjatuhkan karyawan atau perusahaan.

Mari kita lihat fenomena orang-orang yang ingin menampilkan review bagus untuk bisnis mereka.

  • “Bisakah kamu membuat review bagus untuk bisnis saya?”
  • “Bagaimana kalau di bagian halaman ini, kita beri testimoni dan bintang 5?”
  • “Adakah cara cepat agar saya bisa upload review sekaligus, agar terkesan bahwa toko saya sudah punya banyak konsumen dan mereka senang dengan produk atau layanan kami?”

Mereka ingin “bias” dan “manipulasi” menjadi jalan pintas bagi bisnis mereka.

Perusahaan memiliki kebijakan yang aneh. Saya nongkrong di beberapa kafe berbeda, kemudian bercakap-cakap dengan “barista” mereka. Biasanya, ini terjadi setelah kami saling kenal. Saya bertanya, “survei kepuasan pelanggan itu diapain?”. Saya ingin tahu, tindakan perusahaan tempat mereka bekerja.

Jika ada 100 orang menjawab, dengan hasil 45 pelanggan beri skor 6 dan 55 pelanggan beri skor 7, maka hasil yang dipakai: 55% pelanggan memberikan skor 7. Skor 6 ke bawah, bisa dianggap 0 (nol). Tangisan untuk barista dan pekerja di situ.

Bahkan konsumen yang baik akan terdorong untuk ngasih skor tinggi. Sekali lagi, data yang berpeluang bias dan menjadi sampah.

Dalam dunia desain dan pemrograman aplikasi, jika kamu penulis code atau admin aplikasi itu, menampilkan manipulasi sangatlah mudah.

Saya sering bertanya kepada manajer harian di kafe, “Bagaimana Anda memperlakukan penilaian kami?”. Mereka punya jawaban sakti, “Akan diproses oleh sistem dan kami pakai untuk memperbaiki kualitas layanan.”. Inti jawabannya adalah “diproses oleh sistem” yang tidak bisa ia jelaskan.

Benar. Mereka tidak pernah menjelaskan sistem itu.

Betapa menyakitkan, menilai layanan manusia hanya dengan angka 1-9 atau bintang 1-5, sedangkan konsumen memiliki latar-belakang dan keadaan berbeda ketika melakukan isian. Atau pengisinya ternyata impersonal.

Akhirnya, saya tidak perlu mengisi survei kepuasan konsumen dan bisa menikmati kopi di kafe itu, tanpa “gangguan”. [dm]