Dewasa ini masyarakat dunia sedang beramai-ramai mencari solusi atas permasalahan yang timbul akibat ketergantungan sumber energi fosil, yang dinilai menjadi akar permasalahan kerusakan lingkungan. Ketergantungan akan sumber energi fosil dalam bentuk minyak dan lainya selama ini memang menjadi hantu menakutkan, terutama dihadapkan dengan bencana perubahan iklim (climate change).
Bahan bakar fosil sendiri akan dikonversi mesin menjadi gas buang yang dapat menghasilkan karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2) yang secara kumulatif menjadi emisi gas yang memenuhi ruang atmosfer bumi dan menjadi biang keladi terjadinya pemanasan suhu bumi yang signifikan, peristiwa ini disebut sebagai pemanasan global.
Begitu menakutkanya dampak buruk energi fosil juga dapat mempengaruhi moneter dunia hingga dapat memicu konflik sosial, perang, untuk memperebutkan supremasi atas sumber daya ini.
Beberapa alternatif kemudian mulai mengemuka guna memutus ketergantungan tersebut, mulai dari pemanfaatan energi surya sebagai sumber energi yang tidak terbatas, nuklir, hingga energi yang terbarukan.
Elon Musk, dengan perusahaan Tesla, menjadi pemicu mitos alternatif pengganti bahan bakar fosil, karena pandangan bahwa baterai listrik di mobil Tesla bisa mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Pemerintah Indonesia pun tidak mau ketinggalan. Merespon popularitas baterai listrik dan Indonesia yang kaya akan nikel, memicu arah kebijakan konversi kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan berbahan bakar baterai dengan listrik sebagai sumber energi utama menjadi salah satu trending topic, terlebih seiring kebijakan pemerintah dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.
Terjadi babak baru arah kebijakan energi untuk memberikan subsidi bagi pembelian kendaraan baterai, untuk mendorong percepatan konversi bahan bakar, untuk mengendalikan kerusakan lingkungan dan daya hemat tinggi.
Apakah hal tersebut benar-benar akan menyelamatkan dunia juga Indonesia dari laju kerusakan lingkungan akibat ketergantungan konsumsi energi, atau justru sebaliknya akan mempercepat laju kerusakan lingkungan?
Biaya Limbah Kendaraan Listrik
Mari kita kaji kondisi faktual kesiapan negara ini untuk beralih energi.
Pertama, kendaraan atau mesin dengan baterai lebih ramah lingkungan perlu lebih dahulu ditinjau dengan seksama.
Faktanya, sumber daya energi yang digunakan untuk menghasilkan listrik masih didominasi oleh bahan bakar fosil. Kendaraan listrik memang tidak mengeluarkan emisi secara langsung, namun produksi bahan bakar listrik berasal dari pembangkit listrik yang masih didominasi bahan bakar fosil.
Dalam jangka waktu dekat, konversi ke baterai tidaklah sepenuhnya mengganti bahan bakar fosil sebagai bahan bakar, melainkan hanya memindahkan beban konsumsi yang awalnya pada sektor publik akan beralih pada sektor produksi energi listrik.
Potensi ancaman baru justru juga muncul pada produksi komponen baterai sebagai penyimpan energi listrik. Produksi baterai sendiri didominasi bahan tambang nikel sebagai komposisi utama. Sehingga jika Indonesia ambil bagian sebagai salah satu produsen baterai terbesar di dunia, secara otomatis juga akan mendongkrak eksploitasi alam, dengan kegiatan pertambangan nikel untuk memenuhi komoditas produksi.
Kegiatan pertambangan nikel jelas memiliki potensi kerusakan dan konflik yang hampir sama.
Dampak lingkungan lain, berasal dari sampah baterai. Life cycle baterai diperkirakan hanya berusia 3 tahun, sedangkan untuk kendaraan beroda 4 tahan 7-10 tahun.
Dalam batas waktu tersebut, akan ada musim panen sampah baterai dengan kandungan bahan berbahaya di dalamnya, dengan pontensi bencana lingkungan dan kesehatan.
Kesiapan tata kelola limbah di Indonesia yang saat ini masih terbilang buruk.
Kebijakan pemerintah dengan memberikan subsidi mobil listrik sebesar Rp80 juta dan mobil berbasis hybrid sebesar Rp40 juta, dan motor listrik baru sebesar Rp8 juta, rasanya kurang tepat. Mari mempertimbangkan lagi kesiapan mitigasi bencana lingkungan, krisis setelah pandemi COVID-19, dan kondisi geopolitik global. Biaya subsidi tinggi akan membutuhkan ruang fiskal sangat besar.
Konversi energi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar listrik seharusnya dipandang sebagai langkah kompleks yang tidak hanya membutuhkan instrumen subsidi untuk percepatan, melainkan juga membutuhkan instrumen hukum yang lebih kompleks, termasuk analisis potensi bahaya serta mitigasi yang belum terakomodasi dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik.
Kita perlu menghidari risiko kegagalan pasar yang juga terjadi pada penggunaan plastik yang hingga saat ini sulit ditemukan jalan keluar untuk persoalan sampah plastik yang dihasilkan.
Upaya pemerintah memberikan subsidi kurang relevan dengan tujuan mempercepat laju konversi, jika tidak diimbangi dengan pembuatan instrumen mitigasi yang lebih kompleks, agar tidak menjadi pewaktu-mundur atas masalah lingkungan hidup dan kesehatan.
—
Amrizarois Ismail, S. Pd., M. Ling. Dosen Prodi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan, UNIKA Soegijapranata Semarang.