in

Stoicism, Perbudakan Romawi Kuno, dan Sikap Intelektual

Ini sebabnya, mengapa banyak intelektual ikut ajaran stoicism, padahal dari perbudakan Romawi Kuno.

Sering saya temukan, orang-orang menceritakan nilai ajaran tinggi, berbasis budaya dan geografi, namun ketika saya menilik dari sisi sejarah, yang terjadi justru paradoks. Kebanyakan, berkaitan dengan sejarah perbudakan.

Saya ambil 3 contoh.

Arab

Mereka, dalam sejarah, sampai sekarang, tidak bisa melepaskan-diri dari perbudakan. Meskipun Nabi Muhammad melakukan pembelajaran bertahap untuk menghapus perbudakan, ternyata masih ada. Mulai zaman Quraish Kuno, era para khalifah, Umayyah, Abasyiah, Fatimiyah, semua “memakai” sistem pemerintahan yang ditopang perbudakan.

Kalau kamu bertanya tentang nilai ajaran, orang-orang Islam mengatakan ajaran mereka terbaik. Mereka punya nilai-nilai moral dan diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Mulai dari hati (qalb), tindakan sosial, ibadah personal, semua diatur hingga aspek detail terkecil.

Majapahit

Majapahit di masa Nusantara (secara geografis Indonesia namun belum dikenal sebutan Indonesia). Mereka menerapkan perbudakan. Namun yang terlihat dalam sejarah adalah Majapahit yang menaklukkan wilayah Nusantara bahkan sampai luar negeri (versi sekarang). Sekalipun peninggalan berbentuk fisik Majapahit sekarang jarang kita temukan yang berbentuk kemegahan bangunan, termasuk tidak terkatakan kemegahan itu di prasasti dan kitab-kitab kuno masa Majapahit, kita akan berhadapan dengan protes, jika mempertanyakan perbudakan masa Majapahit. Dari Majapahit kita menemukan militerisme, ekspansi wilayah, dan konflik antaretnis, di balik kerajaan yang katanya sangat besar menurut para pendukungnya sampai sekarang. Mereka ini memiliki falsafah kearifan, antropologi budaya, serta jalan menemukan keagungan matahari Majapahit.

Romawi Kuno

Apa yang kamu bayangkan tentang Romawi Kuno? Film-film menceritakan para perempuan cantik, lelaki gagah, serta peperangan besar. Itu versi film.

Saya sama sekali tidak setuju ketika suatu nilai ajaran tinggi, yang berasal dari perbudakan, dipuja sebagai ajaran agung dan dilepaskan dari historisitas ajaran itu.

Romawi Kuno adalah contoh terbaik, terutama di dunia modern.

Keadaan Romawi Kuno

Stoicism berkembang Romawi Kuno, dalam keadaan seperti ini..

Kalau kamu hidup di zaman Romawi Kuno, jangan bayangkan seperti di film. Penuh orang gagah, cantik, dan pertarungan epik.

Romawi punya ajaran Stoicism. Ryan Holiday, salah satu penulis di antara puluhan penulis lain, memperjuangkan nilai-nilai Stoicism.

Jangan hanya bayangkan ajaran Stoicism, kemajuan teknologi saluran air dan sistem senat.

Yang sering terlupakan dari indahnya Roma adalah perbudakan. Roma hidup dan tumbuh karena perbudakan. Roma memiliki filsafat, sekaligus menyukai perbudakan. Sulit bagi nalar saya menerima negeri yang hidup dengan perbudakan, penindasan, namun katanya punya ajaran filsafat tinggi.

Kamu bisa bayangkan Roma yang maju di zamannya, namun jika kamu hidup di masa itu sebagai budak, nggak ada enaknya. Semula kamu merdeka, lalu kota kamu ditaklukkan Roma, jadilah budak. Kamu bisa seumur hidup menjadi budak dengan profesi membersihkan kapal dan sewaktu-waktu mati di tangan bajak laut. Atau dijual ke pasar. Budak selalu bekerja. Melakukan segalanya. Kalau kamu hidup di zaman

Roma, alternatif pertama kamu adalah menjual diri. Budak memiliki skill: mengayunkan kipas, menyajikan minuman, menanam buah, menjadi pendidik anak-anak bangsawan, membuat busana, menjadi pelayan seks, menjadi penata rambut, penghibur, pembunuh, dan pelayar.

Budak menggerakkan ekonomi. Mereka melakukan segalanya. Mereka bisa dibeli, bisa dijual.

Roma bangga dengan perbudakan. Mereka yakin, perbudakan itu kebutuhan moral demi keagungan, menuju hidup mewah. Budak tidak punya hak. Tidak punya properti. Tidak bisa menikah. Boleh punya pasangan, namun diri kamu bukan milik kamu jika masih berstatus budak. Tuanmu boleh memintamu melakukan apa saja. Siksaan menjadi percontohan disiplin dan kepuasan para tuan.

Budak bukan manusia seutuhnya. Budak hanyalah “sesuatu”. Peralatan. Properti. Demikian menurut hukum pemerintahan Romawi Kuno

Bagaimana Bisa Suka Ajaran Unggul di Balik Budaya Perbudakan?

Itulah pertanyaan saya, kepada orang-orang yang memuja Stoicism, termasuk nilai-nilai ajaran yang pernah tumbuh dengan dasar perbudakan di peringkat terbawah suatu struktur masyarakat.

Saya tidak menyerang suatu agama atau etnisitas tertentu. Saya hanya bertanya, bagaimana bisa kita mengambil ajaran di balik masyarakat yang membiarkan perbudakan terjadi begitu lama?

Mengherankan, jika kita menyukai ajaran, namun mengabaikan historisitas ajaran itu.
Banyak bangsa mengaku diri mereka mulia, terpilih, memiliki ajaran asli dari Langit, namun mereka menyukai perbudakan. Ajaran menjadi semacam nasehat, pedoman hidup, jalan mencapai keabadian, namun mereka konteks historis ajaran itu. Kaum stoic, yang mengajarkan ketabahan dan kesalehan, tidak menyebut perbudakan. Yunani, Arab, mereka mengaku memiliki ajaran agung, tetapi mereka tidak menghapus perbudakan.

Tidak jarang, mereka membela itu. Seneca dari Roma, justru menantang orang menunjukkan siapa yang bukan budak. Kemungkinan, kata Seneca, semua orang adalah budak nafsu atau budak keserakahan.

Bayangkan, seperti apa perasaanmu, mengatakan kepada orang lain untuk menerima penderitaan sebagai ujian dan orang lain itu berstatus sebagai budak.

Kita melupakan ketidakadilan dengan cara membesar-besarkan pentingnya ketabahan dan kesalehan.

Banyak motivator secara licik mengatakan bahwa semua penderitaan ini berasal dari cara kita melihat masalah. Ketenangan bisa didapatkan dari musik; dst. Tidak. Masalah tidak sepenuhnya internal. Lihatlah kenyataan. Kedamaian batin, mungkin bisa kamu capai dengan meditasi dan mengatur mentalmu. Tidak semua orang bisa seperti itu. Namun yang sangat pasti: membiarkan ketidakadilan terjadi, di keluarga, di ruang kerja, dan di tingkat pemerintahan, itu sama dengan menganggap semua masalah adalah masalah internal.

Ada masalah yang nyata namun sering terabaikan, yaitu masalah sosial. Itu sebabnya, negara ini punya sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”.

Mengapa Ajaran Ini Ngehit?

Ide ketabahan dan kesalehan sangat laris, karena itu jalan pintas untuk melarikan diri dari masalah sosial.

Maka jangan heran, yang sering kita temukan adalah nilai-nilai personal untuk unggul secara personal.

Mau contoh? Kurangi kebutuhan. Hidup sederhana. Kurangi noise, dapatkan signal, demi pekerjaan lancar dan hidup tenang. Fokus pada pekerjaan. Temukan passion kamu. Sehatkan tubuh. Lakukan kebiasaan baik yang mendukung produktivitas kamu, dengan morning routine. Hargai pencapaianmu hari ini. dst.

Stop. Semua itu lebih mengarah kepada keunggulan personal, bukan? Seberapa sosial falsafah di atas?

Sungguh aneh, di negeri yang penuh kesalehan, ketidakadilan sosial dibiarkan terjadi, dan yang dibangun terus-menerus adalah bagaimana menumbuhkan pribadi kuat. Tidak mengherankan kalau tema-tema stoicism menjadi materi ceramah dan podcast. Kesuksesan pribadi, keunggulan personal. Mereka menggapai “kebahagiaan” individual. Dan sekali lagi, yang mengherankan, bagaimana orang bisa menerima ajaran yang tumbuh dari masyarakat yang melegalkan perbudakan, membenarkan hirarki penindasan, sebagai bagian integral dari masyarakat itu?

Intelektual nongkrong di kafe, membincang bagaimana sukses di karir mereka. Mengikuti stoicism, demi menjadi sosok yang mengagumkan, prestasi yang amazing, bercerita tentang filsafat yang rumit, pengetahuan yang bagus, namun (bukan rahasia) mereka jarang punya agenda perubahan sosial.

Kita berhak menuntut keadilan sosial. Menuntut pendidikan yang layak. Infrastruktur yang lebih baik. Bukan hanya berhenti di motivasi, kedamaian, doa, dan menjadi pasifis-minimalis.

Jangan terlalu percaya pada suatu ajaran yang ingin terbebas dari konteks historis mereka yang penuh penindasan.

Terkadang kita salah memandang “halangan” — seperti ketika Ryan Holiday mengulasnya di buku Obstacle is the Way. Mungkin itu bukan “halangan” di tengah jalan, tetapi “penindasan”. Yang pelan-pelan bisa berkembang menjadi perbudakan. Atau membuat kita membiarkan perbudakan terjadi. [dm]