Pertanian Jateng tumbuh 2,4% dibandingkan 2019, sektor andalan setelah industri olahan, namun masih banyak faktor yang memposisikan pertanian di sisi rapuh.
Akibat COVID-19, ekonomi dunia terkontraksi hingga -4% (World Economic Outlook, IMF). Kinerja ekonomi Jateng ikut terpuruk dengan pertumbuhan minus -2,65 selama tahun 2020.
Kondisi krisis ini mempengaruhi ketahanan pangan hampir di seluruh dunia. Produksi padi global 2020 turun hingga 0,5% dibandingkan 2019 (US Departement of Agriculture dan Internasional Grains Council). Bahkan negara pengekspor beras seperti Vietnam dan India melakukan pembatasan ekspor. Fenomena perubahan iklim yang diprediksi BMKG berlangsung pada bulan Oktober 2020-Februari 2021, menjadi penghambat ketersediaan pangan nasional, karena pada masa ini, petani tidak akan melakukan penanaman.
Bagaimana dengan ekonomi Jateng? Saat pandemi, hampir seluruh sektor ekonomi terkontraksi kecuali sektor pertanian, pengadaan listrik dan air, informasi dan komunikasi dan sektor kesehatan.
Sektor pertanian sebagai penopang utama setelah industri pengolahan justru tumbuh positif 2,48%.
Sektor pertanian adalah salah satu sektor tangguh dalam menghadapi badai resesi ekonomi. Zona ekonomi paling kuat bertahan dari dampak pandemi COVID-19 di saat sektor jasa dan manufaktur menjadi zona yang paling terpukul. Apalagi Jateng merupakan bagian dari lumbung pangan nasional dan menjadi tumpuan pangan dari berbagai daerah. Di saat dunia mengurangi ekspor pangan sebagai antisipasi keamanan pangan negaranya, pangan lokal menjadi andalan utama ketahanan pangan nasional.
Penopang Tangguh
Jateng beruntung mempunyai mesin penggerak PDRB sektor pertanian yang menjadi andalan setelah sektor industri pengolahan. Setidaknya untuk memenuhi kebutuhan pangan, Jateng tidak terlalu sulit meskipun di masa pandemi. Sebagai salah satu lumbung pangan nasional, kemampuan produksi pertanian Jateng mampu menghidupi masyarakat di masa krisis. Inflasi, khususnya komponen makanan, bisa ditekan. Walaupun ada PSBB, namun kemandirian pangan Jateng patut diacungi jempol.
Potensi pertanian Jateng sudah tidak diragukan lagi. Sebagai penopang nomor 3 terbesar nasional setelah Jawa Timur dan Jawa Barat, sektor pertanian Jateng mampu menyumbang 9,37% dari total sektor pertanian nasional (BPS,2020). Pada masa pandemi, pertanian Jateng tidak terpengaruh bahkan mampu meningkatkan ekspor pertanian hingga tumbuh 25% dibandingkan tahun 2019 (BPS,2020).
Bahkan Jateng menjadi daerah penghasil produksi padi terbesar nomor dua nasional dengan capaian 8,40 juta ton. Ada penurunan produksi beras pada tahun 2020 dibandingkan tahun 2019, namun kondisi ini masih surplus 1,65 juta ton beras (BPS,2020).
Sektor Rapuh
Ini sebabnya, mengapa pertanian berada di kondisi rapuh.
Sektor pertanian Jateng tangguh terhadap krisis, namun tidak terhadap iklim.
Pengolahan pertanian yang masih menggunakan cara tradisional tanpa ada sentuhan teknologi, sangat berpengaruh dengan perubahan cuaca.
Ditambah lagi dengan masalah pelaku usaha tani, yang masih jauh dari kata sejahtera.
Produktivitas pertanian berada pada urutan terakhir dari semua sektor usaha di Indonesia maupun di Jateng. Namun, sebagian besar penduduk masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian mereka.
Di saat hampir semua sektor terjadi kolaps dan PHK, sektor pertanian menjadi tumpuan 26% penduduk Jateng. Pertumbuhan tenaga kerja pada sektor ini meningkat 3,04%. Tentu ini menambah beban produktivitas pertanian.
NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di pedesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun biaya produksi. Walaupun dari sisi produksi, pandemi covid19 tidak berdampak pada sektor pertanian, namun dari sisi petani, NTP Jateng merosot -0,06% poin dibandingkan tahun 2019.
Pemasaran dan distribusi produk pertanian menjadi kendala bagi petani terutama petani gurem. NTP Jateng khususnya NTP Tanaman Pangan yang menjadi sumber utama pertumbuhan sektor pertanian Jateng masih berfluktuasi mengikuti gerak musim tanam dan panen. Di saat panen, NTP turun karena harga yang diterima petani menjadi rendah. Sedangkan pada saat paceklik NTP naik.
Perlindungan terhadap harga hasil produksi petani masih belum mengangkat NTP. Sehingga petani yang sebagian besar petani gurem di wilayah Jateng ikut merasakan tingginya harga pangan di saat paceklik. Ongkos produksi yang tinggi sebesar 84,9% dari total usaha tani di Jateng mendorong petani menjual semua hasil produksinya untuk menutupi biaya yang telah dikeluarkan selama empat bulan. Penyerapan gabah petani Jateng, 50% lebih masih didominasi oleh pedagang pengepul yang sering mengendalikan harga terutama pada saat panen raya. Ini menjadi masalah mendasar pada sektor pertanian di Provinsi Jateng yang notabene sebagai salah satu produsen pangan nasional.
Investasi Pertanian
Untuk mendorong peningkatan pendapatan petani diperlukan investasi di bidang pertanian. Pertanian bukan hanya masalah budidaya tapi juga logistik dan penyimpanan. Sistem produksi pun harus bisa membaca situasi pasar.
Investor pertanian sekaligus mengembangkan industri pertanian di daerah sentra di pedesaan merupakan peluang yang bisa dikembangkan. Selain mengurangi kemiskinan pedesaan yang selalu lebih tinggi daripada kemiskinan perkotaan, membangun kilang-kilang padi modern atau kilang produk pertanian lainnya, diharapkan akan bisa menghasilkan produk pertanian dengan kualitas tinggi.
Selain bisa menyerap hasil pertanian yang melimpah, industri modern yang mengolah dan mengemas hasil pertanian menjadi peluang membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk desa. Jika hasil pertanian diolah dan dikemas selain meningkatkan nilai tambah, tidak ada lagi produksi pertanian yang rusak. Bahkan bisa menjadi produk eksport.
Investasi pertanian, selain menjaga bumi tetap lestari dan menjaga pangan tetap melimpah, juga meningkatkan kesejahteraan petani. Kesejahteraan petani meningkat, sektor pertanian tidak akan ditinggalkan. Karena produktivitasnya mampu bersaing dengan sektor usaha lainnya. [dna]