in

Sindrom Sulaiman

Melihat kesiapan politisi ketika kampanye, dengan cerita Nabi Sulaiman.

Sulaiman meminta izin Allah untuk memberi makan semua makhluk hidup, dalam sehari. Bisakah?

Allah sudah mengingatkan kalau dia tidak akan mampu, namun, Sulaiman tetap mengumpulkan semua makhluk hidup, dalam sebuah lapangan.

Ternyata, untuk bikin kenyang ikan saja dia nggak sanggup. Ini menjadi pelajaran berharga bagi Sulaiman.

Sulaiman yang kaya-raya, beristeri banyak, atas izin Allah, bisa memerintahkan angin, berbicara dengan binatang, jin, dan manusia, ternyata tidak sanggup mengenyangkan ikan di lautan.

Orang yang belum mencapai pengetahuan, selalu bilang, “Saya ingin, saya akan, saya sanggup..”.

Mengumpulkan “semua makhluk hidup” dalam “cerita” Sulaiman itu, hanya berarti apa yang ada di daratan dan lautan di #sekitar Sulaiman. Bukan di seluruh Bumi.

Setiap makhluk hidup berada dalam habitat masing-masing, tidak ada satu daratan luas yang bisa dipakai untuk berkumpul. Mengumpulkan semua makhluk hidup, yang ada di zaman Sulaiman, tidak akan bisa dilakukan hanya dalam satu hari.

Singkatnya, ini cerita simbolis. Bukan fakta sejarah.

Kalau Anda punya uang banyak, lalu memberi makan 1000 orang yang kelaparan, itu akan berhenti pada 1000 orang. Dan pujian untuk Anda.

Sekembalinya mereka ke rumah dan jalanan, mereka bisa kelaparan. Lagi dan lagi.

Kelaparan dan “kekurangan gizi” (ini nama penyakit sekaligus problem sosial) tidak bisa diselesaikan di lapangan.

Setelah pulang, orang akan kembali lapar. Menyelesaikan apa yang membuat mereka lapar, itu yang lebih esensial dan menjadi tugas bersama.

Tidak mengherankan, kalau dukungan akhirnya datang tidak sebanding dengan uang yang disebarkan. Tidak mengherankan pula, kalau orang hanya mau mendukung asalkan ada uang di lapangan atau di balik salaman.

Dalam perpolitikan, menjelang pemilihan kepala daerah, atau anggota dewan, sering kita melihat “sindrom Sulaiman” muncul, dalam versi yang sangat parah, agar terlihat seberapa siap dia melayani masyarakat, dan seberapa siap dia menjadi kader partai (atau kepentingan) yang mendukungnya.

Sayangnya, batas keduanya sangat kabur.

Semakin banyak saluran untuk menunjukkan peran, kinerja, kepedulian, dan layanan untuk publik. Dan menghitungnya. Bukan lagi sebagai kewajiban kepada publik.

Merasa bertanggung-jawab, merasa bisa, merasa istimewa, merasa cukup, semua perlu dikembalikan kepada kapasitas dan perhitungan nyata.

Sama seperti kelaparan dan penyakit, ternyata, politik tidak bisa selesai di “lapangan”. [dm]