SEMARANG – Shelter Bus Rapid Transit (BRT) Trans Jateng dan Trans Semarang, saat ini dipisahkan. Salah satunya dipasang shelter portable di samping shelter Trans Semarang di Jalan Pemuda.
Sejumlah pihak menilai sejak diberlakukan Trans Jateng Koridor I jurusan Terminal Bawen-Tawang Semarang tersebut, terjadi gesekan dengan BRT Trans Semarang Koridor II yang memiliki jalur dalam kota sama, yakni Terminal Terboyo-Terminal Sisemut Ungaran. Bahkan tumpang tindih BRT di jalur yang sama tersebut berdampak menurunnya omzet Trans Semarang hingga Rp 6 juta per hari.
Plt Kepala BLU Trans Semarang, Ade Bakti mengatakan, pemasangan shelter portable tersebut bertujuan untuk memudahkan screening penumpang yang berpindah jalur. Baik dari Trans Jateng ke Trans Semarang, begitupun sebaliknya. Meskipun keduanya masih menerapkan tarif masing-masing.
“Kami berharap, dengan adanya halte Portable di Jalan Pemuda ini dapat menambah okupansi penumpang yang imbasnya juga akan menambah pendapatan kami. Untuk beberapa hari ke depan, kami akan tugaskan petugas kami khusus screening penumpang dari Trans Jateng supaya dipastikan seluruh penumpang dari Trans Jateng tertiketi,” kata Ade Bakti.
Ade mengaku keberadaan operasional Trans Jateng koridor 1, yakni Terminal Bawen-Tawang Semarang, berdampak signifikan mengenai menurunnya omzet Trans Semarang. Maka pihaknya berharap agar rencana Trans Jateng yang selanjutnya akan mengoperasionalkan koridor baru, yakni Simpang Lima Semarang – Terminal Bahurekso Kendal, perlu ditinjau ulang. “Kami berharap, dalam hal ini Dinas Perhubungan Provinsi Jateng dapat mengkaji ulang rencana pengoperasionalan koridor baru, jurusan Simpang Lima- Termin Bahurekso Kendal,” katanya.
Sebab, menurut dia, Trans Jateng yang sekarang beroperasi, yakni jurusan Termin Bawen – Tawang Semarang, bergesekan secara langsung dengan Koridor II Trans Semarang. “Gesekan tersebut, efeknya sangat signifikan. Per hari, pendapatan kami dibandingkan sebelum Trans Jateng beroperasi, khusus Koridor II, turun rata-rata Rp 6 juta per hari. Bayangkan jika dikalikan sebulan 30 hari, ada penurunan omzet kurang lebih Rp 180 juta,” katanya.
Padahal, lanjut Ade, Trans Semarang saat ini berbentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Artinya, Trans Semarang menggaji karyawan dengan pendapatan tiket. Per karyawan dengan gaji UMR Kota Semarang Rp 2.125.000. “Maka nominal Rp 180 juta merupakan jumlah yang berarti, karena bisa untuk menggaji sebanyak 85 karyawan dalam sebulan. Apalagi kalau nanti Trans Jateng beroperasi dari Simpang Lima – Kendal yang secara otomatis bergesekan dengan Koridor I, tentu akan ada ratusan juta pendapatan Trans Semarang yang rawan menurun,” katanya.
Sebab, lanjut dia, penumpang BRT Trans Semarang kebanyakan juga berasal dari daerah-daerah penyangga, yakni Ungaran, Demak, dan Kendal. Maka dari itu, pihaknya berharap operasional BRT Trans Jateng ini perlu dilakukan evaluasi. (agi/ito)