“Sebagai masyarakat, melawan Pemkot Semarang kalau memang tidak memiliki bukti kuat ya pasti kalah. Sudah berkekuatan hukum tetap saja masih bisa naik banding hingga PK 2,” ungkap Bambang.
SEMARANG (jatengtoday.com) – Puluhan tahun bergulir, sengketa antara warga dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang terkait lahan dan bangunan kompleks Kanjengan Semarang hingga kini tak kunjung tuntas. Perkembangan terakhir, proses hukum di Pengadilan Negeri (PN) Semarang hingga ke tingkat Peninjauan Kembali (PK) 1 dan PK 2 di Mahkamah Agung (MA), menyatakan bahwa kepemilikan lahan dan bangunan Kanjengan Blok A, B, E dan F tetap dimenangkan oleh warga.
Artinya, Pemkot Semarang kalah telak dalam proses hukum. Amar Putusan PK 2 di Mahkamah Agung tersebut menyebutkan bahwa Blok A, B, E dan F Kanjengan bukan milik Pemkot Semarang, melainkan milik warga yang saat ini memegang sertifikat sah. Namun demikian, meski status hukum warga menang, hingga kini sertifikat Kanjengan “digantung” tanpa ada kejelasan.
“Yang miliknya Pemkot Semarang adalah Blok C dan D. Putusan hukumnya seperti itu. Sejak awal, kami sebagai warga negara taat hukum. Tahunya dahulu membeli, ada sertifikat. Statusnya ada yang Hak Guna Bangunan (HGB) murni, ada juga yang Hak Milik (HM). Kami dimenangkan karena sebagai warga negara yang menaati hukum,” kata Ketua Peguyuban Warga Kanjengan, Bambang Yuwono, Sabtu (1/8/2020).
Mulanya, warga membeli lahan dan bangunan tersebut sesuai aturan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Warga memiliki sertifikat dan dinyatakan sah. “Tiba-tiba diminta oleh Pemkot Semarang. Itu kan lucu ya. Setelah proses panjang, sekarang status hukumnya telah kami menangkan. Sebetulnya sudah inkrah (telah berkekuatan hukum tetap) pada 2010 silam. Tapi enggak tahu kenapa kok bisa dinaikan lagi ke banding hingga PK 1 dan PK 2. Kami hanya menuruti saja. Sebagai masyarakat, melawan Pemkot Semarang kalau memang tidak memiliki bukti kuat ya pasti kalah. Sudah berkekuatan hukum tetap saja masih bisa naik banding hingga PK 2,” ungkap dia.
“Istilahnya Pemkot Semarang masih tidak puas atas putusan hukum tersebut. Saya menjadi bingung, mengapa Pemkot Semarang justru melanggar Undang-Undang itu sendiri,” kata dia.
PK 2 merupakan proses hukum level terakhir. Meski begitu, sebanyak 80 warga yang memiliki sertifikat di Blok A, B, E, dan F kompleks Kanjengan tersebut hingga saat ini tidak bisa mengurus perpanjangan HGB, termasuk tidak bisa membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Artinya, kepemilikan warga tersebut mengambang. “PBB kami dihapus. Saya mau membayar pajak di Pemkot Semarang tidak bisa. Saya tanyakan kok PBB kami tidak ada kenapa? Kami disuruh ke bagian hukum, di sana dijelaskan kalau mau membayar PBB bisa, pertama, dengan catatan sertifikat tersebut harus diubah menjadi HM dan HGB di atas HPL (Hak Pengelolaan),” katanya.
Kedua, apabila Pemkot Semarang akan membangun atau mengembangkan kawasan tersebut seperti pembangunan mal, warga harus bersedia pindah. “Misalnya semula di Blok A, harus bersedia di lantai satu atau dua. Tapi lantai di atasnya bukan milik warga. Kalau jadi HPL, kami jadinya tidak punya apa-apa. Waduh kok bisa seperti itu. Padahal putusan hakim kami menang. Istilahnya Pemkot Semarang masih tidak puas atas putusan hukum tersebut. Saya menjadi bingung, mengapa Pemkot Semarang justru melanggar Undang-Undang itu sendiri,” katanya.
Status Sertifikat Dicekal
Seharusnya, lanjut Bambang, setelah inkrah dilanjutkan eksekusi. Dalam hal ini, seharusnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) diperintahkan untuk memperpanjang sertifikat milik warga.
“Hingga saat ini, kami tidak bisa memperpanjang sertifikat. Karena statusnya dicekal oleh Pemkot Semarang. BPN menyatakan mau memperpanjang masa aktif sertifikat tersebut apabila status cekal di Pemkot Semarang dilepas. Artinya, harus seizin Pemkot Semarang. Akibatnya, saya hingga hari ini tidak bisa membayar PBB. Saat diurus di Pemkot Semarang, petugas bilang PBB bisa dibayar apabila warga menaati permintaan pemkot, yakni status HM, HGB murni harus berubah menjadi HGB di atas HPL. Waduh, bagaimana coba?” ungkapnya.
Lebih lanjut, kata Bambang, warga hanya meminta Pemkot Semarang taat hukum dengan menaati putusan pengadilan yang telah memiliki ketetapan hukum. “Kalau putusan pengadilan dilanggar ya lucu. Apabila memang pemerintah mau melakukan pembangunan di kompleks tersebut, mestinya Pemkot Semarang melakukan pembebasan lahan dengan cara membeli ke warga sebagai pemilik sertifikat,”
“Kalau mau dibeli oleh Pemkot Semarang, maka sertifikatnya harus dihidupkan dulu. Silakan dinego. Kalau harganya cocok, warga pasti sepakat. Tetapi sejauh ini tidak ada pembicaraan penyelesaian ke arah situ. Sehingga Kanjengan Blok A, B, E dan F ini statusnya mengambang,” katanya.
Pemkot Bersikukuh Pertahankan Kanjengan
Kepala Bagian (Kabag ) Hukum Setda Kota Semarang Satrio Imam Poetranto mengakui Pemkot Semarang kalah dalam tingkat PK 2 di Mahkamah Agung terkait perkara sengketa lahan dan bangunan Kanjengan tersebut.
“PK 2, kami memang tidak beruntung. Tapi kami kembali lagi ke amar keputusan. Di situ tidak ada upaya untuk menghapus aset. Berarti, (Kanjengan) masih menjadi aset milik Pemerintah Kota Semarang. Kalau tiba-tiba di dalam amar putusan itu kami menghapus dan menyerahkan ke pihak ketiga, kami akan dinilai melakukan kerugian negara. Inilah yang harus didiskusikan kembali,” kata dia.
Pihaknya juga mengaku telah menjelaskan di Ombudsman, terkait amar keputusan PK 2 tersebut.
“Dalam amar putusan tidak menyebut menghukum Pemerintah Kota Semarang atau mengharuskan Pemerintah Kota Semarang untuk menyerahkan aset tersebut. Itu tidak ada sama sekali. Hanya kewajiban dari BPN untuk memproses HGB. Sedangakan untuk proses HGB harus ada persetujuan dari Pemkot Semarang. Berarti harus mendapatkan izin, berarti ada pengakuan hak bahwa itu masih terdata di Pemkot Semarang,” terangnya.
PK berarti upaya hukum telah selesai dengan amar putusan tersebut. Apabila amar putusan mengatakan seperti itu, pihaknya mengaku tidak bisa menyiasati dengan melakukan kebijakan lain. “Keputusan itu tetap kami pakai. Soal pembangunan (Johar Baru), belum tentu terkendala, karena di situ kan ada blok yang sudah menjadi milik Pemkot Semarang, yakni Blok C dan D. Upaya pembangunan bisa dimulai dari yang sudah dimiliki dahulu,” katanya.
Praktisi Pertanahan Hasyim Mustofa mengatakan, sengketa tanah antara pemerintah dan warga harus diselesaikan secara bijaksana. Pemerintah harus memahami Undang-Undang (UU) Pokok Agraria agar tidak merugikan rakyat. “Jangan bicara sengketa tanah dengan ‘menang dan kalah’. Tapi bicara tanah harus secara arif dan bijak. Kalau di situ ada masyarakat, ada yang jelas bekerja dan menggarap selama puluhan tahun, seharusnya diberikan haknya duhulu. Setelah diberikan hak, baru transaksional. Ini kalau pemerintah berpikir membela masyarakat bawah. Kalau sekarang tidak, justru malah muncul penguasaan, terbitkan surat, lantas mendatangkan buldoser untuk menggusur warga. Ini (penanganan) tidak benar dan tidak adil,” katanya.
Pertokoan Kanjengan
Sebelumnya, berdasarkan keterangan Bambang Yuwono, awal mula sengkarut status lahan Kanjengan ini terjadi 25 tahun silam. Sejarahnya, kawasan Kanjengan tersebut semula bukan pasar, tetapi merupakan kawasan Pertokoan Kanjengan. Saat itu, Pemkot Semarang meminjam sebagian lahan tanah untuk relokasi para pedagang pindahan dari depan Masjid Agung.
Lahan tanah Kanjengan semua bersertifikat atas nama Sartono Sutandi, Direktur PT Pagar Gunung Kencana. Tanah tersebut merupakan tanah tukar guling antara Sartono Sutandi dengan Pemkot Semarang, yakni dengan lahan tanah di daerah Jalan Gunung Talang, Bendan Duwur, Gajahmungkur, Kota Semarang. Bambang menyebut, bukti-bukti tukar guling ini hingga kini masih tersimpan rapi. Setelah terbit ‘Sertifikat tanah Kanjengan bernomor 73’ atas nama Sartono Sutandi, tanah itu oleh Sartono dipecah-pecah menjadi blok A, B, C, D, E, dan F, kemudian dijual oleh Sartono secara sah.
“Masing-masing pembeli memiliki sertifikat, ada yang sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan ada yang sertifikat Hak Milik (HM),” kata Bambang.
Sedangkan untuk Blok C dan D, ada yang dikontrakkan, ada yang dijual. Secara keseluruhan, lahan Kanjengan sebetulnya masih menjadi satu kesatuan dengan ‘Sertifikat 73’, termasuk Blok C dan D. Setelah melalui proses panjang, Blok C dan D dinyatakan pengadilan merupakan milik Pemkot Semarang, sedangkan Blok A, B, E dan F merupakan milik warga. Hal itu telah dibuktikan hingga proses PK 2 di Mahkamah Agung. (*)
editor : tri wuryono