SEMARANG (jatengtoday.com) – Data Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kota Semarang mencatat total ada 3.613 apotek di Jawa Tengah (data 2019). Jumlah tersebut tersebar di seluruh wilayah Jawa Tengah meliputi 35 kabupaten/kota.
Sejak September 2018 silam, dibentuk Loka POM, yakni Loka POM Banyumas mengawasi 4 kabupaten/kota dan Loka Pom Surakarta, mengawasi 5 kabupaten/kota. Sisanya, ada 26 kabupaten/kota merupakan wilayah kerja BPOM Semarang.
Berikut ini wawancara jatengtoday.com dengan Kepala BPOM Kota Semarang, I Gusti Ayu Adhi Aryapatni terkait pengawasan apotek di Jawa Tengah, pada Selasa (16/6/2020) lalu.
Bagaimana pengawasan apotek di Jawa Tengah?
Total ada 3.613 apotek di Jawa Tengah (data 2019). Dari jumlah tersebut, yang kami awasi 412 apotek. Cakupan pengawasan kami baru 11,4 persen. Ditemukan sebanyak 237 apotek yang tidak memenuhi ketentuan atau 50 persen tidak memenuhi syarat. 42 persen memenuhi syarat. 2020, pengawasan kami tertunda karena pandemi Covid-19.
Untuk Kota Semarang seperti apa?
Khusus di Kota Semarang, ada 406 apotek. Yang kami awasi hingga 2019, hanya 33 apotek, atau 8 persen dari jumlah total yang ada. Dari jumlah 33 apotek yang kami awasi, sebanyak 17 apotek tidak memenuhi ketentuan, atau 50 persen tidak memenuhi ketentuan.
Mengapa banyak apotek tidak memenuhi ketentuan?
Mereka tidak memenuhi ketentuan karena pengelolaan obat tidak memenuhi syarat. Misalnya penyimpanan obat, seharusnya obat tersebut disimpan di suhu dingin, tapi disimpan di suhu ruang. Psikotropika mestinya disimpan terpisah dengan obat keras lainnya, tapi masih disimpan menjadi satu. Surat pesannya harus ditandatangani oleh apoteker penanggung jawab. Apotek kan harus memesan obat ke Perusahaan Besar Farmasi (PBF), seharusnya ditandatangani oleh apoteker, tapi ditandangani oleh asisten apoteker.
Bagaimana regulasi ataupun Standar Operasional Prosedur (SOP) distribusi obat di Jawa Tengah?
Untuk regulasi menggunakan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2017. Jadi, sudah ada khusus Permenkes yang mengatur tentang apotek. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian. Yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan pelayanan kefarmasian adalah apoteker, dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian, bisa berasal dari sarjana farmasi, diploma maupun analis farmasi. Tetapi tanggung jawab keseluruhan berada di apoteker.
Mengorder obat, menandatangani surat pesanan, dan menyerahkan obat kepada pasien adalah apoteker. Apotek hanya melayani obat keras berdasarkan resep dokter. Tidak boleh menjual obat keras, yang logonya K merah itu. Ada tiga golongan obat, yakni obat keras (merah), obat bebas (hijau), bebas terbatas (biru). Kalau obat bebas dan bebas terbatas bisa diserahkan ke pasien tanpa resep dokter. Namun untuk obat keras wajib dengan resep dokter. Itu aturannya.
Bagaimana batasan atau aturan resep dokter untuk pasien dalam membeli obat di apotek?
Kalau apotekernya pasti sudah paham. Resep dokter itu kan ada yang bisa diulang, misalnya “Iter 3X” tulisannya. Jadi, itu bahasa latin, jadi kalau “Iter 3X” dia akan diberikan salinan resep, boleh diulang tiga kali. Apoteker harus melakukan pelayanan berdasarkan aturan Permenkes, dan PP Nomor 51 tentang standar pelayanan kefarmasian.
Apakah diperbolehkan seorang dokter menyebut merek obat di dalam penulisan resep?
Boleh. Boleh generik, boleh merek. Dokter-dokter sekarang kan seperti itu.
Apabila seorang dokter praktek memiliki apotek sendiri, kemudian memberikan resep ke pasien untuk membeli obat di apotek miliknya, apakah diperbolehkan?
Sebenarnya, pasiennya sendiri pasti akan memilih apotek terdekat ya. Kalau saya nih sebagai pasiennya dokter, nggak usah jauh-jauh kalau disampingnya ada apotek. Pasti akan beli obat di apotek tersebut. Iya kan kemudahan bagi pasien. Yang penting pengelolaan obatnya oleh tenaga kefarmasian, enggak salah. Kecuali di situ dokternya melayani resep (menjual obat) ya salah, tidak sesuai dengan profesinya. Dokter sebagai pemilik modal boleh. Apoteker dan dokter bekerjasama membuka layanan apotek, boleh.
Bagaimana kalau kemudian terjadi praktik kolusi bisnis obat antara dokter dan apoteker yang kemudian merugikan konsumen?
BPOM tidak mengawasi hingga ke bisnisnya. Kami mengawasi komoditi, pengawasan obat dan makanan agar didistribusikan dengan cara yang benar. Disimpan, dikelola, diserahkan ke pasien, sesuai prosedur. Bagaimana obat itu aman dan layak dikonsumsi oleh pasien. Memberi jaminan mutu keamanan obat yang dikonsumsi. Jadi, untuk faktor bisnis bukan kewenangan kami mengawasi. Yang penting mereka beli di jalur resmi, sehingga bisa ditelusuri obat tersebut apakah telah sesuai dengan kaidah, keamanan, mutu, dan seterusnya. Jadi tidak abal-abal seperti beli di pasar ‘black market’. Maka dokumennya kami cek, dia belinya di mana, seperti itu. Kalau masa izin apotek adalah lima tahun. (*)
editor: ricky fitriyanto