SEMARANG (jatengtoday.com) – Setiap akhir pekan sepulang sekolah, Danang Lawu Sulistiyono, selalu tak sabar untuk segera bergegas menuju sanggar kesenian. Di usia ke-13, siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Semarang itu telah menguasai ilmu mendalang wayang kulit purwa dengan gaya pakem gagrak mangkunegaran.
Wayang kulit purwa sendiri diperkirakan memiliki umur yang paling tua di antara wayang kulit lainnya. Di usia belia, ia telah menguasai sejumlah lakon wayang seperti Kangsa Adu Jago, Gatot Kaca Lahir, Wirata Parwa, dan Wahyu Makutha Rama.
Ia menjadi salah satu dalang cilik—saat ini beranjak remaja, di Kota Semarang yang mampu menuntaskan pertunjukan wayang semalam suntuk. Tidak hanya menggelar pertunjukan, Danang lebih suka melakukan edukasi tentang wayang sejak dini kepada lingkungan sekitar.
Seperti halnya, Sabtu (10/11/2018), bocah yang mengidolakan dalang legendaris Indonesia Ki Narto Sabdo ini asyik berlatih di Gedung Monod Diephuis & Co Jalan Kepodang 11-13 kawasan Kota Lama Semarang. Danang sedang memperkenalkan wayang kepada puluhan siswa SD Negeri Tanjung Emas Semarang yang sedang berkunjung di gedung tersebut.
“Saya senang bisa mengenalkan wayang agar budaya luhur warisan nenek moyang ini tidak punah,” katanya.
Tetapi untuk belajar wayang, kata dia, tidak bisa dipaksakan. Jika diurai, unsur pewayangan terbilang cukup rumit. Mulai dari mengenal nama tokoh, karakteristik, gerak, gaya dialog, alur cerita, bahasa, hingga nilai-nilai Jawa. “Belajar wayang harus suka dan mencintai dulu. Kalau dipaksa orang tua, biasanya malah nggak bisa,” katanya.
Ia mengaku tidak mengetahui sejak kapan menyukai wayang. Tetapi sejak kecil melekat dengan dunia wayang. “Ibu saya mendukung banget. Kalau sekarang ditanya kenapa suka mendalang? Karena tidak semua orang pengin mendalang. Tentunya, juga nguri-uri budaya,” katanya.
Dalam belajar mendalang, kata dia, paling sulit mempelajari suluk, gendhing, dan antawacana atau karakter wayang dan bahasa mendalang. “Cerita wayang cenderung saling berkaitan. Ada lebih dari 200 tokoh dalam pewayangan,” katanya.
Pertama kali pentas mendalang di Purwodadi Kabupaten Grobogan pada 2011, kelas 1 SD. Saat itu, ia membawakan Fragmen Kongso Adu Jago. Bahkan pentasnya dilanjutkan oleh dalang kondang Ki Manteb Soedharsono.
“Biasanya versi ceritanya dipadatkan menjadi 2 hingga 4 jam pertunjukan. Semalam suntuk juga pernah. Pentas di Semarang, Yogyakarta, Solo, Blora, Purwodadi, Bandung, dan Jakarta,” kata dalang yang merupakan murid dari Romo Guru FX Roedjito itu.
Salah satu siswa SD Negeri Tanjung Emas Semarang, Dian Pravita yang turut belajar mengenal seni pedalangan mengaku senang bisa bertemu Dalang Danang. “Wayangnya bagus, baru kali ini saya melihat wayang kulit secara langsung. Suka sekali melihat wayang,” kata siswa kelas IV itu.
Pembina Siaga SD Negeri Tanjung Emas Semarang, Sujatmi, mengaku sengaja mengajak peserta didiknya berkunjung di Gedung Monod Diephuis Kota Lama Semarang. “Tujuannya untuk memperkenalkan budaya Jawa, khususnya pewayangan sambil jalan-jalan. Mengenal istilah dalam pewayangan, nama tokoh, karakter, gamelan, maupun alat-alat yang digunakan,” katanya.
Menurutnya, respons siswa sangat bagus. Mereka terlihat aktif bertanya mengenai wayang. “Peran orang tua secara umum mengenai budaya tradisional wayang terbilang minim. Nah, kami berusaha mengenalkan kepada anak-anak tentang wayang sejak dini. Termasuk Bahasa Jawa dan budaya tata krama,” katanya.
Ibu kandung Danang Lawu Sulistiyono, Siti Suminah atau akrab disapa Bu Mimin, mengungkapkan ada kisah panjang anaknya bisa mendalami ilmu mendalang. Bahkan ia juga tak mengerti mengapa anaknya suka wayang sejak masih Balita.
“Sejak usia dua tahun, Danang sudah gila wayang. Tidak bisa tidur kalau tidak diceritakan wayang,” katanya.
Awalnya, Siti berlangganan sebuah majalah legendaris berbahasa Jawa. Di halaman bagian belakang, terdapat rubrik wayang bersambung. “Nah, setiap kali anak saya mau tidur, saya sering membacakannya. Dia seneng mendengar cerita, lalu saya kliping cerita dari majalah tersebut. Bahkan dia hafal beberapa cerita wayang bersambung seperti di kliping,” katanya.
Pada usia dua tahun, Danang mendapatkan hadiah berupa gunungan wayang dari saudara. “Pak Dhe-nya memberikan hadiah gunungan wayang. Dari situ, dia respek terhadap tokoh-tokoh wayang. Lalu saya mencari tokoh-tokoh wayang di internet untuk diprint out dan ditempelkan di kardus. Maklum, kami tidak mampu membeli wayang kulit asli,” katanya.
Aktivitas mengenal wayang berlanjut hingga kelas 1 SD. “Saya bertemu dengan teman, Pak Cahyono Raharjo. Beliau memberi tahu tempat latihan mendalang ada di Sobokartti. Saya bawa ke sana, ternyata ditolak karena Danang waktu itu masih terlalu kecil. Belum bisa membaca,” katanya.
Tetapi Siti tetap membawa Danang ke sanggar Sobokartti untuk melihat latihan mendalang selama berminggu-minggu. Sebab, anaknya sangat tertarik untuk belajar wayang. “Beberapa minggu kemudian ditemui oleh guru dalang, Pak FX Roedjito. Ditanya “Kowe seneng wayang tenan to Le?”. Disuruh suluk, ternyata bisa. Dites memagang wayang, bisa juga,” katanya.
Danang, kata Siti, sejak kecil seperti memakai ilmu ‘titen’ (memperhatikan). “Diam-diam memperhatikan, mendengar, dan melihat. Belum bisa membaca, tapi bisa meniru dan memperagakan bagian cerita wayang. Akhirnya Danang diterima sebagai murid Pak Roedjito di umur 7 tahun,” katanya.
Menurutnya, Danang tidak sekadar suka terhadap wayang. “Tapi kalau saya bilang gila wayang sejak kecil. Kalau suka saja, biasanya saat bosan ya sudah ditinggalkan. Tapi Danang tidak. Dia benar-benar suka dan berlatih secara intens,” imbuhnya.
Bahkan Siti mengaku pernah ditegur saudara karena mengenalkan wayang kepada anak kecil dibilang menyesatkan. “Kata mereka menenggelamkan dunia anak terhadap hal yang tidak jelas. Sebab, dunia anak dunia bermain, seperti mobil dan mainan anak lainnya, bukan wayang. Saya terpengaruh, kliping wayang, gunungan dan sejumlah mainan wayang saya sembunyikan,” katanya.
Ia tidak pernah menduga ternyata hal itu berdampak sangat fatal. Danang sakit dan opnam selama satu bulan di RS Tlogorejo Semarang. “Buah air besar berdarah cukup parah. Dokter bilang secara identifikasi medis, Danang ini normal. Tapi ada yang aneh, anaknya diam dan tidak mau makan. Saya ditanya dokter, barangkali anaknya ada keinginan yang selama ini tidak bisa diomongkan. Seperti dalam kondisi stres berkelanjutan,” katanya.
Omongan dokter tersebut membuat Siti teringat kliping wayang, gunungan dan sejumlah mainan wayang yang disembunyikan di rumah. “Tanpa berpikir panjang, pukul 03.00, saya nekat pulang dari rumah sakit dengan naik sepeda onthel untuk mengambil kliping wayang tersebut,”
“Anehnya, setelah saya berikan, ada kliping, mainan wayang, gunungan, dan lain-lain itu dipeluk oleh Danang sambil menangis. Saya sampai heran dan merasa bersalah. Enggak tahu kenapa, pagi harinya dia sembuh,”
Siti mengaku baru menyadari arti pentingnya orang tua memberikan hak pendidikan terhadap anak. Ia merasa bersalah karena telah mengorbankan minat atau keinginan anak terhadap wayang. “Saya lebih menuruti omongan orang lain. Sejak saat itu, saya berjanji akan turuti minat anak semampunya. Asalkan pendidikan tetap utama. Akhirnya Danang belajar wayang hingga sekarang,” katanya.
Selama tujuh tahun, Siti dengan sabar mendampingi dengan mengantar anaknya belajar mendalang di sanggar kesenian. Dia tidak berpikir anaknya agar nanti menjadi dalang terkenal. “Saya menempatkan wayang sebagai warisan tradisi dan budaya nenek moyang yang luhur. Bermanfaat bagi orang-orang di sekitarnya saja itu sudah mulia. Hingga sekarang Danang lebih memilih wayang sebagai peran edukasi. Memberi pelatihan di hadapan anak-anak SD,” katanya.
Pelaksana Bidang Perlindungan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, Isti Ilma Patriani mengatakan, peran keluarga dalam memenuhi hak anak sangat penting.
“Keluarga adalah pihak pertama yang menanamkan nilai-nilai pertama pada anak. Keluarga berperan dalam memberikan edukasi tentang pencegahan kekerasan terhadap anak,” katanya.
Sejauh ini, kesadaran orang tua dalam melakukan pendidikan anak dalam lingkup keluarga masih terbilang minim. “Hal yang sering terjadi, orang tua cenderung kurang memberikan perhatian dan menjalin komunikasi dengan anak. Kurang memberi pengawasan kepada anak tentang penggunaan gadget dan pergaulan,” katanya.
Lebih lanjut, orang tua seringkali kurang menghargai anak dengan membandingkan anak. Paling fatal, terkadang orang tua melakukan kekerasan terhadap anak. Jangan sampai hal tersebut terjadi. “Membangun komunikasi dengan anak perlu memperhatikan hak-hal anak untuk tumbuh kembang dan partisipasi. Komunikasi sebaiknya dilakukan dua arah, yakni pola asuh yang demokratis bukan otoriter,” katanya. (*)