SEMARANG (jatengtoday.com) – Penanganan banjir di Kota Semarang semestinya tidak sekadar menyalahkan cuaca, hujan deras, maupun banjir kiriman, tetapi harus ada sistem penataan secara serius di berbagai lini. Tidak cukup hanya melakukan normalisasi sungai, drainase maupun embung.
Banjir akan tetap terjadi apabila sejumlah kerusakan lingkungan, alih fungsi lahan serapan untuk kepentingan bisnis, dan eksploitasi air bawah tanah dibiarkan dan tidak dikendalikan oleh pemerintah.
Anggota Komisi C DPRD Kota Semarang, Joko Santoso, meminta Pemkot Semarang mengevaluasi penanganan dan pengendalian banjir secara menyeluruh di Kota Semarang. Tidak hanya memaksimalkan normalisasi sungai, perbaikan drainase, meningkatkan kapasitas kapasitas rumah pompa, tetapi juga harus mengendalikan permasalahan lain yang menjadi faktor penyebab banjir di Kota Semarang.
“Salah satu contohnya adalah penanggulangan land subsidence atau penurunan muka tanah di Kota Semarang. Jika land subsidence ini dibiarkan bertambah parah, maka banjir akan tetap terjadi. Lihat saja, Semarang Utara kerap direndam rob,” katanya, Jumat (26/2/2021).
Meski telah memaksimalkan pompa dan polder, jika penurunan tanah tetap terjadi, maka banjir dan rob juga akan tetap terjadi. Apa penyebab penurunan tanah? Tentu salah satunya adalah pengambilan air bawah tanah yang perlu dikontrol dan dikendalikan. “Apabila pengambilan air tanah yang berlebih tidak dikendalikan, maka penurunan muka tanah tetap terjadi,” katanya.
Menurutnya, sejauh ini telah terjadi eksploitasi air tanah secara besar-besaran di Kota Semarang. Banyak aktivitas industri di Kota Semarang mengambil air bawah tanah seperti pabrik, hotel dan lain-lain. Sehingga penurunan tanah di Kota Semarang sangat mengkhawatirkan. Bahkan sejumlah peneliti lingkungan menyebut penurunan tanah di Kota Semarang mencapai 19 centimeter.
“Agar air tanah tidak dieksplorasi besar-besaran, maka pelayanan PDAM harus dimaksimalkan. Pelayanan PDAM harus menyeluruh, agar pengambilan air tanah bisa berkurang,” ungkap dia.
BACA JUGA: Peneliti Temukan Lima Faktor yang Memperparah Banjir di Semarang
Sejauh ini, larangan pembuatan sumur artesis diatur oleh Perda Pemprov Jateng. Pihaknya meminta agar hal tersebut mendapatkan perhatian, termasuk memaksimalkan program penghijauan dan pembuatan hutan kota.
“Tujuannya, selain untuk resapan air saat musim hujan, penambahan ruang terbuka hijau bisa membuat Kota Semarang lebih rindang,” ujarnya.
Pakar Tata Ruang Kota dari Universitas Diponegoro (Undip), Prof Bambang Setyoko sebelumnya menilai penanganan banjir dan rob di Kota Semarang beberapa tahun terakhir memang cukup terlihat. Namun dia menyayangkan penanganan banjir di Kota Semarang hanya terfokus di hilir (ujung akhir aliran sungai menuju laut). Sedangkan kerusakan lingkungan di wilayah hulu (awal mula aliran sungai atau dataran tinggi) cenderung diabaikan.
BACA JUGA: Banjir Tetap Terjadi Bila Kerusakan Lingkungan di Hulu Diabaikan
Di hulu atau dataran tinggi, kawasan resapan air yang seharusnya menjadi lahan penghijauan justru banyak berubah menjadi kawasan industri, pabrik, real estate, permukiman dan lain sebagainya. “Inilah sebenarnya penyumbang terbesar yang memicu terjadinya banjir,” cetus dia.
Ruang terbuka hijau seharusnya bisa menyerap air dan lebih memperlambat air untuk mengalirkan ke sungai. “Namun saat ini yang terjadi air hujan langsung masuk ke sungai dan sungainya tidak mampu menampung debit air. Akibatnya, sungai meluap dan Semarang banjir. Sederhananya begitu,” bebernya. (*)
editor: ricky fitriyanto