Meskipun begitu, katanya, sejumlah peziarah datang dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, beberapa kali ada peziarah yang datang dari Tiongkok dan Thailand. Banyak juga yang dari kalangan Konghucu, karena di situ juga disediakan media ziarah untuk agama tersebut.
Di Bukit Pekayangan tersebut terdapat tiga bangunan di tengah pemakaman umum yang dipisahkan gapura. Tiga bangunan bergaya Tiongkok itu terdiri dari cungkup makam Sunan Kuning, cungkup makam tiga pengikutnya, dan mushola.
Di dalam cungkup makam Sunan Kuning sendiri terdapat tiga makam. “Pertama makam Mbah Sunan Kuning, lalu ada makam Mbah Sunan Kali sama Mbah Sunan Ambarawa,” jelasnya.
Dalam sejarahnya, lanjut Ibrahim, makam Sunan Kuning ini ditemukan sekira tahun 1700. Hal ini dikuatkan dengan prasasti dan tulisan di batu nisan perihal nama maupun jatidiri yang ada di makam tersebut. Disebutkan bahwa Soen An Ing adalah salah satu tokoh Tionghoa penyebar agama Islam di Kota Semarang pada zamannya.
Julukan Sunan Kuning sendiri diperkirakan hanya untuk mempermudah pengucapan, karena lidah orang Jawa kesulitan jika mengucap Soen An Ing.
Selain sebagai pendakwah, ia juga dikenal sosok yang pandai ilmu pengobatan, bahkan keahliannya itu terkenal hingga mancanegara. “Tahun wafatnya sebenarnya tidak diketahui secara pasti, tapi yang jelas beliau dulu merupakan ahli pengobatan yang terkenal,” ceritanya.
Dalam buku berjudul 9 Oktober 1740; Drama Sejarah, dalam Catatan Seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe, menyebut bahwa Sunan Kuning sebenarnya memiliki nama populer Raden Mas Garendi.