SEMARANG (jatengtoday.com) – Sebulan lebih, proses penggarapan film “Rembulan Tenggelam di Wajahmu” adaptasi Novel karya Tere Liye dilakukan di sejumlah tempat di Kota Semarang.
Sutradara Daniel Rifki, mengaku terkejut selama sebulan lebih mengeksplorasi gedung-gedung tua di kawasan Kota Lama Semarang. Bukan karena angkernya, tetapi karena banyak gedung eksotis ada di Kota Semarang. Ini menjadi salah satu alasan mengapa memilih Semarang sebagai lokasi syuting.
“Kami melakukan riset di beberapa kota, akhirnya Semarang yang kami pilih. Kami memilih Semarang karena memang ada setting-setting kuno, rumah kuno, gedung kuno, terutama di Kota Lama Semarang, banyak gedung tua yang masih terawat,” kata Daniel ditemui jatengtoday.com, di sela proses syuting di Gedung Monod Diephuis Kota Lama Semarang, (5/8) malam.

Hal yang mengejutkan dan menggembirakan, kata Daniel, adalah proses pengurusan perizinan untuk syuting ini berjalan lancar dan tidak ribet. “Banyak pihak membantu, mulai dari Pak Agus (Monod Diephuis), Mas Kusri, sangat membantu proses perizinan lokasi, perizinan jalan dan lain-lain. Jadi, proses syuting menggunakan aset Kota Lama sangat mudah dan menyenangkan,” katanya.
Ada beberapa tempat yang dijelajahi. Dia bersama tim dari Max Picture mengeksplorasi sejumlah gedung tua di Kota Lama Semarang, Pelabuhan Tanjung Emas, serta beberapa set rumah di Jalan Dr Wahidin, gereja tua di Karangpanas, dan lain-lain. “Sudah sebulan lebih kami di sini, mengeksplore tempat-tempat tua itu,” katanya.

Film yang dimainkan oleh sederet aktor seperti Arifin Putra, Aryo Wahab, Bio One, Donny Alamsyah, Cornelio Sunny, Egi Fedly, dan selebgram Anya Geraldine ini direncanakan tayang Desember tahun ini (2018). “Kalau tidak ada perubahan,” katanya.
Film adaptasi novel ini, lanjut Daniel, dikembangkan secara visual film. Penataan konflik dan eksplorasi kreatif tetap dilakukan untuk menambah film ini apik. “Kami menyebutnya adaptasi ya. Ada adaptasi yang setia, ada adaptasi yang cukup kreatif dan eksploratif, atau adaptasi bebas. Nah, ini tipe adaptasi yang cukup setia. Tapi penulis novelnya membolehkan kami untuk banyak mengembangkan cerita. Jadi, adaptasi setia yang bebas,” katanya sembari tertawa.

Sebagai sutradara, ia mengaku selalu berdiskusi dengan penulis novel tersebut untuk mengembangkan versi filmnya. Menurut dia, menonton film dan membaca novel adalah dua pengalaman berbeda. Novel adalah imajinasi dengan kata-kata, sementara film tidak bisa berimajinasi lebih daripada gambar. Apa yang dilihat itulah yang ditangkap penonton.
“Maka film harus tepat dalam menggambarkan suasana. Itu beberapa alasan mengapa memilih tempat syuting di Semarang,” kata sutradara yang sebelumnya menggarap film Haji Backpacker, La Tahzan, dan With Me After Sunset.
Lebih lanjut, film ini menjadi film spiritual sehingga membutuhkan proses eksplorasi lebih. Perbedaan dari film lain, adalah bertema spiritual. “Tokohnya Islam, tapi spiritualitasnya tidak hanya Islam, artinya bisa universal, bisa diterima agama apapun. Film ini tentang pergolakan batin seorang preman, pencuri, yang kemudian menemukan pencerahan,” katanya.
Tema-tema spiritual, kata dia, jarang dieksplorasi. “Film spiritual berbeda dengan film-film religi. Kalau film religi lebih banyak mengeksplor ritual-ritual agama formal. Kalau ini lebih ke moralitasnya, sehingga lebih universal. Semoga ini bisa menjadi menu baru di film Indonesia,” katanya. (abdul mughis)
editor : ricky fitriyanto