SEMARANG (jatengtoday.com) – Sanggar Greget membawakan Tari Bedaya di Museum Ronggowarsito Semarang. Tarian yang sangat dihormati di lingkup keraton Jawa ini dipentaskan dua sesi. Yakni Bedaya Sangghita Anjali dan Bedaya Ratu Gayatri.
Dua tarian tersebut merupakan ciptaan Pengasuh Sanggar Greget, Yoyok Bambang Priyambodo yang kesekian. Tarian itu diciptakan untuk mengurapi kelahiran putrinya. Bedaya Sangghita Anjali untuk anak pertamanya, dan Bedaya Ratu Gayatri untuk anak ketiga. Nama tarian diambil dari nama yang sama dengan dua putrinya.
”Tari Bedaya itu bersifat pinilih. Penarinya merupakan pilihan. Dan tarian ini di keraton menjadi profesi. Artinya menjadi pilihan hidup penari,” jelasnya.
Dipentaskan saat tradisi selapanan, atau selamatan untuk bayi saat berumur 35 hari. Durasi komposisi tarinya tidak lama, sekitar 20 menit. Tidak seperti di keraton yang bisa berdurasi sektiar 1 jam.
”Bedaya itu juga adalah ungkapan harapan. Ada Bedaya Anglir Mendung, itu adalah harapan untuk turunnya hujan. Dua tarian ini, adalah ungkapan harapan saya kepada anak,” ujarnya.
Menurut Yoyok, Bedaya Sangghita Anjali mempunyai makna anggun dan tetap kokoh. Serta Bedaya Ratu Gayatri yang mempertemukan kecerahan dengan kerukunan.
”Bentuk geraknya dan warna kostum yang digunakan memaknai hal itu. Kalau Bedaya Ratu Gayatri, itu ungkapannya sebagai penjaga. Warna kostumnya lebih cerah dengan kenikmatan mengikuti arah zaman,” bebernya.
Yoyok sengaja membedakan Bedaya yang diciptakannya dengan Bedaya di keraton. Mulai dari kostumnya, hingga komposisi. Meskipun tetap memegang pakem filsafat dan aturan keraton.
”Kami sempat pentaskan di Surakarta. Memang ada yang berkomentar. Saya jelaskan, ini Bedaya Pesisir. Pastinya berbeda. Ungkapan harapan dari pesisir,” tuturnya.
Yoyok tidak hanya membuat komposisi gerak. Tembang dan aransemen gamelan untuk mengiringi tari juga disusun sendiri. Tari Bedaya karya Yoyok tersebut bisa dinikmati di akun youtube milik Sanggar Greget.
Lestarikan Tari Bedaya
Yoyok mengaku ingin melestarikan Tari Bedaya yang semula hanya diajarkan dan disajikan di Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Dijelaskan, pada 1970, Tari Bedaya hanya boleh diajarkan dan disajikan di luar lingkungan keraton. Salah satunya di Pusat Kesenian Jateng (PKJT) Pendhapa Sasono Mulya Surakarta. Selain itu juga menjadi kajian di institusi kesenian.
“Tentu, setelah keluar keraton mengalami perubahan bentuk, karena proses adaptasi. Banyak muncul Tari Bedhaya yang dibuat oleh penari di luar keraton. Penyebaran budaya dan filosofinya menjadi meluas,” terangnya.
Setelah keluar keraton, lanjutnya, Tari Bedaya mengalami perubahan bentuk, karena proses adaptasi. “Banyak muncul Tari Bedaya yang dibuat oleh penari di luar keraton. Penyebaran budaya dan filosofinya menjadi meluas. Menjadi kajian di institusi kesenian juga,” terangnya.
Sudah lama, Yoyok mempelajari tentang Tari Bedaya. Bolak-balik ke Keraton Surakarta, menimba ilmu dari para guru tari di sana. Hingga akhirnya memberanikan diri untuk menciptakan komposisi gerak Tari Bedaya. (*)
editor: ricky fitriyanto