MAGELANG (jatengtoday.com) – Rumah Ketela di Dusun Ngaran, Desa Borobudur, Kabupaten Magelang, berhasil menarik wisatawan mancanegara lewat ragam kuliner olahan singkong. Industri kecil ini juga mengajak masyarakat setempat menjadi mitra untuk memenuhi permintaan konsumen.
Sang pemilik, Ida Sutomo menerangkan, Rumah Ketela dirintis 2010 silam. Ide membuat usaha olahan singkong muncul paska erupsi Gunung Merapi. Waktu itu, di sana tidak ada makanan kecuali mi instan. Semua tanaman pangan ludes diterjang wedhus gembel. Hanya singkong dan ketela yang selamat karena berada di dalam tanah.
“Saya lihat banyak singkong. Kemudian saya coba olah jadi makanan. Karena pada bosan makan mi instan. Ternyata relawan-relawan dan pengungsi pada suka,” ucapnya di gerainya, saat menerima kunjungan tim dari Dinas Koperasi dan UKM Jateng, beberapa waktu lalu.
Ida menjelaskan dalam pembuatan makanan berbahan baku ketela itu, diawali dengan membuat tepung modified Cassava (mocav). Tepung Mocav ini kemudian diolah menjadi keripik, brownies hingga es krim.
Melalui sentuhan kreatif dan didukung oleh berbagai pihak termasuk Dinas Koperasi dan UMKM setempat, Rumah Ketela ini berkembang pesat.
Sedikitnya ada 20 jenis makanan olahan yang dihasilkan. Misalnya saja, egg roll singkong, putri gulung singkong, kroket, brownies bakar, kue lumpur labu, kokrok singkong, brownies pandan, lapis nangka dan pisang.
Wanita berdarah Aceh tersebut saat ini dikenal sebagai salah satu inovator olahan ketela. Bahkan ia memperoleh juara I lomba untuk pariwisata dan usaha kecil. Dia juga dipercaya oleh Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) Kabupaten Magelang untuk memberikan pelatihan-pelatihan di wilayah Kabupaten setempat. Ida juga kerap memberikan pelatihan bagi kelompok PKK dan warga di sekitarnya.
“Saya juga memberikan pelatihan secara gratis pada warga. Saya anjurkan datang ke rumah dan melihat proses memasaknya,” jelasnya.
Rumah Ketela juga menjadi salah satu jujugan wisatawan setelah berkunjung ke Candi Borobudur. “Setiap harinya bisa menghabiskan ketela minimal 30 kg,” jelasnya.
Adapun bahan baku ketela didapatkannya dari wilayah sekitar Magelang seperti Borobudur, Ngargogondo, Pakis, dan Kajoran.
“Saya memang sengaja mengambil ketela lokal Magelang. Kalau ada kekurangan baru cari di Temanggung. Tapi sejauh ini untuk pasokan bahan baku tidak pernah ada masalah,” katanya.
Ida memaparkan dengan mengolah ketela ini ingin mengangkat pamor makanan lokal yang gampang untuk masyarakat desa. Dan itu bisa didapat dari ketela pohon, ketela pendem serta semua umbi-umbian.
“Kami sering memberikan pelatihan kepada warga sekitar agar bisa menaikan tingkat ekonomi mereka supaya ketela tidak hanya direbus atau digoreng saja,” jelasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto