SEMARANG (jatengtoday.com) – Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang dinyatakan masih sesuai standar yang ditetapkan oleh Undang-undang. Dalam UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa setiap daerah harus memiliki RTH minimal 30 persen dari luasan wilayah.
Ketika RTH semakin berkurang, berarti daerah resapan airnya kian menipis sehingga akan berdampak pada bencana banjir.
Menurut Pakar Lingkungan Hidup Prof Sudharto P Hadi, ibu kota Jawa Tengah ini sebenarnya masih memenuhi kriteria minimal RTH tersebut. Pasalnya, Kota Semarang masih memiliki Kecamatan Mijen dan Gunungpati yang notabene berada di dataran tinggi yang banyak pohonnya.
“Secara umum Kota Semarang masih memiliki cukup banyak ruang terbuka hijau. 30 persen itu memenuhi lah. Tidak seperti Jakarta misalnya yang RTH-nya kurang dari 18 persen,” ujar mantan Rektor Universitas Diponegoro itu.
Hanya saja, lanjut Dharto, masalahnya ada di pemerataan dan kualitas RTH. Artinya, 30 persen itu angka terbesarnya di wilayah Mijen dan Gunungpati. Sementara di Semarang Utara, Semarang Tengah, Semarang Timur, dan Candisari RTH-nya sangat kurang.
“Kebutuhan untuk mengatur resapan air, kebutuhan mengatur tata air, untuk oksigen, itu kan setiap orang butuh, setiap wilayah harus ada. Kan tidak mungkin orang Semarang Utara mau menghirup udara ke Mijen,” tegasnya.
Jadi, imbuhnya, ada persoalan pemerataan disitu. Akibatnya, daerah yang berada di hilir sungai biasanya rentan banjir.
Menurutnya, itu masih lumayan. Karena meskipun tidak merata, minimal air kiriman dari hulu (Semarang atas) tidak terlalu banyak karena masih ada daerah resapan yang memadai.
Selanjutnya adalah soal kualitas RTH. RTH itu harus disertai vegetasi yang bagus. Ditanami dengan tanaman yang bagus. Persoalannya, belum semua RTH yang ada di Kota Semarang itu kualitas tanamannya mencukupi. Meskipun harus diakui pemerintah sedang berupaya ke arah itu.
Yang dikhawatirkan Dharto saat ini, daerah Mijen dan Gunungpati ini cepat atau lambat bisa terlampaui daya dukungnya, karena ancaman alih fungsi lahan sangat tinggi. Terutama untuk pembangunan perumahan.
“Dari beberapa mahasiswa saya yang mengambil tesis dan disertasi di Mijen dan Gunungpati menyatakan perubahan alih fungsi lahan, dari lahan sawah untuk permukiman itu sangat masif,” katanya.
Dia berharap agar pemangku kebijakan kota bisa lebih memperhatikan persoalan krusial ini. Sistem tata ruang harus direncanakan dalam jangka panjang. Sehingga pergantian kepemimpinan tidak menjadi ancaman baru terhadap kemungkinan menipisnya RTH.
Pembangunan berkelanjutan juga harus didasarkan pada tiga aspek utama, yakni pembangunan yang mensinergikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. “Ini kemudian diekspresikan dalam kebijakan pemerintah kota, di RPJM, di RTRW. Harus nampak di sana,” katanya.
Pakar lingkungan tersebut sebenarnya cukup mengapresiasi usaha Wali Kota Semarang yang sekarang. Menurutnya, komitmen Hendi dan Ita terhadap lingkungan cukup bagus, ditunjukkan dengan keinginan untuk membangun 35 taman, kemudian trotoar, dan RTH.
Terakhir, ia berpesan agar ada perubahan perilaku tentang tata ruang yang mendasarkan pada daya dukung lingkungan. “Jadi tata ruang yang tidak hanya mendasarkan pada kepentingan pertumbuhan ekonomi, karena pada banyak kasus justru mengorbankan lingkungan,” tandasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto