Saya sering mendengarkan orang bertanya, “Apa komentar kawanmu tentangku?”.
Ini kepribadian “insecure”, merasa tak-aman sampai mendapatkan kepastian. Sama ketika saya menuruti permintaan kawan untuk membaca kartu tarot. Kepribadian “insecure”, secara spontan berkata, “Saya tidak percaya..”, atau “Coba bacakan Tarot untuk pertanyaan yang ini..”.
Yang tidak mereka sadar, ia menganggap saya menilai mereka, padahal sebenarnya mereka sedang menilai dirinya sendiri.
Sigmund Freud punya konsep id, ego, dan superego. Bisa kita jelaskan dengan bahasa yang mudah, begini. “Id” merupakan instinct biologis yang ingin kita turuti, misalnya: “saya lapar dan ingin makan”. “Ego” muncul ketika “id” bertemu dengan realitas (kenyataan), misalnya: “bagaimana caranya saya bisa makan”. Pada saat inilah, manusia menjadi egois. Dia bisa bekerja, merampas, atau melakukan cara lain, sesuai dengan realitas yang dia hadapi. “Superego” terjadi ketika sudah ada intervensi moral, seperti: norma sosial, aturan main, dll. Ketika ego dominan, diri manusia sedang bergelut dengan realitas.
Ketika Sang Putri mencium Kodok, agar terbebas dari kutukan dan berubah menjadi Pangeran, apakah dia melakukannya untuk sepenuhnya menolong? Mungkin tidak. Sang Putri ingin mengatasi kesepian dan mencari cinta. Kita tidak tahu, apakah dia sedang memegang ponsel untuk selfie atau tidak.
Keadaan yang paling mudah kita pakai untuk melihat bagaimana manusia “egois”, bisa kita tilik di media sosial.
Orang mengutamakan kepentingan dirinya sendiri, justru ketika mereka sedang berada di perbincangan sosial.
- Pejabat X menginginkan pemotretan di acara, bukan saja sebagai laporan resmi; tidak jarang mereka memang ingin “tampil”.
- Orang memberikan hadiah kepada orang yang ia cinta, lebih sering karena kepentingannya agar mendapatkan cinta orang itu. Orang memotret anak mereka yang pintar mengaji, agar misi sosial mereka terpenuhi.
Menurut Marriot Dunbar, dalam “Human Conversational Behavior” (1997) fungsi percakapan nomor satu dalam ranah sosial adalah “..itu memungkinkan pembicara untuk menyampaikan kepada orang lain banyak informasi tentang dirinya sebagai pribadi.”.
Diana I. Tamir, dalam “Anchoring and Adjustment During Social Inferences“, yang dimuat di Journal of Experimental Psychology: General , Volume 142 (1): 12 – Feb 16, 2013, ketika terjadi percakapan sosial, sering terjadi “anchoring”.
“Anchoring” adalah bias kognitif di mana “.. [orang] menggunakan pengalaman mereka sendiri sebagai panduan untuk menyimpulkan pengalaman orang lain.”
Megan L. Meyer menulis “Why People are Always Thinking about Themselves: Medial Prefrontal Cortex Activity During Rest Primes Self-referential Processing“, di Jurnal Cognitive Neuroscience , Volume Early Access (Early Access): 9 – May 1, 2018, mengajukan beberapa alasan ilmiah, mengapa orang selalu memikirkan diri mereka sendiri.
- Ada area tertentu di otak (MPFC/DA 10) yang merupakan semacam area “jaringan default”. Itu akan diaktifkan ketika otak beristirahat dan tidak terlibat dalam tuntutan eksternal.
- Pekerjaan pencitraan mereka menegaskan bahwa itu juga area yang sama yang menyala ketika kita memikirkan diri kita sendiri.
Dengan kata lain, standar otak manusia adalah memikirkan diri sendiri.
Kita bersosialisasi untuk membicarakan diri sendiri, memakai pengalaman sendiri untuk menilai pengalaman orang lain, dan secara default pikiran manusia memikirkan diri sendiri ketika tidak ada tuntutan eksternal lain.
Ketika kamu merasa dihakimi, sebenarnya kamu sedang menilai dirimu sendiri.
Yang perlu kita lakukan adalah membingkai ulang pikiran dan asumsi negatif kita tentang diri kita sendiri. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan orang lain. Bahkan mereka bisa berubah menjadi pencerita atau pembohong, begitu kita menanyakan hal sama.
Dunia ini berputar tidak harus selalu kamu hubungkan dengan dirimu sendiri. “Barnum Effect”, salah satu bias kognitif, di mana menganggap kejadian terhubung dengan diri kita.
Kamu semakin bebas, terbebas, dan mandiri, ketika menyadari bahwa tidak ada yang memikirkanmu. Tanggung jawab menjadi lebih besar. [dm]