Kemarin saya baca lagi buku Factfulness, dari Hans Roling. Ada banyak versi buku ini, seperti umumnya buku yang ngehit di Amazon. Saya baca edisi kertas terbitan 2018.
Buku ini dapat testimoni dari Bill Gate, sebagai “Salah satu buku terpenting yang pernah saya baca dan panduan penting menuju berpikir jelas tentang dunia.”.
Seperti subjudul tertera, buku ini berisi 10 alasan kita salah dalam memandang dunia dan mengapa hal-hal sebenarnya lebih baik daripada yang kamu pikirkan.
Apa Bagusnya Buku Ini?
Ada 3 alasan mengapa buku ini bagus.
- Punya 10 formula untuk memperbaiki cara-pandang yang salah terhadap dunia. Kalau kamu memakai tabel “kesalahan berpikir” dan “bias kognitif” yang pernah saya ulas di “Workshop Manajemen Media Online”, mungkin butuh waktu lebih dari 1 bulan.
- Memberikan panduan mendasar untuk hidup di tengah overload informasi. Untuk memandang kenyataan (realitas), kamu bisa terapkan panduan di buku ini. Karena ini aplikatif, kamu bisa ubah buku ini menjadi “kompas” untuk mengarungi tantangan “membaca” dan “melihat” dunia. Setiap melakukan pengambilan keputusan atau menilai informasi, kamu bisa jadikan buku ini sebagai daftar-periksa agar tidak bias.
- Buku ini mencegah kamu dari kesalahan berpikir yang paling umum. Kamu tahu apa yang terjadi kalau kamu mengambil keputusan dan menilai informasi tanpa panduan? Hasilnya, kamu terjebak pada 10 instinct yang dijelaskan di buku ini.
Saya menuliskan-ulang penjelasan Hans Roling secara lebih ringkas dengan contoh yang saya buat sendiri. Jangan terlalu percaya apa yang saya tuliskan. Silakan baca sendiri buku Factfulness.
Pola penulisan buku ini, per item, hampir sama: memberikan nama “instinct”, menjelaskan pola yang terjadi, dan bagaimana cara mengatasi instinct (naluri) itu.
10 Naluri Buruk dan Cara Mengatasinya
Naluri Celah
Ini jenis godaan tak-tertahankan: kamu harus membagi segala macam hal menjadi 2 kelompok berbeda, dan seringkali bertentangan, dengan bayangan celah di antaranya.
Naluri celah (gap insticnt) membuat kamu membayangkan perpecahan di mana hanya ada jarak yang mulus, perbedaan di mana ada konvergensi dan konflik di mana ada kesepakatan.
Naluri kesenjangan menciptakan 2 hal bertentangan.
Bagaimana mengatasi naluri kesenjangan?
Kenyataan itu sering tidak terpolarisasi. Carilah yang mayoritas. Waspada terhadap perbandingan rata-rata. Waspada perbandingan ekstrem. Di semua kelompok, ada sebagian di atas dan sebagian ada di bawah. Ketika perbedaan sangat tidak adil, “mayoritas” berada di antara keduanya, tepat di tempat yang seharusnya ada kesenjangan.
Coba lihat dari atas, ubah sudut pandang kamu. Segala sesuatu yang lain terlihat sama pendeknya, tetapi sebenarnya tidak. Tergantung dari mana dan bagaimana kamu memandang.
Naluri Negatif
Kita cenderung memperhatikan mana yang lebih buruk.
Cara mengendalikan naluri negatif?
- Ingatlah, informasi negatif memang sengaja disampaikan kepadamu.
- Berlatihlah membedakan antara #tingkatan baik atau buruk, dan arah perubahan (misalnya: menjadi lebih baik). Semua hal bisa menjadi lebih baik atau lebih buruk. Seperti itulah “tingkatan”. Dunia tidak hitam-putih.
- Berita baik bukanlah berita. Yang baik, jarang diberitakan. Ketika kamu mendapat berita baik, tanyakan, “Apakah berita buruk juga sampai ke saya?”.
- Perbaikan bertahap bukanlah berita baru. Orang lebih cenderung melihat penurunan dibandingkan dengan peningkatan secara keseluruhan. Coba kabarkan tentang “angka kesejahteraan” menurun, hasilnya akan lebih viral daripada angka yang menaik.
- Lebih banyak berita tidak berarti lebih banyak penderitaan. Lebih banyak berita buruk, kadang berfungsi untuk perbaikan. Bukan berarti dunia yang memburuk.
- Lihatlah masa lalu yang cerah. Orang sering mengagungkan pengalaman awal mereka, dan negara sering kali mengagungkan sejarah mereka.
Naluri Garis Lurus
Naluri ini menggambarkan kecenderungan kita untuk berasumsi bahwa garis akan terus lurus dan mengabaikan bahwa yang lurus terus itu, pada kenyatannya jarang terjadi.
Tapi jangan menganggap garis lurus. Banyak tren yang tidak mengikuti garis lurus tetapi merupakan tikungan-S, perosotan, punuk, atau garis ganda. Tidak ada anak yang pernah mempertahankan tingkat pertumbuhan yang dicapai dalam enam bulan pertama, dan tidak ada orang tua yang mengharapkannya.
Naluri Ketakutan
Orang lebih memperhatikan hal-hal menakutkan. Yang kita takutkan: bahaya fisik. Sejak nenek moyang, ketakutan ini ada. Mengantisipasi ketakutan kuga menjadi cara manusia bertahan-hidup (to survive). Sampai zaman informasi, ketakutan masih ada. Ketakutan menjadi bagian dari evolusi manusia.
Naluri ketakutan menjadi naluri terkuat dalam mempengaruhi jenis informasi yang kita pilih. Media sering menceritakan dunia yang tidak aman, penuh konspirasi, bahaya tersembunyi, dan “ini kerugian yang terjadi jika kamu..”. Berpikir kritis dalam keadaan takut, tidak menyisakan ruang untuk hal-hal faktual.
Bagaimana menghindari ketakutan?
- Kenali pemicu ketakutan itu. “Kapan saya merasa takut? Kalimat atau bentuk apa yang mendorong saya untuk takut? Apa yang membuat saya menaruh perhatian kepada rasa takut?
- Verifikasi fakta yang ada. Hitung-ulang resiko yang akan terjadi.
- Ketakutan berasal dari kebodohan dalam bercerita di mana pemcerita tidak menguasai apa yang ia ceritakan.
Bahaya es teh. Ancaman mie instant. Banyak hal disajikan seolah-olah ilmiah, namun sebenarnya hanya beralasan, mengutip orang ahli, atau menampilkan simulasi meyakinkan.
Resiko hanyalah bahaya yang diperkuat oleh paparan. Bukan kenyataan sesungguhnya.
Ketika kamu takut, pandangan kamu terhadap dunia menjadi berbeda.
Naluri Ukuran
Kecenderungan mengukur di luar proporsi, atau salah menetapkan ukuran, atau salah dalam menilai ukuran.
Yang kamu perlukan dalam mengukur hanyalah: membandingkan dan membagi.
Angka besar selalu terlihat besar. Sebenarnya, belum tentu. Misalnya, ada orang punya gaji sebulan 10 juta. Kelihatan besar? Coba buat perbandingan. Besar bagi siapa? Mungkin angka itu kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan yang harus ia penuhi.
Jumlah (angka) selalu memiliki riwayat dan konteks berbeda.
Naluri Generalisasi
Membuat kita keliru mengelompokkan hal-hal yang sebenarnya sangat berbeda. Terlalu cepat melompat ke kesimpulan. Misalnya, menganggap semua pejabat pasti korup, atau semua orang media itu tega melakukan manipulasi fakta.
Pertanyakan kategori yang kamu buat. Cari perbedaan dalam kelompok, terutama kelompok besar. Lawan “generalisasi” adalah “spesifikasi”. Kata “laptop ini bagus” adalah generalisasi, tetapi kalau kita tahu apa spesifikasi laptop itu, kata “bagus” menjadi relatif.
Naluri Takdir
“Takdir” menjadi pelarian mudah. Tidak bisa menjelaskan secara ilmiah (padahal ada penjelasan ilmiah untuk ini)? Lari ke “Ini sudah takdir”. Gagal di tengah usaha atau mendapatkan hasil di luar harapan? “Semua ini sudah ada batas dan bagiannya.”. Prinsip takdir predeterminasi dan fatalistik, membuat orang tidak menyalahkan siapapun kecuali suatu sistem besar yang tidak bisa ia jelaskan. Takdir membuat orang melarikan diri kepada masa lalu, pola-pola yang gagal, dan membenarkan ketakberdayaan. Takdir membuat “teladan” menjadi “pengidolaan”. “Takdir” seperti ini, menganggap segala sesuatu ada untuk alasan yang tak-terhindarkan. Bahwa “sesuatu yang seperti ini” akan selalu “seperti ini”.
Banyak hal menjadi “tetap” dan “tidak berubah” karena cara pandang orang yang tidak mau berubah. Orang, negara, agama, dan budaya, memiliki keragaman, riwayat, dan semua itu berarti perubahan. Cara berubah adalah dengan mengubah cara pandang dan tindakan yang perlu dilakukan hanya satu: berubah. Bukan menetapkan, bukan “harus seperti ini”.
Takdir yang predeteministik melihat dunia “sebagaimana seharusnya”, versi penuturnya. Padahal kita perlu melihat dunia “sebagaimana adanya”. Yang penuh perubahan.
Naluri Perspektif Tunggal
Membatasi imajinasi kamu hanya dengan 1 cara-pandang (perspective). Hasilnya, inakurasi dan tidak menemukan solusi baru.
Agar terhindar, minta orang lain yang tidak setuju untuk menguji gagasan kamu, kemudian temukan kelemahan. Mungkin itu kelemahan kamu sendiri.
Tidak perlu mengklaim keahlian di luar batas kamu. Sadari keahlian orang lain, bersikaplah terbuka terhadap ide-ide dari bidang lain. Terima kompleksitas (kerumitan). Gagasan yang bagus,teruji seperti jejaring yang memiliki jalinan kuat, meskipun tampak sederhana. Gabungkan ide. Mau terima kompromi, namun jangan berpikir demi kompromi.
Naluri Menyalahkan
“Menyalahkan” menjadi alasan jelas dan sederhana, mengapa hal buruk terjadi, mengapa keinginan tidak sesuai harapan.
Lupakan “kambing hitam”. Cari “apa penyebabnya”, bukan “siapa penjahatnya”. Hal buruk bisa terjadi tanpa diinginkan, namun hal buruk bisa terjadi karena kamu melupakan antisipasi. Perbaiki sistem, tanpa perlu mencari pahlawan baru yang bisa menyelesaikan masalah ini. Satu-satunya yang perlu bertanggung-jawab atas kondisi buruk adalah kamu sendiri. Kamulah satu-satunya orang yang perlu bertanggung-jawab atas tindakan kamu.
Naluri Urgensi
Cenderung ingin segera bertindak. Naluri ini diperkuat oleh overconfidence: ini bagian saya, hanya saya yang bisa,dan saya ingin menjadi pahlawan di sini.
Agar tidak berhadapan dengan hal-hal mendesak dan “segera”, ambil tindakan-tindakan kecil. Lakukan analisis, pelajari lebih lanjut informasi yang kamu terima. Waspada setiap ada tindakan drastis, pertanyakan apa efek samping tindakan ini jika kamu lakukan. Dan tanyakan untuk menguji gagasan yang menggoda kamu. [dm]