in

Godzilla King of the Monsters (2019), Mitos Asia untuk Mimpi Buruk Amerika

  • Remake film Godzilla yang dahsyat. Lebih fresh, ide lebih gila. Mitos Asia kembali terbeli, untuk metafora kuasa-pengetahuan Barat, dalam pesta CGI pertarungan para raksasa.

Lembaga Monarch di ambang kehancuran, tidak bisa mempertanggungjawabkan “prestasi” mereka di hadapan Senat Amerika, dalam menghancurkan kota. Pada sisi lain, mereka harus menghadapi masalah “kebangkitan” para raksasa dari tidur.

Raksasa yang hanya bisa dibenarkan oleh dongeng (tepatnya: mitos Asia). Mothra, Rodan, dan musuh berat bernama Ghidorah (naga berkepala tiga).

Mereka bangkit karena Emma berhasil menyelesaikan ORCA, piranti portable yang bisa memanggil monster manapun di bumi melalui suara.

Jika mereka bangkit, kota manapun akan hancur. Petaka bagi manusia, namun berarti “keseimbangan-alam” bagi dinosaurus.
Celakanya, Emma mendapatkan bantuan dari tokoh berwatak-jahat. Setelah kebangkitan para raksasa, yang mengejutkan adalah motivasi tindakan Emma.

Motivasi Emma memang menarik. Sama seperti ide Inferno karya Dan Brown, banjir besar Nuh, atau perang Bharatayuda di masa kuno, sampai gagasan Star Wars, selalu ada ide merestart dunia.

Emma ingin menukar kehilangan anak sulungnya, dengan sesuatu yang tidak sia-sia, yaitu: merestart dunia. Hanya pengetahuan yang bisa melakukannya. Bukan militer dan politisi.

Menurutnya, dunia sudah di ambang ketidakseimbangan yang parah: perang, kerusakan lingkungan, kelaparan, dan penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Dunia harus dimulai-ulang dengan cara melepaskan para raksasa ke tengah pusat-pusat peradaban dan membiarkan alam bekerja.
“Tenang, umat manusia tidak punah dalam proses ini,” katanya.

Orang Amerika menyebut raksasa itu Godzilla. Orang Jepang, sebelumnya, menyebutnya “gojira”.

“Gojira” adalah portmanteau (gabungan kata) Jepang, dari “gorira” (gorilla) dan “kujira” (ikan paus), sebagaimana gambaran fisiknya, terkait ukuran, kekuatan, dan berasal dari air.
Godzilla digambarkan sebagai predator puncak di masa purba, ketika bumi masih menjadi “milik” para dinosaurus dan penuh zat radioaktif. Dalam perkembangannya, bumi semakin banyak oksigen, para raksasa ini saling-mangsa, jumlahnya menurun, lalu survive denga bersembunyi di rongga bumi dan kawasan radioaktif. Laut, tempat sumberdaya berlimpah, menjadi asal dari Godzilla, Raja Monster.

Amerika mengemas-ulang cerita ini dengan isu radioaktif nuklir, menjadi sequel Godzilla. Film awalnya, sudah ada tahun 1956.
Monster, dalam psikologi, memiliki banyak sebutan. Ada di mimpi hampir semua orang. Ini bisa berupa “luka primer”, “kompleks utama” (ingat complex oedipus Freud), atau “bayangan”.

Setiap kawasan di bumi, memiliki cerita tua tentang kedahsyatan berbentuk monster.

Cerita Ya’juj – Ma’juj dalam al-Qur’an, misalnya, setelah sampai di Jawa, berkembang di Abad ke-19 menjadi Juja Majuja, yang digambarkan sebagai raksasa bermoncong mengerikan.

Raksasa ada di negeri dongeng, di pikiran kita. Tokoh-tokoh buruk, sering digambarkan sebagai raksasa. Anak kecil sering ditakuti dengan cerita raksasa, hanya untuk menyampaikan suatu moral cerita sederhana.

Ada struktur psikologis dalam diri manusia, khusus untuk menyemai ketakutan ini. Manusia mempercayai pola (apa kesamaannya) dan mengenang cerita yang membawa “moral” (pesan), sekalipun itu bikinan orang terdahulu, misalnya cerita Timun Mas.

Kata “raksasa”, dengan segala macam sinonimnya, mengacu kepada bentuk yang besar, kuat, dan berasal dari dunia bukan-manusia.

Domain inilah yang menyemai ketakutan. Ada raksasa dalam mimpi, pikiran, dan dibenarkan orang lain. Wayang, dongeng sebelum tidur, mimpi, semua menampilkan adanya sosok raksasa.

Sama seperti cerita di film lain, ini film tentang pertarungan para raksasa. Bukan sosok robot Transformers, bukan raksasa jejadian, tetapi raksasa yang dimitoskan di semua belahan dunia.

“Jadikan mitos sebagai kompas,” kata Dr. Ling.

Pengetahuan selalu menemukan bentuk purwarupa yang masih mentah, dari dongeng, artefak, dan seni. Voltaire yang pertama kali menggagas bahwa jagat raya tercipta dari ledakan besar (big bang). Goethe yang menggagas ide bumi mengitari matahari. Seniman, bukan ilmuwan. Pengetahuan berawal dari imajinasi. Kreatif berarti membiarkan pikiran berjalan sebagaimana adanya, pikiran yang boleh tertuang menjadi fiksi-ilmiah.

Kita tidak bertemu dengan Godzilla, namun pengetahuan versi film memainkan pengaruhnya, melakukan pembenaran tentang suatu “kemungkinan”. Tidak ada yang salah dengan fiksi, apalagi fiksi-ilmiah.

Godzilla digambarkan tetap-hidup, survive, dan pada episode ini, Godzilla dibangkitkan.
Cerita ini berawal dengan “ingatan kehilangan”
Film ini sejak awal sudah dimulai dengan ketegangan dan fantasi yang jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan film Godzilla sebelumnya.

Para ilmuwan dari Monarch, melihat tindakan Emma, tidak lantas mencuri ORCA, alat pengendali dinosaurus. Waktu terus berjalan. Tidak ada kesempatan mencuri. Bahkan waktu tidak mungkin mereka curi.

Pertarungan semakin seru ketika Queen of Monsters, berbentuk binatang bersayap dan tubuhnya penuh cahaya, mencari kekasihnya.

Bagaimana menghentikan kerusakan ini?

Para ilmuwan ini, termasuk mantan suami Emma, memilih tindakan yang lebih gila: meledakkan nuklir di dasar laut, untuk membangkitkan Godzilla, raja semua dinosaurus. Dan pertarungan dahsyat terjadi sepanjang film.

Apa yang akan kamu lakukan setelah mengetahui sebagian kebenaran ilmiah, yang disampaikan film ini?

Beberapa kali disampaikan dalam dialog, bagaimana manusia merebut kekuasaan di bumi dari pemilik sebelumnya, yaitu, para dewa dan dinosaurus. Manusialah yang ingin menjadi pemangsa-tertinggi di antara makhluk lain.

Boleh tidak percaya pada evolusi atau cerita tentang para dewa, namun faktanya, lingkungan hidup di bumi membutuhkan keseimbangan.

Apa yang disebut Emma, sebagai dunia yang tak-seimbang, memang demikian kenyataannya di dunia yang kita huni sekarang.

Mitos Godzilla, dalam film ini, sebagai reminder yang efektif.

Apakah ketidakseimbangan lingkungan, perang, penyalahgunaan pengetahuan, dll. itu mau kita atasi dengan melepaskan Godzilla? Tentu tidak.

Masalah terjadi setiap detik, sebenarnya bisa diatasi tanpa menunggu para monster bangkit.

Kalaupun kita percaya adanya naga yang tertidur di balik gunung atau dewa sakti di dalam laut, masalah manusia tetaplah masalah manusia.

Modernitas membuat manusia merasa memiliki supremasi sebagai makhluk terkuat dan segalanya harus berpusat kepada keinginan manusia. Tidaklah demikian kenyataannya.

Film Godzilla King of Monsters mengajarkan adanya “kesetaraan spesies”, kearifan yang semakin terlupakan.

Mengakui keberadaan mitos, tidaklah menyelesaikan masalah, namun mitos bisa menjadi kompas, agar pengetahuan tidak hanya untuk manusia. Mitos mengajarkan ada “yang lain”, adanya ko-eksisteni (hidup bersama).

Godzilla merupakan metafora tentang “ukuran besar”, kuat, dan entah dari mana asalnya.
Prestasi keren Amerika dalam film ini adalah menggeser mitos kuno dengan sentuhan Amerika. Kita tahu bagaimana cerita Transformers juga “dibeli” Amerika (mereka punya konsep “pursuit of hapiness di Amandemen), dari mobil yang bisa menjadi robot, menjadi lebih rumit.

Pertarungan raksasa telah dikenalkan Jepang sejak zaman pemutar video dengan kaset pita Betamax, seperti Goggle dan Voltus V, serial yang disukai anak-anak pada tahun 1986. Mereka telah menciptakan adegan para raksasa bertarung di kota, ketika Eropa belum sampai pada fantasi para dewa bertarung di kota, di layar kaca.

Imajinasi Asia ini mendapatkan tempat di sinematografi Amerika.

Bentuk “mentah” film Godzilla sudah dimainkan di bioskop, tahun 1956, tentunya atas kepintaran bercerita orang-orang Jepang.

Cerita Poseidon (dewa laut, versi Yunani) yang tidak muncul wujud fisiknya, di sequel Pirates of Carribean dan Aqua Man, harus berhadapan dengan teknologi CGI di sequel Godzilla yang tergila-gila pada ukuran dan kekuatan.

Di episode ini, para monster jauhlebih dahsyat daripada Godzilla – Size Does Matter (1998).

Metafora di balik Godzilla, selain isu lingkungan hidup, tentu saja penyalahgunaan radioaktif.

Moment kegagalan nuklir di Chernobyl, yang menginspirasi cerita awal sequel Godzilla, memperlihatkan fisik Godzilla yang merupakan “radioaktif hidup”. Ini mendapatkan perhatian di Godzilla King of Monsters (2019). Godzilla, Sang Raja itu, tubuhnya penuh radioaktif, bahkan hanya hulu ledak nuklir yang bisa membangunkannya.

Apakah ini personifikasi Amerika, yang menjadi raja perdamaian, yang membuat monster lain akan tunduk kepadanya? Amerika mengenal falsafah “civic pacem para bellum”. Jika kamu mau berdamai, bersiaplah berperang. Jika kamu memiliki kekuatan besar, orang akan takut bertarung denganmu. Perdamaian terjagadengan ketakutan.

Yang jelas, film ini lebih cocok ditonton di bioskop, dengan dukungan kejernihan gambar dan kedahsyatan suara. Tenangkan pikiran, nikmati filmnya, karena ini jenis film yang berkejaran antara batasan durasi dan keinginan memasukkan semuanya ke dalam frame.

Plot film ini sangat simple namun sepenuhnya berisi kejutan, lebih seru di adegan demi adegan.

Penampilan Vera Farmiga (sebagai Emma) memperlihatkan sosok ilmuwan yang tough, berani mengambil keputusan kritis, terlihat jelas sebagai bagian utama cerita, termasuk perjumpannya dengan Sang Raja. “Long live the King”. Emma menghadapi “temuan yang melawan dirinya”, sebuah subtema di film Amerika yang selalu hadir: ciptaan yang melawan penciptanya.

Bagian heroik dalam film lainnya, ketika Serizawa (dimainkan Ken Watanabe) memasang nuklir untuk membangkitkan Sang Raja di tengah cerita. Namun ini heroisme Asia, tepatnya: Jepang. Serizawa pula yang punya strategi “biarkan mereka bertarung sendiri-sendiri”.

Penampilan mengejutkan, Zhang Ziyi (sebagai Dr. Ling), yang biasanya berbaju China klasik, tampil sebagai pakar mitologi berambut pendek dan tetap smart.

Selamat menikmati pesta animasi berbasis CGI, ketakutan bersama, dan fantasi Asia, rasa Amerika. [dm]