Buku ini bicara tentang Tuhan yang Maha Asyik, dalam bentuk dialog sekumpulan anak kecil yang serba ingin tahu dan berpikir kritis. Mereka terdiri dari 6 karakter, bernama: Pangestu, Kapitayan, Christine, Samin, Buchori, dan Parwati. Mereka punya latar belakang berbeda dari segi pemikiran maupun ekonomi. Mereka menjadi satu karena sama-sama teman dalam bermain, belajar, dan berdiskusi.
Buku ini mengajak pembaca kembali menjadi manusia kritis dalam memahami Tuhan, “bermain-main” sedikit nakal, untuk membuka wawasan tentang Tuahn yang Maha Asyik.
Judul: Tuhan Maha Asyik
Penulis: Sujiwo Tejo dan Dr. Mn. Kamba
Penerbit: Imania
Tahun Terbit: Cetakan XIX, Desember 2021
Tebal Buku: 245 halaman
ISBN: 978-602-796-29-5
Pada halaman awal kita baca lirik lagu “Nadian”, dari album pertama Sujiwo Tejo, Pada Suatu Ketika, tahun 1999.
Lagu ini mirip “dzikir” Jawa, tentang kerinduan seorang hamba kepada Tuhannya. Lagu ini bernuansa spiritual dengan improvisasi dan permainan rima yang unik.
“Nadian aku tansah kalingan sliramu. Nadian tansah kelingan sedyamu. Nadian aku tan nggandeng tanganmu. Tan bisa tanganku. Nadian mung nggandeng neng impen. Nadian mung kelingan. Nadian kaling-kalingan..”
Lirik berbahasa Jawa itu memiliki terjemahan bebas begini, “Meskipun aku selalu ingat diri-Mu. Meskipun selalu ingat semua keinginan-Mu. Meskipun aku tak bisa menggandeng tangan-Mu. Tanganku tak bisa. Meskipun hanya menggandeng dalam mimpi. Meskipun hanya mengingat. Meskipun tertabiri..”
Penulis sekaligus budayawan, Sujiwo Tejo dan Dr. Mn. Kamba menghadirkan karya tentang ke-tauhid-an bertaburkan unsur budaya.
Bab 1 Wayang, menceritakan suatu pagelaran wayang kulit, di mana tokoh utama ditempati oleh seorang dalang. Dalang menjadi penentu kehendak jalan-cerita, semua di bawah kekuasaan dalang. Lain cerita apabila pagelaran berupa wayang wong (wayang orang), dalang tidak lagi menjadi tokoh utama.
Kekuasaan Tuhan bersifat absolut, tidak ada yang terjadi di luar Kehendak-
Nya. Peran manusia adalah menjalani kehendak Tuhan dan kehendaknya sendiri.
Manusia dapat berimprovisasi sesuai kehendaknya, karena memilih merupakan
hak dasar bagi setiap manusia.
Setiap kehendak memiliki resiko tersendiri. Ketika manusia memilih untuk terus mengejar kehendak sendiri maka berisiko kelelahan. Kehendak sendiri membutuhkan improvisasi sekaligus usaha keras.
Buku ini mengusung tema yang sederhana namun memiliki makna mendalam. Contoh dalam Bab Cacing, tokoh Kapitayan merasa jijik pada hewan
cacing karena orang tuanya selalu berkata jijik saat melihat cacing. Berbeda
dengan Buchori yang setengah mati jijik saat melihat cacing. Dia tidak pernah dengar bahwa cacing itu hewan menjijikkan. “Segala sesuatu mengalami perubahan. Hanya Tuhan yang kekal dan abadi” (hlm. 39).
Penentu tindakan seseorang adalah pikiran orang tersebut. Pembentukan pikiran seseorang ditentukan oleh pengalaman, prasangka, dan pendidikan. Termasuk dalam perilaku beragama, penafsiran ayat yang terkandung bisa berbeda-beda. Keterbukaan agama dalam proses akulturasi memungkinkan bertahan lebih lama dibandingkan dengan kebekuan dan kekakuan.
Melalui diskusi sederhana dari enam tokoh anak kecil di atas. Tuhan hadir
melalui hal-hal yang tak terduga. Seperti ketika memahami hakikat hidup yang
sejatinya penuh dengan sandiwara dan kepura-puraan.
Manusia seperti wayang di atas panggung pagelaran (pertunjukan). Adanya panggung mengharuskan manusia tampil dengan make up untuk menunjang penampilan. Dalam acting, manusia juga mengalami fase serius, membutuhkan pengorbanan panjang, agar manusia dapat jujur kepada Tuhannya.
Sama ketika seseorang melihat cermin, yang terlihat bukan cermin itu melainkan diri-sendiri.
“Ketika dirimu berbuat baik kepada sesama sesungguhnya berbuat
baik kepada diri sendiri.” (hlm.113) dan sebaliknya. Menyakiti atau berbuat baik kepada orang lain dan makhluk lain, itu sama dengan menyakiti atau berbuat baik kepada diri sendiri.
Diri yang terlihat dalam cermin merupakan diri yang apa adanya. Wajar jika ada seseorang yang menyakiti diri sendiri disebut gila. Lebih tidak waras lagi jika orang menebar kebencian dan saling menyakiti, atas nama agama dan Tuhan.
Masih ada banyak lagi pembahasan tentang ke-Maha Asyik-an Tuhan dalam
buku ini. Menghadirkan contoh sederhana yang tak jauh dari kehidupan
menjadikannya mudah untuk dipahami oleh pembaca.
Kelebihan Buku Ini
Tulisan ini lebih mudah dibaca karena bentuknya dialog 6 anak kecil tentang cara mereka melihat dan merasakan kehadiran Tuhan. Perbincangan dengan tema serius, tidak dipenuhi bahasa-bahasa agama, dan seperti mendengarkan orang sedang bercakap-cakap dari ruang sebelah.
Contoh cerita yang dibicarakan buku ini, sangat dekat dengan permasalahan kehidupan pembaca. Sehingga pembaca bisa merasakan kedekatan. Banyak tema-tema yang selama ini menjadi pertanyaan banyak orang, diulas dalam buku ini.
Buku ini hadir untuk menunjang kampanye toleransi beragama dan menjawab kasus perselisihan antargolongan dan antaragama. Buku ini sangat “Indonesia” yang selalu mencari kejernihan di tengah perbedaan berbangsa dan beragama.
Kekurangan Buku
Buku ini banyak memakai kalimat-kalimat yang sulit dipahami dan perlu dibaca berulang-ulang, untuk “menebak” maksud penulis.
Lukisan Sujiwo Teko yang menjadi ilustrasi buku, perlu teks pengantar agar orang dapat mengaitkan cerita dan maksud bacaan ini dengan pikiran pembaca. Kecuali mungkin lukisan itu menjadi bonus yang perlu diapresiasi secara mandiri, bukan berstatus sebagai penguat teks bacaan.
Sebagai pembaca, saya lebih suka desain cover samping diganti dengan pembatas buku. [ra]
*) Siti Rabiah Syayyidah Al Adawiyah. Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta, reporter di LPM Pandawa, hobi edit foto dan video.Â
Tulisan Sebelumnya:
Menakar Kedisiplinan Berbahasa Indonesia di Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2022