in

Republikanisme Pudar di Indonesia

Republik sebagai bentuk-negara, sudah final. Republikanisme sebagai konsep,  terlupakan di politik dan hukum tata-negara kita.

(Credit: NLshop)

Kata “republik” hanya diterima sebagai nama yang kemudian berlalu begitu saja. Republikanisme sebagai ibu dari landasan filsafat, sebenarnya memiliki kelengkapan bagi bagi kehidupan suatu bangsa. Republikanisme mengatur kehidupan yang menghasilkan kebaikan bagi banyak orang dan berlandaskan dimensi etika.

Sayangnya, republikanisme dipahami secara sempit sebagai lawan dari dari penjajahan—pembebasan dari kolonialisme.

Robertus Robert dalam Republikanisme, menyinggung rapuhnya konsep republikanisme di Indonesia pasca-kemerdekaan. Bentuk republik diterima begitu saja tanpa ada diskursus institusional berkelanjutan. Kurangnya penggalian konsep republikanisme secara fundamental dalam rangka implementasi kehidupan bernegara, menyebabkan keringnya pemahaman kita bagaimana idealnya menjadi “warga” di negara republik, bahkan setelah kemerdekaan.

Konsep republikanisme tidak dipelajari secara ketat dan mendalam. Satu-satunya jejak yang ditinggalkan dari residu perdebatan republik ialah saat sidang BPUPK(I). Setelahnya, gagasan republikanisme tenggelam jika tidak mau dikatakan terkubur hingga tulang belulangnya tidak lagi membekas dalam kehidupan “publik” kita.

Absennya republikanisme sebagai konsep dasar dalam hukum ketatanegaraan, kebudayaan, dan perpolitikan kita dewasa ini, menjadi suatu keganjilan yang patut kita curigai: di mana peran dan posisi republik di negara ini? Apa implikasinya atas hilangnya konsep republikanisme sebagai tulang punggung kehidupan berbangsa dan bernegara?

Sebagai warga negara yang dituntut berpasitipasi secara aktif, kita tidak lagi bisa membedakan antara urusan di ruang publik dan urusan privat. Selama ini yang tampak menonjol di ruang publik kita ialah sikap individualisme, primordialisme, feodalisme, rasisme, dan mayoritanisme.

Dalam suatu pidato kemerdekaan Sukarno mengatakan yang, mempertegas lahirnya konsep republik, “.. tujuh tahun setelah kemerdekaan republik”. Dari sepotong kalimat itu jelas selain merayakan kelahiran negara, Sukarno juga mengingatkan bahwa republik sebagai konsep dasar kewarganegaraan (citizenship). Mengingat hanya di dalam negara republik, kesetaraan dan keadilan sebagai warga negara terus diasuh. Dua hal itu yang tidak kita rasakan sekarang dalam kehidupan “publik” kita yang semakin rapuh.

Sebagai autokritik untuk bangsa kita sendiri, apa yang selama ini kita rayakan setiap tanggal 17 Agustus ialah kemerdekaan Indonesia sebagai negara, bukan konsep dan gagasan republikanisme sebagai suatu fondasi negara menjaga dan merawat kesetaraan hak “warga negara”.

Seharusnya keduanya menjadi satu bingkai yang tidak bisa dipisahkan: perayaan dan pemaknaan. Setelah kemerdekaan bangsa ialah kemerdekaan manusia: setara di hadapan negara.

Mengenal Republikanisme

Aristoteles, dari Yunanti, memperkenalkan istilah polis dan oikos. Dua domain itu memiliki batas tegas yang tidak boleh bercampur-aduk antara urusan domain polis (publik) dan domain oikos (urusan privat) — terlepas dari kritik feminisme. Gagasan republikanisme berlanjut sampai pada Cicero yang mempopulerkan istilah polis dengan padanan dari bahasa Latin; “Res” dan “Publica”. Polis menurut Robertus Robert adalah “.. suatu wahana tindakan di mana manusia mengekspresikan secara deliberative apa yang adil bagi society.”.

Lawan kata dari respublica ialah resprivata, yakni sebuah wahana survive di ruang domestik yang harus terpisah dari “yang publik”. Pendeknya, resprivate hanya tentang urusan privat.

Republikanisme ialah sebuah konsep yang mengharuskan setiap warga negara terlibat aktif secara deliberatif; menyalurkan ide, pendapat, mengambil keputusan publik atas dasar kesetaraan sebagai warga (citizenship) untuk menghasilkan kebaikan bagi banyak orang.

Sistem republik negara harus sama memandang warga yang berbeda apa pun status sosialnya, pandangan politiknya, suku, ras dan agamanya.

Menurut Hannah Arendt, partisipasi aktif warga negara dalam arena polis merupakan wahana yang tumbuh karena “logika deliberasi”, di mana individu hadir dalam kebutuhan mencari apa yang terbaik bagi orang banyak, yang umum atau yang publik.

Filsafat republikanisme terlupakan di Indonesia. Kita menyaksikan ambruknya sistem ketatanegaraan kita; hukum, pendidikan, politik, budaya, demokrasi, dsb. Kebobrokan itu tercermin dari berbagai persoalan yang mengemuka ke ruang publik. Salah satunya ialah menggilanya kasus korupsi.

Machiavelli, seorang republikan tulen, pernah mengingatkan, musuh terbesar bagi republik ialah korupsi. Dalam korupsi bukan hak individu yang tercerabut, melainkan hak publik (sosial) yang direnggut.

Dari situ dapat diterangkan, bahwa harga diri (dignity) sebagai konsep republikanisme telah dikhianati.

“Republik” tidak cukup diterangkan dengan meminjam KBBI: “bentuk pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh seorang presiden”.

Konsekuensi logis dari pengabaian konsep republikanisme itu sendiri kita rasakan sekarang; partisipasi warga di wilayah polis yang terus menerus mendistribusikan dignity dan value—kebaikan bersama, dikalahkan oleh rongrongan ide liberalisme: kepentingan individu. Disingkirkan oleh teriakan solidaritas primordial: ras, suku, dan agama yang gemar turun ke jalan.

Sialnya, pemerintah juga ikut mendistorsi konsep “warga” di negara republik: mewajibkan kartu identitas (KTP) bagi setiap warga jika ingin diakui sebagai warga negara. Fungsinya sangat teknis, namun menjadi problem etis bagi kelas sosial bawah saat mengakses perlindungan sosial, kesehatan, dan pendidikan sebagai syarat wajib untuk memenuhi haknya sebagai warga. Serta paling aktual saat pemerintah mewacanakan untuk keperluan administrasi diwajibkan melampirkan BPJS aktif.

Apa alasan pemerintah memberlakukan itu? Kita harus membacanya dengan cara terbalik, kita hanya disebut sebagai “warga” jika memenuhi dua hal: membayar pajak dan memiliki kartu identitas.

Oleh sebab itu, sebagai refleksi sepertinya kita perlu menggali kembali “kuburan” republikanisme (sebagai konsep). Dari situ kita merayakan kehidupan di republik ini sebagai tindakan bermakna. Kita tidak perlu meminjam analisa teori semiotika mutakhir, pengalaman sejarah lebih dari cukup untuk mengingatkan kita: kelahiran Republik (Indonesia). [ade]

Ade Mulyono, lahir di Tegal. Pemerhati pendidikan dan seorang feminis. Sarjana sastra dari Universitas Pamulang. Penulis buku Dehumanisasi Pendidikan (2021).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *