SEMARANG (jatengtoday.com) – Komunitas Pejalan Kaki Semarang (KPKS) berharap rencana pembangunan travelator di sepanjang trotoar Jalan Pemuda Semarang pada 2020 mendatang ditinjau ulang. Pasalnya, ada berbagai hal yang patut untuk dipertimbangkan.
Travelator ini merupakan alat transportasi yang mirip eskalator, namun bentuknya vertikal atau datar. Nantinya, travelator bakal dipasang mulai dari depan Mal Paragon hingga Lawangsewu.
Founder KPKS, Theresia Tarigan mengatakan, program dari Pemkot Semarang tersebut dinilai tidak adil karena pembangunannya hanya di pusat kota. “Bagaimana fasilitas pejalan kaki di permukiman yang menyebar di pinggiran Kota Semarang?” ujarnya, Selasa (2/4/2019).
Seharusnya, kata dia, daripada membangun travelator lebih baik mengintegrasikan trotoar di seluruh kawasan. Karena trotoar adalah bagian dari mobilitas dasar yang berkelanjutan. Dari mulai berjalan kaki, bersepeda, menggunakan angkutan umum massal. Hal itu dinilai lebih esensial.
Disamping itu, Theresia juga mengkhawatirkan terkait alokasi anggarannya. Berdasarkan Detail Engineering Desain (DED) yang sudah dirancang awal 2019 ini, anggaran pembangunan travelator mencapai Rp 10 miliar hingga Rp 15 miliar.
“Sebaiknya anggaran yang ada untuk membangun trotoar yang baik merata di seluruh Kota Semarang. Lebih penting mengedukasi warga untuk batas kecepatan, membangun zebra cross dan pedestrian traffic light dan JPO yang ada liftnya untuk sahabat difabel,” sarannya.
Dia melanjutkan, jika alokasi dananya mencapai segitu, maka sangat tidak tepat melihat kondisi sosial Kota Semarang saat ini. Travelator akan menjadi pemborosan karena manfaatnya kecil untuk kesejahteraan warga, bila dibandingkan besar biaya yang dikeluarkan.
Bahkan, Theresia curiga bahwa proyek ini sebatas untuk pamer belaka. “Travelator hanya untuk gaya-gayaan saja,” tandasnya.
Pandangan serupa juga diutarakan oleh Founder Bersukaria Walk, Fauzan Kautsar. “Sebagai pejalan kaki mungkin akan senang. Tapi saya rasa biaya pembangunan travelator cukup besar, belum lagi untuk pemeliharaan mesin dan perawatannya,” jelasnya.
Fauzan membandingkan kondisi sosial di Semarang dengan Jakarta. Sebagai kota metropolitan, Jakarta belum memiliki travelator. Padahal jumlah pejalan kakinya lebih tinggi. Serta, mobilitas dan kecepatan warga Ibukota diatas warga Semarang.
“Saya sering ke Jakarta tapi belum pernah melihat travelator disana. Kalau Semarang punya itu duluan menarik sih. Namun sekali lagi, apakah itu bagus secara esensial. Mobilitas warga Kota Semarang belum setinggi orang Jakarta,” tandasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto