in

Rencana Pembangunan LRT di Semarang Dinilai Mimpi di Siang Bolong

SEMARANG – Rencana Dinas Perhubungan Kota (Dishub) Kota Semarang, membangun transportasi masal berbasis rel di Kota Semarang, sistem Light Rapid Transit (LRT), Kereta Rel Listrik (KRL), ataupun Mass Rapid Transit (MRT), dinilai belum realistis.

Sebab, sejauh ini masih banyak pekerjaan rumah mengenai transportasi di Kota Semarang yang belum beres. Bus Rapid Transit (BRT), salah satunya yang hingga sekarang masih digarap setengah hati.

Artinya, BRT ini masih belum maksimal sesuai diharapkan. Sehingga rencana pembangunan LRT di 2018 mendatang oleh Dishub Kota Semarang dinilai menjadi mimpi di siang bolong.

“Menurut saya, saat ini belum mendesak untuk dibangun LRT di Kota Semarang,” kata Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Joko Santoso, Kamis (27/12).

Dikatakannya, rencana pembangunan sistem transportasi berbasis rel tersebut pada 2018 mendatang sah-sah saja. Tetapi Pemkot Semarang perlu kajian mendalam untuk merealisasikannya dan harus realistis.

“Saya menilai ini perencanaan kurang matang. Tidak ada yang mendesak untuk dibangun LRT. Kecuali jika pengguna angkutan umum itu sudah luar biasa. Bolehlah dibangun LRT, sekarang kan belum mendesak,” ujarnya.

Idealnya, kata Joko, Pemkot Semarang mestinya memaksimalkan transportasi umum Bus Rapid Transit (BRT) terlebih dahulu. BRT harus dibenahi dan dimaksimalkan. Bagaimana agar BRT di Kota Semarang mampu mengubah cara berpikir masyarakat, atau setidaknya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi masal. “Karena sejauh ini BRT masih belum sesuai harapan bersama. Itu lebih baik ketimbang mengejar transportasi berbasis monorel,” katanya.

Apakah BRT di Kota Semarang saat ini sudah menjangkau wilayah permukiman warga? Tentu jawabnya belum. “Nah, maka dari itu harus realistis. Setelah BRT tergarap maksimal, bolehlah memikirkan LRT,” ujar dia.

Pakar Transportasi Unika Soegijapranoto, Djoko Setijowarno menilai bahwa rencana pembangunan Light Rapid Transit (LRT) di Kota Semarang akan sulit terealisasi. Sebab, pembangunan LRT membutuhkan perencanaan matang dan waktu tidak sedikit.

“Bahkan Bandung dan Surabaya yang sudah memiliki rencana sejak lima tahun lalu hingga sekarang belum apa-apa,” kata Djoko.

Menurut dia, moda transportasi monorel tidak cocok untuk wilayah perkotaan seperti Kota Semarang. Belum lagi soal biaya, pembangunan LRT membutuhkan anggaran sekurang-kurangnya Rp 500 miliar per satu kilometer. “Itu belum termasuk pengadaan rolling stok, sinyal, listrik, dan sarana telokomunikasi,” katanya.

Seandainya, Kota Semarang hendak membangun LRT sepanjang 30 kilometer, maka sedikitnya akan melahap biaya kurang lebih Rp 15 triliun. “Sedangkan APBD Kota Semarang hanya sekitar Rp 4 triliun,” ujar dia.

Akan lebih realistis, lanjut Djoko, bila Pemerintah Kota Semarang lebih serius memaksimalkan pengelolaan Bus Rapid Transit (BRT) agar bisa menjangkau kawasan perumahan dan pemukiman penduduk.
“Biaya per satu kilometer pembangunan LRT bisa untuk membuka 10 koridor baru BRT,” kata dia.

Kepala Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Semarang, Ambar Prasetyo, mengatakan saat ini Dinas Perhubungan Kota Semarang mengaku telah melakukan studi kelayakan tahap awal. Harapannya, 2018 bisa dimulai pembangunan. “Kami masih akan melakukan studi lanjutan. Misalnya studi mengenai skema pengelolaan manajemen bisnisnya,” kata dia.

Dia mengakui penganggaran pembangunan LRT akan kesulitan jika hanya menggunakan APBD Kota Semarang. Sehingga diperlukan formula skema bisnis yang matang. “Ini penting, karena nanti sesuai rencana akan menggandeng investor,” katanya.

Pihaknya mengaku telah melakukan studi penerapan LRT di Jakarta. Sebab, Jakarta menjadi contoh penerapan transportasi masal berbasis LRT tersebut. (abdul mughis)

Editor: Ismu Puruhito

Abdul Mughis