SEMARANG (jatengtoday.com) – Rawa Pening, waduk alami seluas 2.667 hektar yang menempati Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru, Kabupaten Semarang saat ini dalam kondisi kritis dan memprihatinkan.
Secara fisik, Rawa Pening memiliki potensi agrowisata eksotis yang menarik perhatian banyak pihak. Selain itu juga menjadi lahan pencaharian petani dan nelayan bagi warga sekitar.
Namun di balik itu ternyata menyimpan berbagai masalah berbahaya dan merugikan. Diantaranya masalah pendangkalan atau sedimentasi, pertumbuhan enceng gondok tidak terkendali, dan pertanian yang memanfaatkan lahan waduk.
Dampak kerugiannya dinilai tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh masyarakat sekitar maupun pemerintah. Bahkan jika tidak dilakukan penanganan serius, Rawa Pening terancam punah.
“Sebelum 1990, Rawa Pening memiliki kedalaman 15 meter. Saat ini (2018), hanya tersisa 3 meter akibat pendangkalan,” kata Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana, Ruhban Ruzziyatno, Rabu (3/10/2018).
Bahkan saat ini, Rawa Pening masuk dalam daftar 15 danau kritis di Indonesia. Rawa Pening ditumbuhi eceng gondok hampir 75 persen dari luasnya. “Setiap tahunnya, terjadi pendangkalan setinggi 42 cm, sampah dari pabrik, rumah tangga, dan 14 sungai,” katanya.
Selain itu, terdapat masalah penggunaan lahan pertanian pasang surut waduk. Berdasarkan data dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Mineral (PSDA) Jawa Tengah, tercatat seluas 812 hektar sawah yang terletak di atas patok hitam dari peil +461,90 m sampai +462,90 m. Setahun dua kali masa panen.
Selanjutnya, sawah yang terletak antara patok merah dan patok hitam, yaitu pada elevasi +461,65 m sampai +461,90 m dengan luas 200 hektar. Setahun satu kali masa panen.
“Secara aturan, pertanian di lahan Rawa Pening tidak boleh. Sebab, tata ruangnya bukan tata ruang pertanian. Bisa dibayangkan kalau kondisi seperti ini dibiarkan, maka Rawa Pening akan menjadi cerita saja,” katanya.
Penurunan kapasitas tampungan air akibat proses sedimentasi mengakibatkan dampak penurunan fungsi dan daya guna waduk. “Dahulu, 1990, Rawa Pening seperti mangkok. Sekarang ini menyusut seperti piring. Hal itu mengakibatkan, kehilangan air sebanyak 15 juta kubik air setiap tiga bulan. Ini bisa 3 kali lipat dari Waduk Jatibarang,” katanya.
Selama ini, lanjut Ruhban, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui BBWS baru sebatas melakukan penanganan masalah pertumbuhan enceng gondok. Selain itu pemberdayaan masyarakat memanfaatkan enceng gondok.
“PUPR sudah merangsang Pemda, melakukan pembersihan enceng gondok dengan disediakan sebanyak 9 alat berat Berky. Kurang lebih 800 hektar tercemar enceng gondok. 200 hektar di antaranya bisa diselesaikan selama 2 tahun,” katanya.
Selain itu juga terdapat 14 anak sungai di Rawa Pening yang perlu dilakukan pengelolaan. Sosialiasi dan pemberdayaan masyarakat supaya bisa berperan melestarikan sungai, sehingga sedimentasi bisa dihambat.
“Bupati harus bisa memaksimalkam Rawa Pening. Ikon nasional ini harus dilestarikan. Apalagi Menteri PUPR telah memberi respons. Rawa Pening memiliki potensi besar untuk dikembangkan, selain itu PAD juga akan semakin besar. Ke depan, Rawa Pening mau diapakan kebijakannya ada di Pemerintah Kabupaten Semarang,” katanya.
Ia mengaku akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Semarang. “Saya akan koordinasi dengan Bupati. Ini harus dilestarikan, karena menjadi waduk alami. Kalau membangun bisa triliunan,” imbuhnya.
Berdasarkah hasil kajian, lanjut Ruhban, sebetulnya telah ada perencanaan. “Nantinya direncanakan Rawa Pening dilakukan penataan danau, pembatasan wilayah, hingga penataan zonasi industri enceng gondok, wisata air, dan perikanan,” katanya.
Ketua Paguyuban Nelayan Perahu Wisata Jembatan Biru Indah Sumurup, Nang Siyanto, mengatakan keberadaan Rawa Pening saat ini menjadi tumpuan warga sekitar.
“Secara ekonomi sangat membantu masyarakat. Tidak hanya mengelola perahu wisata, tetapi warga juga bisa terlibat dalam proses pembuatan pupuk kompos gambut. Setiap nelayan mulai pukul 07.00-10.00 mengambil pupuk kompos gambut tersebut. Sebagian ada yang memiliki karamba. Setelah itu baru ngetem di perahu,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto