SEMARANG (jatengtoday.com) – Biaya rapid test sejauh ini terbilang mahal bagi sebagian masyarakat. Sebab, biayanya berkisar Rp 600 ribu hingga Rp 700 ribu. Biaya tersebut ditentukan oleh pihak rumah sakit masing-masing dan nilainya bisa berbeda-beda.
Terutama bagi masyarakat menengah ke bawah, nilai tersebut cukup memberatkan untuk sekadar mendapat surat keterangan medis berstandar Covid-19. Maka Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) DPRD Kota Semarang meminta Pemkot Semarang untuk memberikan layanan rapid test secara gratis bagi santri di ponpes pesantren. Baik santri warga Kota Semarang maupun warga luar yang mondok di pesantren di Kota Semarang.
“Saat ini, pondok pesantren telah bersiap membuka kembali atau menyambut masa new normal. Sesuai anjuran pemerintah, pondok pesantren memberlakukan protokol kesehatan, yaitu mewajibkan santri membawa surat keterangan sehat berstandar Covid-19. Itu artinya, setiap santri harus menjalani rapid test atau swab tqest. Sedangkan biaya periksa kesehatan standar Covid-19 itu cukup mahal. Maka pemerintah harus menggratiskan bagi santri,” kata Ketua FPKB DPRD Kota Semarang H Sodri, Kamis (18/6/2020).
Dikatakannya, Pemkot Semarang yang mengalokasikan APBD untuk penanganan penyebaran Covid-19 harus memiliki perhatian terhadap permasalahan di pesantren tersebut. Sebab, masih banyak warga tidak mampu membayar rapid test ataupun swab test.
“Misalnya bisa memerintahkan Puskesmas dan Rumah Sakit memberi pemeriksaan gratis untuk warga Kota Semarang berstatus santri. Teknisnya, santri datang ke Puskesmas atau rumah sakit, menunjukkan kartu santri, maka dia mendapat layanan gratis,” katanya.
Hal itu sesuai anjuran pemerintah mengenai standar operasional kesehatan kesehatan penanganan Covid-19. “Setelah mendapat surat keterangan sehat, santri agar bisa kembali mondok di pesantrennya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, pemerintah juga perlu mendatangi pondok-pondok pesantren di Kota Semarang untuk mendata, apakah semua santri telah memiliki surat keterangan sehat ataupun melakukan rapid test, sebagaimana yang dilakukan di pasar-pasar tradisional. “Semua santri mestinya mendapat layanan sama,” ujar Sodri.
Ia juga mengapresiasi langkah Pemprov Jateng yang memfasilitasi angkutan bagi santri ke Jawa Timur, yang keberangkatannya dilepas oleh Wakil Gubernur Jateng H Taj Yasin di halaman Masjid Agung Jawa Tengah, Rabu, (17/6/2020). “Itu bisa dicontoh, bus-bus Pemkot Semarang perlu disediakan untuk membantu para santri saat kembali ke pondok pesantren di Kota Semarang,” katanya.
Direktur RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang Susi Herawati sebelumnya menjelaskan mengenai prosedur rapid test, bahwa rapid test membayar apabila untuk kebutuhan pribadi.
“Jadi kalau mau bepergian, ada pekerjaan atau tugas keluar kota, itu (rapid test) membayar. Tapi kalau rapid test yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan secara massal gratis. Sekarang ini hampir setiap rumah sakit menyediakan pelayanan rapid test. Tapi bayar, karena (peralatannya) beli sendiri. Yang menyediakan rapid test massal Dinas Kesehatan,” terangnya.
Rapid test yang dilakukan untuk pasien rumah sakit juga tidak membayar. “Tapi kalau orang mau rapid test ya bayar. Kalau saya pengin tahu, rapid test apa, nah itu kepentingan pribadi (bayar),” katanya.
Mengenai biaya atau tarif rapid test, lanjut Susi, setiap rumah sakit menetapkan tarif berbeda-beda. “Ya tergantung tiap rumah sakit mempunyai tarif masing-masing. Ada yang Rp 600 ribu, ada yang Rp 700 ribu, tergantung rumah sakitnya,” terangnya. (*)
editor: ricky fitriyanto