SEMARANG (jatengtoday.com) – Sebanyak 24 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kami Berani menolak dengan tegas atas munculnya Wacana Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) anti lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka menilai Raperda ini tidak bijak karena diskriminatif dan penuh kebencian.
Juru bicara Koalisi Kami Berani, Nono Sugiono, menyayangkan sejumlah politisi dan pimpinan-pimpinan daerah maupun nasional pun memilih menggunakan pendekatan politik identitas dengan cara mengkambinghitamkan kelompok minoritas.
“Mereka meminggirkan kelompok yang dianggap salah oleh interpretasi mayoritas. Salah satu yang marak digaungkan belakangan ini adalah wacana pembentukkan Perda anti LGBT,” katanya dalam keterangan persnya, Sabtu (28/1/2023).
Berdasarkan pemantauan Koalisi Kami Berani, lanjut Nono, dalam kurun waktu Desember 2022 hingga rilis ini diturunkan, terdapat 4 daerah di Indonesia yang menyatakan akan mengajukan raperda diskriminatif anti LGBT, yaitu Garut, Bandung, Makassar, dan Medan.
“Perda diskriminatif yang penuh dengan kebencian ini meluas akibat politik praktis yang dilakukan oleh para politisi dengan tujuan meraup suara dengan menggunakan politik identitas,” ungkapnya.
Menurutnya, politisi baik nasional dan di daerah sayangnya tidak memiliki kerangka kebijakan yang baik untuk ditawarkan ke masyarakat. “Padahal politik praktis ini akan berbahaya bagi kestabilan sosial, politik, ekonomi, hukum dan keamanan di masyarakat,” tandasnya.
Selain itu, lanjut dia, hal ini juga akan semakin menjauhkan dan menghambat bagi pencapaian target-target pembangunan yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia. “Sebagai contoh, perda-perda yang mengatasnamakan moralitas seperti Perda P4S Kota Bogor—yang digadang-gadang sebagai upaya pemerintah kota bogor sebagai bentuk upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS, tetapi justru akan semakin memperburuk respons kesehatan di Kota Bogor itu sendiri,” katanya.
Nono menyebut, data global menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan diskriminatif tersebut justru akan membuat orang-orang yang hidup dengan HIV atau rentan terhadap HIV semakin enggan mencari layanan kesehatan, karena takut akan stigma dan diskriminasi.
“Pendekatan hukum dan kebijakan berbasis moral dan identitas semacam ini menjauhkan publik dari krisis yang sebenarnya dihadapi Indonesia. Saat ini Indonesia masih menjadi salah satu negara terkorup di dunia, dengan indeks persepsi korupsi di bawah 40,” katanya.
BACA JUGA: OPSI Semarang Siap Dampingi Prajurit TNI yang Dipecat karena Kasus LGBT
Lebih lanjut, indeks negara hukum Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun dan Indonesia saat ini secara global berada di peringkat 68 dari 139 negara dalam hal penegakan negara hukum. “Hanya 19 persen penduduk Indonesia berusia antara 25-34 tahun yang mengenyam pendidikan tinggi,” katanya.
Jumlah ini sangat rendah dibanding dengan negara-negara OECD lainnya, yang rata-rata tingkat pendidikan tingginya berkisar di 47 persen. “Selain itu, negara sepertinya tidak belajar dari kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelumnya yang menggunakan politik identitas sebagai alat,” ujar Ketua Arus Pelangi ini.
Padahal, masih kata Nono, pidato Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023 di Istana Negara mengenai Pelanggaran HAM masa lalu mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam kesempatan itu, pemerintah berjanji akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa meniadakan penyelesain secara yudisial.
“Presiden Jokowi menegaskan dalam pidatonya ‘saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang’,” ungkapnya menirukan ucapan Jokowi.
Intoleransi dan kebencian berdasarkan identitas, lanjut dia, sangat berpotensi memecah belah anak bangsa. “Ini juga akan membuat Indonesia menjadi negara yang semakin terbelakang karena fokus politisinya adalah politik praktis dengan cara memainkan identitas kelompok rentan,” imbuhnya.
Menurutnya, komitmen yang disampaikan Presiden Jokowi dan data-data di atas menunjukan pemerintah Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. “Berhentilah mendistraksi masyarakat dengan isu moralitas dan politik identitas. Jika Negara terus menerus mendiskriminasi dan mengkambinghitamkan kelompok rentan, maka Indonesia akan semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan, kesenjangan dan instabilitas,” katanya.
Maka dari itu, Koalisi Kami Berani mendesak agar negara untuk menghentikan segala bentuk pembiaran terhadap praktik penyebaran kebencian dan intoleransi terhadap kelompok minoritas dan rentan termasuk LGBT sebagai bentuk komitmen pemenuhan HAM.
“Kami mendorong pemerintah daerah untuk mencabut perda-perda diskriminatif dan menghentikan upaya pembuatan kebijakan diskriminatif lainnya. Kami mendorong kemendagri dan kemenkumham untuk melakukan eksekutif review dan memberikan sanksi kepada pemerintah daerah yang membentuk raperda/perda diskriminatif,” ungkap dia.
Pihaknya juga mendorong pembentukan legislasi anti diskriminasi yang komprehensif untuk melindungi hak kelompok minoritas dan rentan di Indonesia.
“Kami mengajak masyarakat untuk tidak memilih calon pemimpin yang zalim. Mereka yang menggunakan politik identitas dan berbasis kebencian terhadap suatu kelompok dalam pemilu,” katanya.
24 organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk isu hak asasi manusia dan demokrasi ini terdiri: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, LBH Jakarta, Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, Human Right Working Group (HRWG), Support Group and Resources Center on Sexuality Studies (SGRC Indonesia), Sanggar SWARA, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Transmen Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), KontraS, Crisis Response Mechanism (CRM), Free To Be Me, Cangkang Queer, Petrasu, Komunitas Sehati Makassar (KSM), Indonesian Judicial Research Society (IJRS), Dialoka, GWL-Ina, Jaringan Transgender Indonesia (JTID), Jakarta Feminis, Puskapa dan Imparsial. (*)