SEMARANG (jatengtoday.com) – Ketua Puan Hayati Jawa Tengah Dwi Setiyani Utami menilai, penganut aliran kepercayaan di Indonesia masih mendapat diskriminasi di berbagai aspek. Seperti aspek pendidikan, ekonomi, kesehatan, maupun hukum.
Sebagai wadah perempuan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia yang berada di bawah naungan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), Puan Hayati senantiasa memperjuangkan terciptanya kesetaraan.
“Sampai saat ini, penghayat kepercayaan di Indonesia masih berbicara terkait administrasi kepemerintahan. Sementara di negara lain, orang sudah berdebat soal 4.0 atau bahkan 5.0,” kata Dwi Setiyani.
Dia mencontohkan ketimpangan yang selama ini dialami oleh penganut aliran kepercayaan. Dalam bidang pendidikan, mereka masih menunggu draf kurikulum yang sudah dirancang, tetapi tak kunjung diterbitkan.
“Kurikulum yang digodok sejak 2016 hingga saat ini belum klir. Kami masih menunggu legalisasi dari pemerintah,” jelas Dwi Setiyani saat mengisi Diskusi Peringatan Hari HAM yang diadakan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) di Semarang, Kamis (28/11/2019).
Meski begitu, dia tidak menampik bahwa hal itu lebih baik dibanding sebelumnya. Dulu, kata Dwi, peserta didik aliran kepercayaan dipaksa mengikuti pelajaran salah satu agama resmi Indonesia jika ingin mendapatkan nilai soal religiusitas.
Kemudian setelah melalui jalan panjang, peserta didik penghayat diperbolehkan untuk belajar sesuai yang diyakininya. Dalam hal ini, sekolah wajib menghadirkan guru atau penyuluh Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Namun, masalah baru, muncul. Sebab, kebutuhan guru penghayat tidak dibarengi dengan adanya tenaga kependidikan profesional. “Lulusan S1 penghayat kan belum ada, makanya repot,” ungkapnya.
Untuk mengantisipasi itu, pemerintah lalu mengadakan Bimbingan Teknis (Bimtek) untuk mengeluarkan sertifikasi penyuluh pendidikan penganut kepercayaan. Meskipun di sisi lain negara belum memfasilitasi penyuluh untuk mendapat semacam tali asih.
“Itu problemnya sekarang. Tapi minimal sudah lumayan, peserta didiknya sudah diberi cukup ruang. Masalah tali asih menjadi perhatian kami selanjutnya,” imbuhnya.
Dia berharap agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru, Nadiem Makarim, bisa melakukan terobosan dengan meluncurkan buku ajar penganut kepercayaan. Sehingga, peserta didik akan mendapat akses pendidikan yang lebih baik.
Aspek lain
Pada aspek ekonomi, penganut kepercayaan juga tak luput dari keprihatinan. Seperti formulir lamaran pekerjaan yang hanya menyediakan pilihan 6 agama resmi, tanpa memberi space untuk menuliskan kepercayaan yang dianutnya.
“Termasuk pendaftaran CPNS dan TNI, Polri, sama saja. Tapi kalau Polri sudah memberikan ruang untuk penganut kepercayaan, hanya prosedurnya lebih rumit karena harus mendapat surat dari sesepuh, dan RT,” bebernya.
Intinya, kata dia, masih ada diskriminasi perlakuan bagi penganut kepercayaan.
Hal tersebut juga merambah pada aspek kesehatan. Formulir di rumah sakit masih banyak yang tidak menyediakan kolom khusus penghayat dalam pengisian identitas agama atau kepercayaan pasien.
Belum lagi aspek sosial yang tak kalah mengerikan. Seperti kematian seorang penghayat di Brebes yang terpaksa dimakamkan di pekarangan rumahnya sendiri lantaran warga lain tidak menghendaki jika dikubur di makam yang mayoritas muslim.
Dari segi perlindungan hukum penganut kepercayaan juga masih sangat diskriminatif. Padahal, kata Dwi, dalam undang-undang jelas disebutkan, negara berkewajiban melindungi segenap bangsa. Juga menjamin kepercayaan sesuai aliran kepercayaan yang diyakini.
Dia mencontohkan pendirian sanggar penghayat yanh sampai saat ini belum ada undang-undang perlindungan hukumnya. “Masih banyak ketimpangan antara kebijakan (untuk penganut) agama dengan penganut kepercayaan,” keluhnya.
Namun, Dwi Setiyani masih cukup bersyukur. Sebab, perjuangan tokoh-tokoh penghayat dibantu berbagai komunitas, LSM, dan NGO, secara perlahan mulai terakomodir.
Peneliti eLSA Semarang, Cahyono menambahkan, penganut kepercayaan memang masih memiliki batasan-batasan untuk bisa survive di Indonesia. Negara yang notabene memiliki kewenangan, kadang justru mempersulit dengan berbagai regulasinya.
“Seharusnya negara hadir dan harus melindungi minoritas, sepanjang itu masih dilindungi konstitusi. Sayangnya, negara kerap kali terlambat,” kritik Cahyono. (*)
editor : ricky fitriyanto