SEMARANG (jatengtoday.com) – Rencana pembangunan Proyek Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (PTTLSD) disebut bakal memunculkan masalah baru. Sebab, proyek ini dituding akan memperparah penurunan muka tanah (land subsidence).
Menurut aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Cornelius Gea, salah satu penyebab penurunan muka tanah yang cukup besar adalah pembangunan fisik di daerah pesisir.
“Tanggul laut dan tol adalah bangunan fisik di pesisir. Dan dampaknya akan dirasakan oleh seluruh masyarakat Kota Semarang, termasuk Demak,” jelasnya saat menghadiri Diskusi Tata Ruang di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Selasa (25/2/2020).
Sehingga, ia tak sepakat bahwa proyek itu bertujuan untuk menangani persoalan banjir dan rob yang semakin parah serta sebagai solusi untuk mengantisipasi kemacetan.
Apalagi, katanya, pihak BBWS Pemali Juana sebagai penyusun basic desain proyek mengakui bahwa tanggul laut tersebut memiliki umur atau jangka waktu tertentu.
“Land subsidence akan terjadi, mau tidak mau tanggul dan tol laut itu akan turun. Sementara air akan tetap naik. Jadi, dengan sistem ini, selamanya kita harus bergantung untuk tetap meninggikan tanggul,” kritik Cornelius.
“Yang awalnya itu datang untuk menciptakan solusi, tapi justru menciptakan permasalahan-permasalahan baru dari solusi yang diciptakan,” imbuhnya.
Nelayan Semakin Terpinggirkan
Cornelius juga menyoroti orientasi dari pembangunan proyek tersebut yang cenderung merugikan masyarakat yang ada di sekitar tol dan tanggul laut.
“Saya tidak tahu itu untuk kepentingan siapa. Karena kita tahu di situ ada kawasan industri yang harus dilindungi. Tapi yang jelas, jangan sampai alasan itu dijadikan legitimasi untuk pembangunan,” ungkapnya.
Belum lagi para nelayan yang aksesnya ke laut akan dipersulit dengan adanya tanggul. “Jika nanti sungai-sungai ditutup, bagaimana nasib para nelayan?” tanya Cornelius.
Salah satu warga pesisir Kota Semarang, Marzuki, menceritakan saat dirinya dan warga lain di Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kota Semarang digusur oleh pemerintah.
Ia terpaksa harus berjuang mempertahankan tempat yang sudah ditinggali puluhan tahun karena berhadapan dengan proyek normalisasi sungai. Saat itu, Pemkot Semarang memberi solusi untuk direlokasi ke Rusunawa Kudu yang notabene jauh dari laut.
“Penduduk Tambakrejo kan mayoritas nelayan. Otomatis kami tidak mau jika disuruh tinggal di tempat yang jauh dari laut,” ucap Marzuki.
Menurutnya, jika benar bahwa pembangunan bertujuan untuk kepentingan orang banyak, seharusnya jangan sampai ada korban yang dirugikan. (*)
editor: ricky fitriyanto