SEMARANG – Proyek pembangunan Semarang Outer Ring Road (SORR) yang rencananya bakal diubah menjadi Jalan Tol menjadi strategi Pemkot Semarang menarik anggaran bantuan dari pemerintah pusat. Sebab, apabila proyek tersebut tetap bernama SORR akan kesulitan mendapat bantuan dari pemerintah pusat.
Rencana tersebut saat ini masih dikaji Oleh pemerintah pusat, yakni Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Pemkot Semarang sendiri memastikan tidak ada perubahan Detail Engineering Design (DED) dalam proyek ini.
“Nanti hanya diperlukan sinkronisasi antara Tol SORR tersebut dengan Tol Trans Jawa Semarang-Batang. Keduanya berbeda fungsi,” kata Sekretaris Bappeda Kota Semarang, M Farchan, Minggu (28/1/2018).
Dikatakannya, berubahnya SORR menjadi Tol tidak ada masalah. Perubahannya hanya pada manajemen lalu-lintasnya saja. “Perbedaannya, kalau SORR tidak berbayar. Tapi kalau tol nanti berbayar, gitu aja. Semua itu nanti diatur operasionalnya,” imbuhnya.
Dalam proyek ini, Pemkot Semarang hanya berperan melakukan pembebasan lahan saja. Secara pengelolaan, baik tol maupun SORR, aturan mainnya nanti diserahkan ke pemerintah pusat. “SORR Obliglasinya lewat pemerintah, tetapi kalau tol bisa dijual atau dikelola oleh pihak ketiga,” katanya.
Pada prinsipnya tidak ada perubahan DED. Hanya saja perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian. “Misalnya terkait pintu tol yang mungkin nanti diperhitungkan ditempatkan di mana. Kalau ada perubahan sedikit itu biasa, kan perlu penyesuaian,” katanya.
Antara Tol SORR dengan Tol Trans Jawa Batang-Semarang? Farchan juga memastikan tidak akan terjadi tumpang tindih fungsi. “Saya pikir tidak, karena fungsi SORR ini sejak awal lebih memasilitasi transportasi di kawasan industri, bandara maupun pelabuhan. Tetapi kalau Tol Trans Jawa lebih bersifat pelayanan kendaraan umum dari arah luar kota,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Semarang, Iswar Aminudin mengatakan, pihaknya saat ini masih menindaklanjuti proses pembebasan lahan. “Sedang tahap penilaian tim appraisal,” katanya.
Alasan diubahnya skema pembangunan SORR menjadi Tol ini, kata dia, karena kemampuan keuangan pemerintah saat ini tidak memungkinkan. Maka model pembangunan sekarang dengan melibatkan investasi swasta, karena kemampuan keuangan pemerintah belum cukup. “Saat ini masih dikaji oleh pemerintah pusat, kalau nanti sudah diputuskan, pasti didasarkan atas kajian Mutual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI),” katanya.
Secara fungsi, Tol SORR ini nantinya berbeda dengan fungsi Tol Trans Jawa Semarang Batang. Sebab ini nanti berfungsi sebagai jalur konektivitas antara kawasan pelabuhan, bandara, kawasan industri dan tol. “Fungsinya beda dengan Tol Trans Jawa,” katanya.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi juga telah mengutarakan rencana perubahan skema pembangunan SORR diubah menjadi tol tersebut. “Pembiayaan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) bisa dialokasikan untuk pembangunan jalur lingkar di Kota Semarang ini dengan model pembangunan jalan tol. Saya pribadi, pertimbangannya mana yang paling cepat. Sekiranya paling cepat adalah jalan tol, ya tidak apa-apa,” katanya.
Pada prinsipnya, jalur lingkar ini menjadi kebutuhan prioritas di Kota Semarang. Mengingat saat ini kepadatan lalu-lintas dari arah Mangkang menuju Jrakah semakin krodit. “Maka harus ada upaya rekayasa teknis,” katanya.
Proyek Semarang Outer Ring Road (SORR) direncanakan memiliki total panjang 62.547 kilometer. Jalur lingkar alternatif ini menyisir pinggir Kota Semarang. Mulai Mangkang, Mijen, Cangkiran, Gunungpati, hingga Ungaran. Selanjutnya Tembalang, Pedurungan hingga Genuk. Sedangkan di wilayah pesisir utara, mulai kawasan pantai Kabupaten Kendal, kawasan Tugu, kawasan pelabuhan, kawasan Genuk hingga Kawasan Pantai Kabupaten Demak.
Pembangunan SORR tahap 1, Mangkang-Mijen memiliki panjang 10 km. Terdapat 400 bidang tanah, berupa bangunan dan juga lahan kosong yang akan terkena dampak. Sedangkan untuk SORR tahap 2 yakni Mangkang – Arteri Yos Soedarso sepanjang kurang lebih 7 km. Untuk tahap lanjutan jalur lingkar Cangkiran-Ungaran, Genuk-Meteseh dan Meteseh – Pudakpayung. Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Land Acquisition and Resettlement Action Plan (Larap) telah dilakukan. Namun proses pembebasan lahan tersendat hingga berlarut-larut. (abdul mughis)
Editor: Ismu Puruhito