in

Perjalanan Emosional Selama Proses Kreatif

Rahasia untuk tetap kompeten dan kreatif hanya satu..

(Credit: WeHeartIt)

Apa yang membuat seseorang gagal menulis, sebenarnya berawal dari mindset. Saya pernah alami itu, secara tak-sadar.

Kalau saya ketemu David Dunning dan Justin Kruger, yang menemukan “Gunung Bodoh”, tentu kedua orang ini akan tertawa.

Orang yang tak-kompeten melebih-lebihkan kompetensi mereka, dan gagal memahami #perbedaan antara “kinerja” mereka dan “keinginan” mereka. Contoh terbaik dan sering kita temukan, ketika seseorang pernah berhasil melakukan sesuatu, sekalipun kualitasnya biasa-biasa saja, merasa kalau ia mampu melakukan itu. Padahal, sesuatu yang ia lakukan kemudian, memiliki konteks dan kerumitan masalah yang berbeda.

Kebanyakan orang, gagal melihat apa yang tidak mereka ketahui. Mereka gagal melihat “gunung bodoh”, padahal berada di tengah-tengahnya.

Mereka bilang, “Saya sudah workshop. Saya lulus uji-kompetensi. Saya punya kawan penulis. Saya sering baca buku.”.

Pada suatu hari, saya melacak ketidaktahuan saya, dalam menulis artikel. Satu per satu, saya mengurai ketidaktahuan saya, hasilnya: puluhan pertanyaan. Tentang membuat judul, menulis lead, dst.

Skema Perjalanan Emosional untuk Menciptakan Karya Hebat

Keadaannya seperti ini:

emotional journey of creating anything great
Skema perjalanan emosional untuk menciptakan karya yang hebat, dari Kimbal Musk, co-founder PayPal. (Credit: Kimbal Musk)

Menurut skema di atas, ada jurang berbahaya, antara permulaan “Ini ide terbaik yang belum ada” menuju “Ini sesuatu yang saya banggakan”. Sepintas, segalanya akan menyenangkan, mendapatkan dukungan, namun ternyata terdapat masalah klasik. Pikiran sering memblokir kreativitas sendiri, ada bisikan untuk berhenti, dan kegagalan di tengah perjalanan melelahkan.

Solusi Mengatasi Masalah Emosional Selama Proses Kreatif

Saya berorientasi kepada kuantitas, bukan kepada kualitas.

Mengapa kuantitas? Jika saya menulis sampai lebih dari 100 artikel, barulah saya bisa mengetahui di mana titik-lemah saya. Karya saya baru bisa dibandingkan dengan karya saya yang lain. Kuantitas menjanjikan perbaikan, bukan kebanggaan. Kuantitas bisa menjadi grafik naik-turun, bisa ketahuan mana yang “work”, bisa saya jalankan lebih baik di pekerjaan berikutnya, dan mana yang perlu saya perbaiki lagi.

Saya akan menulis sebanyak mungkin. Saya siap dengan kritik apapun dari pembaca.

Kerumitan adalah penanda dalam melihat ketidaktahuan. Memasuki jurang, seperti di gambar itu. Kelak kamu akan bisa berjalan dalam gelap dan terjal. Kamu tidak bisa menyeberang tanpa memasuki dasar jurang. Tidak bisa mengharapkan jembatan.

Apapun ide yang datang, tangkap. Jangan menimbang nilainya dulu. Ide bisa dari mana saja. Tidak bisa sekali jadi, tidak bisa langsung bagus. Inspirasi selalu mentah. Inspirasi yang sepenuhnya bisa kamu tiru, bukan inspirasi. Itu pendikte yang membuatmu menjadi penduplikat. YouTube, TikTok, Instagram, tempatnya terjadi duplikasi ide sekaligus bentuknya.

Ide muncul begitu saja. Kita tidak tahu itu bagus atau tidak, sebelum kita proses. “Genius” pada asalnya berarti “sifat bawaan”. Kamu jenius ketika menuruti panggilan dan tidak berhenti.
Saya mencari informasi lebih lanjut. Mempertanyakan. Menerapkan “berpikir kritis” dan “model mental” versi saya.

Musuh penulis adalah bias berpikir, nilai-nilai lama yang terlalu dipercaya, hal-hal yang fixed. Penulis selalu memadukan data, logika, dan seni. Penulis percaya bahwa setiap nilai adalah bentukan (constructed). Berpikiran terbuka. Tumbuh.

Sampai 100 postingan, atau lebih, baru kamu akan tahu, seperti apa gayamu sendiri. Kamu akan sampai pada dasar jurang. Di lembah terdalam itulah asal popularitas kamu nanti.

Bagaimana kamu menulis, bergantung pada preferensi belajar kamu. Ada yang bilang, “Tulis judulnya dulu..”, ada juga yang “Tulis kerangka tulisan dulu..”. Percayalah, tidak ada yang benar. Coba keduanya. Selalu bertanya, adaptasi, improvisasi, dan terus melakukan. [dm]