in

Presiden Didesak Bentuk Tim Independen Percepatan Reformasi Polisi

Berbagai kasus yang melibatkan sederet anggota polisi belakangan ini benar-benar membuat publik tercengang.

ilustrasi

JAKARTA (jatengtoday.com) – Krisis kepercayaan terhadap Institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) saat ini sedang disorot masyarakat. Pasalnya, berbagai kasus yang melibatkan sederet anggota polisi belakangan ini benar-benar membuat publik tercengang.

Mulai dari mencuatnya Kasus Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, kasus narkoba Irjen Teddy Minahasa, dan lain-lain. Baru-baru ini, publik kembali dikejutkan dengan tindakan lima anggota kepolisian dan dua Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas di Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) atas tindakan melakukan pungutan liar dalam seleksi penerimaan siswa Bintara Tahun Angkatan 2022.

Fenomena itu membuat Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi yang terdiri: Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Nasional, mendesak reformasi polisi.

Agus Sunaryanto dari ICW menilai kondisi yang terjadi hingga saat ini membuktikan bahwa kepolisian tidak pernah benar-benar berubah dengan mengoreksi dan mengevaluasi terlebih mereformasi institusinya.

“Kepolisian seolah-olah bebal dan kritik publik menjadi sangat relevan yang menyatakan bahwa ada permasalahan serius di tubuh kepolisian sehingga harus direformasi secara  struktural, instrumental dan kultural,” ungkapnya dalam keterangan pers tertulis, pada  16 Maret 2023.

Dia menilai, kepolisian tidak pernah serius melakukan penindakan terhadap perilaku koruptif anggotanya.

“Alih-alih menindak, pendekatan yang diambil hanya sebatas memberi sanksi etik yang menurut kami akan melanggengkan impunitas dan tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect),” ujar dia.

Melanggengkan Impunitas Polisi

Mereka dikenakan sanksi etik yang beragam mulai dari demosi, penempatan khusus, dan penurunan jabatan 1 tingkat dan potongan tunjangan.

“Seharusnya baik sanksi etik dan pidana harus dilakukan secara paralel. Kepolisian seharusnya juga mengedepankan penegakan hukum pidana,” katanya.

Tindakan yang dilakukan oleh anggota kepolisian secara berjamaah dapat dikategorikan sebagai pidana korupsi dan/atau pidana dalam jabatan sebagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan/atau Pasal 12 huruf e Juncto Pasal 12B ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Sasmito Madrim dari AJI menambahkan, sederet kasus yang melibatkan anggota polisi tidak mendapatkan penanganan hukum secara serius. “Polri menghukum anggotanya yang melakukan tindak pidana melalui pendekatan etik tanpa proses hukum pidana,” katanya.

Sejumlah kasus, di antaranya:

  • Kasus penerimaan anggota Polri dengan hasil pungli hampir mencapai Rp 2 Miliar yang melibatkan anggota Polisi di Polres Rote Ndao di Nusa Tenggara Timur (NTT) 2022.
  • Kasus 7 (tujuh) Perwira Polisi dan seorang PNS yang diduga terlibat pungli dalam penerimaan calon Brigadir Polisi tahun 2016 dan Sekolah Inspektur Polisi Sarjana tahun 2017 di Sumatera Selatan.
  • Kasus dugaan suap dan penggelapan dalam jabatan perkara narkotika, yakni eks Kapolres Bandara Soekarno-Hatta yang hanya mendapatkan sanksi etik tanpa pidana.
  • Kasus 2 (dua) terdakwa dalam kasus penyerangan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang masih menjadi Anggota Aktif meski terbukti melakukan tindak pidana.
  • Kasus Iptu TK yang berkali-kali melakukan kekerasan terhadap masyarakat di Ambon hanya dijatuhi sidang etik berupa pemecatan tidak dengan hormat (2022).
  • Kasus Penyiksaan M. Fikry dkk oleh Anggota Polsek Tambelang dan Polres Metro Bekasi yang sampai sekarang tidak ditindaklanjuti (2022).
  • Kasus Penyiksaan yang dilakukan 6 (enam) aparat Polres Tanah Datar Sumatera Barat terhadap Viora Andika hanya diberi sanksi berupa permintaan maaf kepada institusi kepolisian dan korban secara lisan (2021).
  • Kasus Unlawfull Killing dua mahasiswa Universitas Halu Oleo hanya sampai sidang etik dengan sanksi teguran lisan hingga penundaan kenaikan pangkat (2019).

“Semakin jamaknya impunitas di tubuh kepolisian tentu bertentangan dengan prinsip jaminan ketidak berulangan dalam HAM (guarantees of non recurrence). Lebih jauh dari itu, menunjukkan bahwa kepolisian tidak memiliki kemauan serius dan tidak bersedia di reformasi secara struktural, instrumental dan kultural,” katanya.

Urgensi evaluasi dan pembenahan sistem perekrutan anggota polisi

Fatia Maulidiyanti dari KontraS mengatakan, perilaku koruptif anggota kepolisian hampir terjadi dalam berbagai level, tak terkecuali pada saat seleksi penerimaan anggota Polri.

“Selain tidak pernah ditindak secara tegas, tindakan ini terus terjadi karena lemahnya transparansi dan akuntabilitas serta pengawasan kiepolisian. Oleh karenanya, percaloan penerimaan anggota Polri merupakan salah satu isu penting dalam Agenda Reformasi Kepolisian di sektor Manajemen Sumber Daya Manusia (human resources),” ungkapnya.

Isnur dari YLBHI mengatakan kasus-kasus serupa terus mengalami pengulangan.

“Kami berpendapat sistem penerimaan anggota Polri harus dievaluasi dan dibenahi dengan menetapkan sistem dan pengawasan seleksi yang melibatkan peran penuh pihak eksternal seperti Lembaga Independen Negara, Akademisi, serta masyarakat sipil dengan menekankan prinsip transparansi, akuntabilitas, inklusivitas, dan demokratis,” ungkapnya.

Erasmus Napitupulu dari ICJR menambahkan, oleh karena itu, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi mendesak Kepala Kepolisian RI memerintahkan seluruh satuan di bawahnya untuk melakukan proses pidana terhadap anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana korupsi khususnya dalam kasus Kepolisian Daerah Jawa Tengah.

“Kepala Kepolisian RI harus menindaklanjuti komitmennya untuk menjadikan Polri sebagai institusi yang prediktif, responsibilitas, transparansi dan berkeadilan (PRESISI). Khususnya dengan mengevaluasi penerimaan anggota Polri agar melibatkan peran aktif dan partisipasi pihak eksternal,” katanya.

Sedangkan Julius Ibrani dari PBHI Nasional menyampaikan, bahwa pemerintah dan DPR RI untuk menangani permasalahan serius di tubuh kepolisian secara aktif dengan melanjutkan agenda reformasi kepolisian secara instrumental, kultural dan struktural melalui perubahan kebijakan/peraturan perundang-undangan.

“Presiden harus segera membentuk Tim Independen Percepatan Reformasi Polisi yang bekerja secara langsung di bawah presiden, guna memastikan reformasi terjadi di semua aspek Kepolisian RI,” tegasnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *