SEMARANG (jatengtoday.com) – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang menengarai adanya potensi kebocoran uang hasil pajak dan retribusi reklame di Kota Semarang. Pasalnya, dari target Pendapatan Asli Daerah (PAD) sesuai hasil kajian, sektor reklame ini seharusnya mampu menghasilkan pendapatan kurang lebih Rp 9 miliar.
Namun fakta yang terjadi sangat jauh dari target tersebut, yakni hanya mampu menghasilkan Rp 1 miliar. Hal membuat Badan Legislasi (Baleg) DPRD Kota Semarang menaruh kecurigaan bahwa terdapat potensi kebocoran kurang lebih Rp 8 miliar.
Tidak hanya itu, pengelolaan pajak dan retrubusi reklame di Kota Semarang dinilai semrawut. Bahkan Semarang yang Metropolitan dan menjadi hutan reklame ini tercatat memiliki 1.300 titik reklame. “95 persen di antaranya berada di badan jalan. Ini sangat membahayakan pengguna jalan,” kata Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Kota Semarang, Suharsono, Kamis (7/2/2019).
Pihaknya minta Pemkot Semarang melakukan evaluasi dan peninjauan ulang terkait pengelolaan reklame di Kota Semarang. “Seharusnya Pemkot Semarang memiliki masterplan mengenai reklame ini. Ketika perda baru telah dibahas, kemudian ditetapkan, maka harus diimplementasikan, tidak diganti,” katanya.
Suharsono melihat adanya ketidakdewasaan Pemkot Semarang dalam melakukan penataan reklame tersebut. Pasalnya, sudah ada dan ditetapkan Perda belum ada setahun, tapi sekarang ini akan diganti.
“Ini menunjukkan bahwa perencanaan tidak matang dan tidak akurat. Kami minta harus ada masterplan,” katanya.
Adanya kesan tidak konsisten tersebut, lanjut Suharsono, pihaknya mencermati adanya hal ganjil. Tentu saja ini menjadi tanda tanya besar. “Sebab, perda baru setahun ditetapkan dan dijalankan, tetapi saat ini dibahas lagi. Bahkan, potensi pendapatan daerah yang harusnya ditargetkan Rp 9 miliar. Tapi hanya tercapai Rp 1 miliar sekian,” katanya.
Anggota Komisi A DPRD Kota Semarang, Johan Rifai, sebelumnya mengatakan ini menjadi masa transisi penyelenggaraan reklame berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2017 tentang Reklame pada 31 Desember 2018. Sejauh ini banyak reklame berdiri di atas tanah milik Pemkot Semarang, taman kota maupun trotoar.
“Ke depan, hal tersebut sudah tidak diperbolehkan lagi. Penempatan reklame harus dipindah ke persil pribadi. Konsekuensinya, pemkot tidak bisa menarik retribusi sehingga berpotensi menurunkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor reklame,” katanya.
Menurut dia, Perda Nomor 6 Tahun 2017 sudah cukup jelas mengatur tentang reklame, tinggal diimplementasikan dengan peraturan wali kota atau perwal. “Penataan reklame ini perlu segera dilakukan, sebab akan menambah keindahan kota. Trotoar, taman dan sarana publik harus bersih dari reklame,” katanya.
Nantinya, lanjut dia, titik reklame akan semakin berkurang. Maka besar kemungkinan hanya perusahaan bonafide saja yang bisa memasang reklame dengan tarif mahal. “Jika aturan ini dilaksanakan, maka secara otomatis reklame akan tertata,” katanya. (*)
editor : ricky fitriyanto