in

Adaptasi atau Porting?

Banyak ide dan kebijakan gagal karena prinsipnya porting. Bukan adaptasi.

(Credit: pinstock)

Sering terdengar usulan, “Bagaimana kalau kita buat seperti ini?”. Arahnya: adaptasi atau porting. Ini istilah dalam desain dan pemrograman yang bisa kita terapkan dalam kehidupan.

Adaptasi terjadi ketika suatu ide dibuat “bertahan-hidup” karena ide itu keren, kemudian disesuaikan dengan ruang-waktu ide itu.

Adaptasi, lebih berat. Teks drama “Romeo and Juliet” dari Shakespeare, yang semula dirancang untuk pertunjukan panggung, mengalami adaptasi ketika diangkat menjadi versi film. Konsep, tantangan, masalah, dll. antara keduanya sudah jauh berbeda. Bukan sekadar memindahkan dari panggung ke movie. Adaptasi memilih belajar dan mengubah, bagaimana suatu teks tetap “bertahan hidup” di antara teks lain. Adaptasi adalah bentuk dari “survival to be the fittest”.

Membuat website Lichess untuk penyuka permainan catur, itu adaptasi. Bukan sekadar memindahkan catur yang bisa berfungsi secara digital. Yang ada di Lichess lebih komplet: catur untuk anak, bermain dengan jam catur, menantang seseorang, analisis permainan, puzzle, studi, dll. Itu sebuah sistem untuk tidak sekadar “bisa bermain” tetapi sistem dan ekosistem catur. Orang justru melek dengan keindahan permainan catur ketika permainan ini diadaptasi menjadi versi digital di Lichess.

Ketika ada ide bagus di sana, kemudian kamu terapkan di sini, seperti itulah porting. Ini lebih berbahaya dari kelihatannya.

Porting lebih sering terlihat. Melihat curl paper (seperti tren awal desain web) di suatu halaman web lain, kemudian diterapkan di web kamu. Atau lihat judul yang menyulut emosi karena click-bait dan dapat view tinggi, ikut bikin seperti itu. Porting lebih hemat waktu, sumber daya rendah, “tersedia”, dan mudah. Porting bisa dikerjakan siapa saja. Porting sepertinya “benar sejak awal”, karena kita telah melihat “di sana tampak bagus, apa salahnya diterapkan di sini?”. Porting mendapat dukungan di mana-mana. “Ada aplikasi untuk lakukan hal ini,” menjadi mantra para penyuka porting. Parahnya, porting sering tanpa penelitian lebih lanjut.

Desainer, programmer, kepala bagian, pemikir di suatu departemen, banyak yang menerapkan porting. Terutama yang kurang kreatif. Aplikasi Canva, yang sekarang sangat populer bagi para guru, juga pakai konsep porting: ada template yang bisa kamu pakai, ganti isi, warna, dan bentuk, maka jadilah sebuah desain keren. Pekerjaan menjadi mudah dan seolah-olah kreatif.

Tentu saja, keren menurut Canva dan orang yang belum pernah lihat Canva.

Porting tidak mengabaikan perpindahan, dari desain A ke B, tetapi jarang bertanya mengapa A dibuat sebagai A.

Muncul masalah ketika porting diterapkan hanya agar suatu fungsi berjalan. 

Saya berikan contoh: Ada suatu template, yang bisa kita pakai (di Canva tadi). Kita bebas ganti font, geser tata letak, ubah warna, kemudian tinggal download. Kemudian, ada orang yang melihat kejanggalan, “Sebentar, mengapa font ini kamu ganti dengan sans-serif? Mengapa grid menjadi kacau setelah kamu geser posisi elemen di Canva?”

Singkatnya, dalam kasus ini, untuk modifikasi template, kamu perlu mengerti prinsip-prinsip desain.

Tidak ada larangan untuk memakai dan bebas desain sesuai keinginanmu, tetapi ingat: A dibuat sebagai A di Canva, tentu ada alasan.

Cara bekerja juga bisa mengalami porting.

Prinsip: “pekerjaan adalah platform”. Mengapa kamu pilih cara bekerja “seperti ini”? Tentu pilihan ini punya perbedaan dengan cara lain. Itu sebabnya, jauh sebelum pandemi, banyak perusahaan kecil dan pekerja-kreatif memilih “remote working” bekerja dari jauh, karena lebih produktif dan nyaman.

Contoh porting lagi yang ngehit: zoom meeting. Saya masih melihat, orang zoom meeting, tetapi menerapkan absensi dan bertanya, “Ada problem apa? Silakan presentasikan.” Atau online course dengan zoom meeting, dengan analogi “sebuah kelas jarak jauh”. Ini jelas porting. Memindah dunia analog dengan fasilitas digital. Padahal keuntungan online meeting itu (salah satunya:) efisiensi waktu dan interaksi berbeda.

Zoom meeting malah menjadi penghambat untuk meeting. Mereka tidak mengadaptasi teknologi. Mereka sedang porting dunia analog ke arah digital. Zoom meeting menjadi absen dan tanya masalah, atau mengganti tatap-muka kelas, kalau porting “pelajaran di kelas”. YouTube hanya menjadi audio berwajah orang sedang orasi, kalau mereka porting “pidato”. Kalau porting “perilaku selebritas”, orang meniru saja tren berkulit putih dan memakai smartphone mahal.

Porting menghasilkan follower yang tidak perlu berpikir panjang. Meniru dan meniru.  

Di tangan orang yang tidak mengerti perbedaan adaptasi dan porting, teknologi secanggih apapun akan dikembalikan ke analogi dunia yang masih analog. Zoom meeting kembali pakai “sambutan” dan menjadi “orasi” yang bisa ditonton dari jauh. Fitur tidak optimal. Pencapaian dan percepatan tidak didapatkan. Kita hanya perlu menyingkap, “Apa yang bisa dilakukan teknologi ini? Bisa saya apakan lagi?”. Adaptasi memakai prinsip seperti itu.

Pemimpin yang tidak punya konsep, lebih suka porting. Di kota X ada kemajuan A, kemudian ingin diterapkan secara merata di seluruh wilayah, karena dianggap “kelihatan” berhasil. Tanpa adaptasi. Tanpa penelitian lebih lanjut.

Dalam desain, politik, keputusan, tindakan, selalu terjadi adaptasi dan porting. Bedakan antara adaptasi dan porting. Agar hasilnya nanti berbeda. [dm]