Mengapa “Money Politics” Bertahan di Setiap Pemilu di Indonesia
Mengapa “money politics” masih tetap bertahan di setiap pemilu di Indonesia?
Di sebagian besar daerah, “money politics” menjadi hantu bagi budaya demokrasi yang jujur dan adil sekaligus jalan pintas sebagian besar calon, semacam tradisi lima tahunan. Sepintas ini sederhana, semacam penghargaan dan permintaan dukungan kepada para [calon] pemilih. Hubungan patron-klien yang mendalam dalam budaya politik.
Faktor lain, kesenjangan ekonomi. Semakin berada dalam ketidaksetaraan ekonomi, pemilih semakin rentan terhadap iming-iming “money politics”, entah dalam bentuk uang atau barang. Pilihan rasional bisa bergeser ke arah keuntungan jangka pendek.
Nilai 100 Ribu dalam 5 Tahun
Mari kita hitung “nilai” selembar uang seratusribuan itu dalam 5 tahun. Jika 1 orang dapat Rp100.000,00 (seratusribu rupiah), sebagai pemberian sekali selama 5 tahun (ini jika calon jadi) alias 5 tahun jabatan x 365 hari dalam setahun, maka penerima “money politics” itu sama dengan mendapatkan uang kurang dari Rp55,00 (limapuluhlima rupiah) per hari. Tahu apa jawaban mereka yang menerima? Rata-rata menjawab, “Lebih baik dapat 100 ribu daripada tidak dapat sama sekali.”. Singkat cerita, perbandingan seperti ini memiliki hasil yang berpeluang tertinggi: “Ada uang, saya pilih. Tidak ada uang, jangan harap saya pilih.”.
Sistem pemilu sendiri tidak cukup efektif dalam mencegah praktik “money politics”. Selalu ada celah yang bisa diakali para “vote getter” alias “sabet” yang berada di lapangan. Pengawasan lemah, hukuman yang tidak memberi efek jera kepada pelaku, sering terjadi.
Rendahnya Kesadaran dan Tingginya Biaya Politik
“Money politics” juga terjadi karena tingkat pendidikan politik yang masih rendah, di mana mereka tidak menyadari dampak negatif jangka panjang dari “money politics” ini.
Biaya politik memang tinggi, apalagi kalau harus pakai uang. Masing-masing calon mengeluarkan biaya besar. Calon di tingkat kabupaten, biasanya per dapil 2-4 kecamatan, rata-rata kalah biaya dengan calon tingkat provinsi, menaik ke atas sampai tingkat nasional. Untuk “memastikan” peluang menang, “money politics” menjadi pintasan.
Media dan Ruang Publik yang Tidak Ramah Politik
Media dan informasi yang bias mempengaruhi persepsi pemilih tentang calon, mendorong calon untuk menggunakan money politics sebagai strategi komunikasi politik yang lebih ‘efektif’.
Apa yang terjadi, seandainya seorang calon, belum terlalu dikenal di media dan [calon] pemilih? Calon itu akan menggunakan kesempatan singkat, untuk melakukan pencitraan. Tidak sempat lagi memakai “user story” layaknya marketing suatu produk, yang sejalan dengan kebutuhan publik. Kapan ia bisa mengatakan, “Saya datang untuk membuat perubahan, dengan tindakan berbeda, agar dapil ini menjadi lebih maju.” Bahkan tidak ada media tradisional yang memfasilitasi perbincangan seperti itu, kecuali calon itu melakukan sendiri, seperti: posting di media sosial, berjumpa dengan calon pemilih di suatu tempat, dan ketika kampanye.
Ruang publik kita tidak terlalu ramah untuk orang-orang partai berbicara secara bebas menyapa konstituen. Ini sebabnya, media punya peran untuk melakukan “personal branding” dan “menjual” personalitas calon. Itu sebabnya, kampanye terjadi di media berita dan televisi, tempat panggung terbuka terjadi. Dan itu bukan tanpa biaya.
Berkaitan dengan persepsi dan ekspektasi publik, sebagian besar pemilih mungkin melihat “money politics” sebagai ‘norma’ atau ‘tradisi’ yang tidak bisa dihindari, sehingga mereka menerima praktik ini tanpa mempertanyakan implikasinya.
Pintasan untuk Memperbesar Peluang Menang
“Money politics” hanyalah salah satu taktik untuk menang. Masih ada cara lain. Ada satu kesamaan: semua butuh biaya. Membuat dan memasang banner, personal branding, lobi, mengelola tim, kampanye, dst. Biaya untuk semua ini ada di kisaran 350 juta ke atas, untuk calon di tingkat kabupaten. Semua ingin kepastian, ingin peluang besar, agar bisa menang, dan sekali lagi: biaya tinggi.
“Money politics” juga terjadi karena kurangnya alternatif pembiayaan kampanye. Kurangnya akses ke sumber pembiayaan kampanye yang sah dan transparan mendorong calon untuk mencari sumber dana lain, termasuk praktik money politics.
“Mindset” sebagian besar pelaku politik hampir sama: uang, uang, dan uang. Mereka kurang memikirkan alternatif pembiayaan kampanye. Lebih sering: janji ditukar dengan dukungan, deal ditukar dengan donasi, dan uang ditukar dengan suara.
Setiap daerah memiliki dinamika sosial, ekonomi, dan politik sendiri yang bisa mempengaruhi praktik “money politics”. Apa yang berlaku di satu daerah mungkin tidak sama dengan daerah lain. Mungkin kita perlu membuat semacam kompilasi lelucon politik, kalau perlu diberi nama, tanggal, dan tempat kejadian (koordinat GPS kalau perlu), yang menceritakan ragam budaya asli politik Indonesia yang sangat menyukai “money politics” dan menganggap bahwa “money politics” merupakan “metode” untuk menang.
Kita tidak bisa memahami perpolitikan di Indonesia tanpa memisahkan cerita “money politics”.
Mengaktifkan Perang Proxy dan Aktivasi Token
Faktor lain yang membuat “money politics” awet dan bertahan, tentu saja: tekanan kelompok dan jaringan sosial. Seseorang menerima selembar seratusribuan, tidak selalu dalam pola vote getter memberikan tawaran lalu diterima. Tidak selalu. Orang bisa saja menerima uang karena ia sudah “tercatat”, karena orang lain setor “by name” (nama) dan identitas diri. “Terima saja, jangan lupa pilih X”. Uang itu bisa jadi dititipkan orang lain atau dikonversi dalam bentuk barang atau fasilitas. Karena klub bola voli ini dibuatkan lapangan, bola, dan net, oleh calon bernama X. Ini merupakan praktik “tekanan” grup dan jaringan sosial.
Bukan rahasia lagi, kalau dalam pemilu di Indonesia, pemakaian metode “proxy” dan aktivasi “token” melalui tokoh yang terkenal (influencer) dianggap sangat efektif. Tentang perang proxy dan aktivasi token bersama influencer.
Terjadilah politik komoditas dan eksploitasi identitas. Ketika suara menjadi komoditas politik, berlaku perang proxy dan aktivasi token bersama para influencer. Identitas berharga mahal.
“Sabet” (vote getter) maupun kelompok dalam suatu jaringan sosial, mempengaruhi perilaku politik anggotanya. Penjelasan mudah: Calon melakukan deal dengan Ketua Organisasi X, kemudian di dalam kelompok ini (Organisasi X) terjadi “aktivasi token”, besok mereka akan memilih Calon A. Para anggota sebenarnya mendapatkan “money politics” (entah dalam bentuk peran ketua mereka, fasilitas, kedekatan lobi, dll.). Bukan per anggota. Ini bisa terjadi dalam berbagai konteks, seperti keluarga, teman, komunitas lokal, atau jaringan profesional.
“Money Politics” sebagai Tekanan Jaringan Sosial
Bagian yang menarik, kalau kita bicara tentang beberapa aspek dan tekanan jaringan sosial dalam money politics.
Sebagian kelompok/organisasi sudah ada norma dan ekspektasi, bahwa mereka “akan” atau “harus”, tepatnya diharuskan untuk memilih calon tertentu. “Apa kata Pak X, itulah yang kita pilih”. Mantapnya, ini sering tidak tergoyahkan. Sampai akhirnya terjadi penandaan dari semua calon, bahwa Kelompok X sudah tidak bisa didekati karena di sana ada Pak X. Apa yang menjadi imbalan dan apa pilihan rasional dari Kelompok X untuk mendukung Pak X, tidak perlu kita bicarakan di sini.
Masih dalam frame yang sama, terjadi loyalitas dan keterikatan sosial, yang bisa menciptakan “tekanan jaringan” seperti ini. Politik identitas bermain. Alasan mereka memilih, bisa karena satu daerah, satu darah (keluarga besar), atau satu identitas.
Jangan dikira itu terjadi secara lunak. Tidak jarang, “dark psychology” bermain di sini. Ada himbauan lembut, namun sebenarnya merupakan ancaman, dengan menceritakan “konsekuensi negatif” yang akan terjadi, jika pilihan tidak mengarah ke Pak X. Apa yang disebut sebagai “loyalitas”, “solidaritas”, “kekeluargaan”, adalah nilai-nilai mulia yang kemudian bisa menjadi nilai-tukar politis bernama: “Pilih Pak X”.
Sampai sekarang saya belum pernah mendengar atau menyaksikan, ada satu kelompok kuat, yang mengajukan pilihan kepada seorang calon, tanpa ada permainan quid pro quo (memberi ini, dapat itu).
Bermain aman adalah cara bertahan-hidup ketika seseorang menerima tekanan jaringan. Kata “loyalitas” lebih mereka pilih daripada kata “pengkhianatan”, kata “solidaritas” tentu lebih bagus dari “kebencian”, dan “kekeluargaan” lebih baik daripada kata “musuh”. Bukankah ini “dark psychology” yang bermain?
Dukungan terhadap calon tertentu, bisa diikuti dengan imbalan sosial, seperti pengakuan, status, atau akses ke sumber daya. Jika sebaliknya, sanksi sosial terjadi: dikucilkan, dianggap “bukan kita”, dan tidak dapat akses ke sumber daya.
Tekanan ini memiliki dampak jangka panjang dalam pemberian sanksi sosial maupun dalam membentuk loyalitas politik dan identitas sosial yang lebih luas.
Efek yang diinginkan dari perang proxy dan aktivasi token adalah efek domino. Satu ikut, lainnya ikut. Satu orang berpengaruh di jaringan X ikut, anggota lain juga ikut. Terlepas dari preferensi pribadi mereka.
Teknologi sekarang semakin canggih. Sebenarnya, melaporkan terjadinya “money politics” itu mudah, mengingat orang sudah bawa ponsel dengan fitur kamera dan perekam bawaan.
“Money Politics” dalam Kemasan
Sebelum menyiapkan kamera dan perekam, jangan lupa siapkan keberanian dan pelajari aturan main.
Kita perlu melihat “kemungkinan” terjadinya money politics pada bentuk-bentuk berikut ini. Sekali lagi, saya tidak melancarkan tuduhan, ini hanya paparan tentang “kemungkinan” terjadinya money politics.
Kreativitas dalam ‘pembungkusan’ money politics dapat dilihat dalam berbagai bentuk, termasuk melalui program bantuan sosial, hibah, atau kegiatan amal. Ini sering dilakukan oleh aktor politik untuk menyamarkan praktik money politics, dengan tujuan mempengaruhi pilihan pemilih.
Berikut adalah beberapa bentuk money politics yang sering terjadi di lapangan:
- Pemberian Uang atau barang, secara langsung maupun tak-langsung kepada pemilih, sebagai “imbalan” untuk memilih calon tertentu.
- Penyediaan fasilitas, seperti transportasi gratis, untuk menghadiri acara politik.
- Bantuan sosial bersyarat, di mana bantuan seperti sembako atau bantuan keuangan, dengan harapan penerima akan memilih calon atau partai tertentu.
- Tidak jarang, sebagai [mantan] kepala daerah, menumpangi pemberian bantuan dari pemerintah, sebagai bantuan dari dirinya.
- Promosi jabatan tertentu dalam pemerintahan atau organisasi politik, juga berpeluang menjadi pintu masuk “money politics”.
- Dana proyek pemerintah atau dana resmi juga bisa dimainkan sebagai “money politics”. Janji yang sering dipakai, berupa pembagian proyek atau kontrak, alias “dijak mergawe” (diajak bekerja setelah terpilih) — ini artinya project bernilai ratusan juta sampai milyaran.
- Bukan rahasia, jika “politik mahar” juga bisa menjadi bentuk “money politics” di mana calon membayar kepada partai atau pemimpin politik sebagai syarat untuk mendapatkan nominasi atau dukungan dalam pemilu.
- Janji bantuan keuangan, membangun fasilitas (termasuk: gedung, kendaraan, dan musala, dll.) diiringi dengan koordinasi dengan para pengusaha, yang kelak akan ditukar dengan proyek dan perlakuan khusus.
- Yang kelas kecil, masih banyak. Pembagian voucher atau kupon (dengan selipan: foto dan specimen kartu suara), beasiswa dan dana pendidikan, penyediaan layanan kesehatan gratis (atau harga diskon), acara pentas seni dan komunitas, subsidi atau diskon untuk layanan produk tertentu, pembelian barang atau jasa dari bisnis milik pemilih, mengajak piknik bersama, pemberian hadiah atau souvenir, dll.
Saya akan lanjutkan tentang rumitnya “money politics” ini.
Psikologi Balas Budi
Uang memiliki sistem pengukuran yang mudah. Bahwa 100 ribu adalah 100 ribu. Jika kamu memiliki uang seribu rupiah, kamu bisa mendapatkan makanan enak, layanan ramah, tempat tidur empuk, namun sebatas yang bisa dilakukan uang seribu rupiah itu. Berbeda kalau uangnya 100 ribu.
Uang memiliki keterukuran jelas. Ada nilai nominal yang melekat. Bisa dikonversi menjadi kebaikan, balas budi, penghargaan, bukti, simpanan, memenuhi kebutuhan hidup, memberikan jam istirahat, peluang melakukan hal yang lebih banyak.
“Money politics” memberikan “reciprocity effect” (ini dikenal dalam psikologi dan marketing) di mana orang yang dapat uang merasa berhutang budi atau terikat secara moral untuk memilih calon yang memberikan uang.
“Saya sebenarnya tidak memilih karena uang, tetapi dia sudah datang duluan, dan memberikan penghargaan berupa uang. Lagi pula, dia orangnya baik. Jadi atau tidak, itu bukan urusan saya.”
Yang pasti, 100 ribu adalah 100 ribu, dan bisa menciptakan efek balas-budi, dan mengubah pilihan rasional politik seseorang.
Aliran yang Mengguncang Luar-Dalam
Aliran uang dari sumber asing, baik itu investor, pemerintah asing, atau organisasi internasional, bisa mempengaruhi praktik money politics. Hal ini menambah lapisan kompleksitas dalam dinamika pemilu lokal.
Aliran Dana dari Luar Negeri ke Caleg. Selasa, 16 Januari 2024, terkait penggunaan dana luar negeri untuk mempengaruhi pemilu di Indonesia, ada beberapa informasi yang relevan. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) telah menyampaikan temuan mengenai aliran dana dari luar negeri yang diterima oleh 100 calon anggota legislatif. Dugaan ini melibatkan transaksi ke rekening bendahara 21 partai politik, dengan peningkatan jumlah transaksi dari tahun 2022 ke 2023. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menyebutkan ada 9.164 transaksi pada tahun 2023, yang meningkat dari 8.270 transaksi pada tahun 2022. Namun, detail lebih lanjut mengenai partai atau individu yang terlibat belum dirinci secara spesifik.
Pemanfaatan Bantuan Sosial. Terdapat kecenderungan peningkatan alokasi anggaran perlindungan sosial menjelang pemilu, seperti yang terjadi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023, yang menunjukkan kenaikan anggaran bantuan sosial menjadi Rp 476 triliun. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah kebijakan tersebut merupakan tindakan populis, terutama menjelang Pemilu 2024, yang bisa dimanfaatkan sebagai alat kontrol politik demi memanen suara.
Kasus Pembagian Sembako. Ada insiden di Madura, di mana pembagian sembako oleh politisi disebut-sebut sebagai praktik money politics. Meski demikian, yang bersangkutan membantah tuduhan tersebut, menyatakan bahwa pembagian sembako tersebut merupakan bagian dari zakat mal, suatu kewajiban bagi seorang muslim yang sudah dilakukan rutin sejak 2006.
Pengaruh Money Politics pada Pemilu. Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amir Arief menekankan bahwa politik uang telah menyebabkan politik menjadi berbiaya mahal. Dari kajian KPK, keberhasilan dalam pemilu atau pilkada sangat dipengaruhi oleh kekuatan uang, dengan kontestan harus mengeluarkan dana besar untuk mahar politik. Ini mengindikasikan bahwa praktik politik uang tidak hanya terbatas pada pemilih, tetapi juga menyasar penyelenggara pemilu.
Perhitungan Kasar Sirkulasi “Money Politics”
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Rembang menetapkan 514 nama Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Rembang pada Pemilu serentak Tahun 2024. DCT ini terdiri dari 238 orang calon dari partai politik nasional dan 276 orang calon dari partai politik lokal.
- Jumlah Caleg Lokal: 276 orang.
- Suara Aman: 4200 suara.
- “Amplop” untuk Setiap Pemilih: Rp100.000,00
Total Kebutuhan “Amplop”: 276 caleg x 4200 suara x Rp100.000,00 = Rp115.920.000.000,00
Itu hanya untuk kebutuhan amplop. Angka 4200 itu relatif, biasanya akan ada “suara hilang” alias “tidak menetas” atau dengan kata lain: dikasih uang tetapi tidak memilih.
Tentu saja, tidak semua caleg itu jadi. Untuk Kabupaten Rembang, 276 caleg itu akan mengisi 45 kursi DPRD Kabupaten.
Masalahnya, ada perputaran uang yang melonjak, sampai Rp115.920.000.000,00 hanya untuk money politics berbentuk amplop. Tidak jarang, caleg yang sudah terkenal, terutama yang sudah pernah terpilih sebelumnya, mengeluarkan biaya lebih besar untuk kebutuhan selain amplop.
Dampak Transaksi yang Melonjak
Apa dampak transaksi yang melonjak ini?
Banyak pekerjaan ekstra- yang mendorong ekonomi lokal. Percetakan untuk materi dan alat peraga kampanye (terutama baliho), penyediaan tempat acara untuk pertemuan politik, transportasi lokal, restoran lokal, dll. Pekerjaan mendadak dengan upah instant, untuk permintaan kampanye, seperti: menjadi vote getter (sabet), saksi, relawan (volunteer), pemasang baliho, sewa mobil dan transportasi, live music, dll.
“Money politics” bukan sekadar pemberian amplop 100 ribu. “Money politics” adalah jaminan kekacauan yang merebak ke mana-mana, secara sosial-ekonomi.
- Konsumsi meningkat. Banyak orang dapat uang dengan mudah dan berbelanja dengan mudah. Tidak perlu saya jelaskan, apa efek dari meningkatnya konsumsi ini secara sosial.
- Jika peningkatan uang tunai tidak diimbangi dengan peningkatan produksi barang dan jasa, ini dapat menyebabkan inflasi, di mana harga barang dan jasa meningkat. Inflasi juga bisa terjadi karena meningkatnya permintaan secara keseluruhan, tanpa diimbangi dengan penawaran.
- Nilai tukar mata uang bisa berubah, tergantung jumlah. Bank sentral mungkin merespon peningkatan sirkulasi uang tunai dengan menyesuaikan tingkat bunga untuk mengontrol inflasi dan mempengaruhi pengeluaran dan tabungan.
- Jika peningkatan sirkulasi uang tidak didukung oleh pertumbuhan ekonomi nyata, ini bisa menciptakan ‘bubble’ ekonomi, di mana harga aset meningkat secara artifisial dan tidak berkelanjutan.
- Praktik “money politics” yang melibatkan penggunaan atau aliran dana tidak resmi dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, terutama jika terkait dengan korupsi atau penyalahgunaan dana publik.
- “Money politics dapat mendistorsi mekanisme pasar dengan mengalihkan sumber daya dari penggunaan yang lebih efisien, ke aktivitas yang dikaitkan dengan pemilu, seperti kampanye atau pembelian suara.
- Persepsi tentang ketidakstabilan politik dan ekonomi atau peningkatan korupsi dapat mengurangi minat investor asing dan menghambat arus FDI (Foreign Direct Investment) ke Indonesia.
- Money politics dapat menyebabkan pengalihan prioritas anggaran dari kebutuhan pembangunan penting seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, ke arah yang mendukung kepentingan politik jangka pendek.
- Dalam jangka panjang, money politics dapat merusak pondasi demokrasi dan menghambat pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
- Money politics pada tingkat nasional dapat menciptakan lingkaran setan di mana praktik korupsi dan ketidakadilan diperkuat, yang pada gilirannya dapat merusak stabilitas dan potensi pertumbuhan ekonomi negara.
Money politics bukan sekadar 100 ribu yang disodorkan kepada pemilih.
Saya menulis ini, dalam kesedihan, karena dalam memahami praktik pemilu di Indonesia, saya harus melihat kenyataan tentang selalu terjadinya “money politics”. [dm]