KEBUMEN (jatengtoday.com) – Meski bantuan alat dan mesin pertanian sudah banyak digelontorkan pemerintah, masih banyak petani yang bertahan dengan cara tradisional. Selain lahan garapannya yang kecil, para petani tradisional masih menganggap cara lama lebih efisien karena bisa sembari mengontrol tanaman pengganggu dan hama seperti keong emas.
Sejumlah petani di Desa Karanggayam, Kabupaten Kebumen merasa lebih untung menanam padi dengan cara tradisional alias tanpa alat dan mesin bantu. Dengan menanam benih padi terlebih dahulu, petani mengaku bisa memastikan kualitas benihnya sebelum terlanjur ditanam di sawah. Berbeda dengan menanam padi menggunakan mesin, benih langsung ditabur di sawah sehingga sulit di prediksi bagus atau tidak kualitasnya.
Selain itu, membajak sawah dengan tenaga kerbau atau sapi dianggap menghemat biaya karena tak perlu membeli bahan bakar, meski diakui prosesnya lebih lama. Ini mengingat tenaga binatang tidak bisa dipaksakan. Lalu, pada saat menanam bibit padi dengan cara menancapkan di sawah, bisa sembari mengontrol kondisi tanah, memeriksa keberadaan hama seperti keong emas. Karenanya, padi dalam bentuk bibit masih banyak yang membutuhkannya.
Petani benih padi Desa Karanggayam Sri mengatakan, benih padi mulai bisa dipanen sebagai bibit padi pada usia 18 hari. Harga jualnya Rp 5.000 per kilogram basah.
“Bibit padi ini kemudian akan ditanam secara manual dengan menancapkannya di sawah,” katanya.
Sri mengatakan, di desanya masih banyak petani yang lebih suka menggunakan cara tradisional. Karenanya, pada setiap menjelang musim tanam padi, ia selalu menanam benih padi untuk dijual sebagai bibit padi pada usia 18 hari. Beberapa benih padi yang ditanam pun beragam. Ada bibit Sintanur, Inpari 36, Rojo Lele dan sebagainya. (*)
Ditulis Aji Febrianto (mahasiswa Universitas Semarang)
editor: ricky fitriyanto