SEMARANG (jatengtoday.com) – PT Putra Ramadhan atau PT Tradha selaku korporasi yang didakwa atas kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (4/9/2019).
Dakwaan PT Tradha ini merupakan pengembangan dari kasus suap dan gratifikasi yang menjerat mantan Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad. KPK disebut baru pertama kali menangani perkara kasus TPPU yang dilakukan sebuah korporasi.
Di setiap persidangan, terdakwa PT Tradha diwakili oleh Direktur PT Tradha, Poniran.
Dalam amar putusannya, majelis hakim yang dipimpin Antonius Widijantono menjatuhkan vonis terhadap PT Trada dengan pidana denda sebesar Rp 500 juta.
Selain pidana pokok, hakim juga memberikan pidana tambahan. “Menjatuhkan pidana tambahan berupa penyitaan aset untuk negara berupa uang sebesar Rp 3,6 miliar, serta uang sebesar Rp 2,3 miliar,” ucap Antonius.
Uang dengan total Rp 5,9 miliar tersebut merupakan hasil korupsi yang mengalir ke PT Tradha.
Sebagaimana dalam dakwaan, ada dua perkara yang didakwakan. Dakwaan pertama terkait dugaan aliran dana yang diterima PT Tradha. Yaitu dari hasil keuntungan yang tidak sah atas pelaksanaan sejumlah pekerjaan di Kabupaten Kebumen. Jumlahnya mencapai Rp 3,6 miliar.
Uang tersebut diduga berasal dari Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, serta dana bantuan provinsi tahun 2017.
Adapun dakwaan kedua, PT Tradha diduga menerima aliran dana atas pungutan fee sejumlah proyek yang dibiayai oleh uang negara. Total fee yang masuk mencapai Rp 2,3 miliar.
Dana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang kemudian bercampur dengan keuangan milik PT Tradha, selanjutnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan PT Tradha serta pemilik utamanya, yakni Bupati Kebumen.
Selain pidana tambahan berupa penyitaan uang, majelis hakim juga menjatuhkan pidana terhadap PT Tradha berupa sanksi.
“Menjatuhkan pidana tambahan berupa pelarangan mengikuti kegiatan pelelangan dan pengadaan barang-barang besar selama 3 tahun,” tandas hakim Antonius.
Atas putusan tersebut, perwakilan PT Tradha menyatakan untuk pikir-pikir terlebih dahulu. Begitu pula dengan sikap jaksa KPK yang mengaku harus berkoordinasi dulu dengan atasan. (*)
editor : ricky fitriyanto