in

Pertunjukan ‘Nenek Tercinta’, Cuplik Kisah Masa Senja Gila Harta

SEMARANG (jatengtoday.com) – Seorang nenek renta itu seringkali terlibat cekcok dengan anak dan menantunya. Harta dan kekayaan menjadi api yang membakar tali ikatan keluarga. Nyaris setiap hari, sang nenek terus khawatir bila kunci tempat penyimpan barang berharga miliknya hilang dicuri.

Sehingga kunci-kunci itu ia simpan di tempat yang menurutnya aman. Bahkan nenek tersebut tak segan menuduh kunci itu hilang, padahal lupa menaruh.

Lastri, anaknya dan Masiroh menantunya bersekongkol untuk menghabisi nyawanya. Anehnya, hal itu dilakukan dengan cara mistis, melalui perantara dukun santet. Niat jahat itu, ditentang keras Laila, cucu kesayangan nenek.

Sayangnya, dukun yang dipercaya akan mempercepat kematian nenek lewat mantra itu merupakan dukun palsu. Bahkan, ia membawa kabur sebuah kotak yang diduga berisi harta kekayaan milik sang nenek. Masa senja kehidupan nenek itu diwarnai polemik keluarga hingga usianya menginjak usia ke-100 tahun.

Itulah cuplikan kisah yang ditampilkan dalam pementasan teater berjudul “Nenek Tercinta” oleh Teater Kresna SMAN 1 Welahan, Jepara. Kelompok tersebut menjadi salah satu penampil dalam gelaran festival drama di Upgris Semarang, Selasa (23/4/2019). Naskah karya Arifin C Noor itu dibawakan secara dramatik dengan mengusung konsep realis.

Setting panggung terlihat dinding dilengkapi pernak-pernik rumah. Ruang tamu dilengkapi set meja kursi, akuarium berisi ikan, serta vas bunga. “Kami memilih naskah ini karena dekat dengan persoalan di lingkungan kami. Persoalan harta, warisan, dan praktek perdukunan,” papar sutradara Wikha Setiawan.

Namun, lanjut Wikha, bukan berarti Teater Kresna hendak menghakimi kondisi itu. Ia mengaku hanya ingin menggambarkan permasalahan kehidupan yang dekat dengan masyarakat. “Teater adalah nilai-nilai, sehingga kami memberikan kebebasan bagi penonton untuk menilai,” katanya.

Terlepas dari alur itu, lanjut dia, teater menjadi ruang anak-anak terutama pelajar untuk belajar mengenal lingkungan dan masa depan. “Setidaknya ada nilai-nilai kemanusiaan yang tertanam bagi mereka (pelajar) yang ikut dalam kegiatan teater,” ujarnya.

Namun, dari sisi teknis pementasan, terlihat pencahayaan dan ilustrasi musik yang kurang menyatu di beberapa adegan pementasan. Aktor yang kerap lepas dari titik sorot pencahayaan, sehingga hal itu membuat aktor kehilangan disiplin panggung. (*)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis