COVID-19 datang, 3 keadaan buruk di bidang ekonomi, terjadi: resesi ekonomi, meningkatnya angka pengangguran, dan melambatnya pembangunan manusia.
COVID-19 merupakan virus yang menyerang pada saluran pernapasan dan memiliki beragam manifestasi klinis, sangat cepat menyebar melalui interaksi manusia dan menyebabkan kematian. Sampai saat ini kasus yang terkonfirmasi terpapar COVID-19 masih besar. Per Desember 2020 sudah tercatat virus ini menginfeksi 82 juta orang dan membunuh hampir 1,8 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2020).
Bagi masyarakat umum agaknya lebih mudah mengingat 2020 sebagai tahun COVID-19. Alasannya sederhana, pandemi COVID-19 memaksa kehidupan abnormal yang serba sulit bahkan bagi sebagian untuk memenuhi kebutuhan dasar. Hampir semua kantor, tempat usaha, sekolah, tutup atau sangat dibatasi. Akibatnya, kegiatan ekonomi dan ketenagakerjaan menyurut.
Dampak PSBB Pengaruhi Ekonomi
Ekonomi Jawa Tengah pada triwulan I-2020 sudah terjadi perlambatan yang disebabkan ditutupnya akses global. Negara luar mulai membatasi ekspor dan memilih fokus untuk pertahanan di negaranya pada masa pandemi, sehingga mengganggu perdagangan luar negeri. Industri mulai kehilangan pasokan bahan baku dan pasaran untuk produksinya. Imbasnya, terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau merumahkan karyawannya karena proses produksi mulai melambat.
Mulai pemberlakuan PSBB pada bulan Maret 2020, menambah semakin carut marutnya perekonomian di Jawa Tengah dan tercatat resesi pada dua triwulan terakhir sebesar -5,92 dan -3,93 % (BPS,2020). Kontraksi etumbuhan ekonomi Jawa Tengah disebabkan melemahnya daya beli masyarakat dan merosotnya nilai investasi Jawa Tengah yang menjadi penopang ekonomi, hingga level -0,62% dan -10,78%. Perdagangan luar negeri juga terimbas dari dampak PSBB tingkat dunia. Sehingga industri Jawa Tengah ikut terguncang karena tidak tersedia bahan baku untuk diolah.
Industri mempunyai kontribusi cukup tinggi dalam penyerapan tenaga kerja di Jawa Tengah sebesar 22,32% tahun 2019. Tahun 2020 kontribusinya tinggal 20,64%. Selain Industri, hampir semua sektor perekonomian kecuali pertanian, informasi dan komunikasi dan jasa kesehatan terguncang dan berimbas pada tenaga kerja.
Dari total penduduk usia kerja di Jawa Tengah sebanyak 27,01 juta orang, persentase penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19 sebesar 14,68%. Dengan rincian ada 377 ribu orang menganggur, 273 ribu orang tidak bekerja dan 3,19 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.
Pandemi COVID-19 Pengaruhi Capaian Pembangunan Manusia
Pada tahun 2019 Indikator Pembangunan Manusia (IPM) di Jawa Tengah mengalami peningkatan dan setelah ditelusuri terjadi peningkatan IPM selama 10 tahun terakhir dengan rata-rata pertumbuhan 0,92 % per tahun. Pada Tahun 2020, pandemi COVID-19 muncul dan mengakibatkan IPM mengalami perlambatan dengan pertumbuhan hanya 0,2%.
Kondisi pandemi mengurangi kualitas ekonomi rumah tangga yang tercermin dari turunnya komponen ekonomi dari pembangun IPM yaitu pengeluaran penduduk per kapita per tahun (PPP) atau daya beli masyarakat. Semua kabupaten/kota di Jawa Tengah mengalami penurunan daya beli dengan Kota Semarang paling terdampak penurunannya sebesar 307 ribu rupiah.
Penurunan daya beli ini tidak saja terjadi pada masyarakat yang terdampak langsung. Untuk golongan masyarakat menengah ke atas juga terjadi pengurangan daya beli. Bukan karena mereka tidak mempunyai uang namun lebih kepada menjaga kesehatan untuk tidak belanja keluar dan menghemat belanja tersier untuk menjaga keuangan, karena tidak tahu sampai kapan pandemi akan berakhir. Ini yang menyebabkan semakin terpuruknya konsumsi rumah tangga yang menjadi pondasi pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah.
Penurunan daya beli pada masyarakat terdampak, akan berimbas pada kekurangan pangan dan asupan gizi pada masyarakat. Kurangnya asupan gizi berimplikasi pada penurunan kesehatan dan bermuara pada rendahnya kualitas pendidikan.
New Normal dan Penyesuaian PSBB
Praktis setelah 3 bulan melewati masa tanggap darurat dan PSBB, pemerintah mulai menjajaki penerapan kehidupan normal baru (new normal) dan melonggarkan PSBB untuk mengatur roda perekonomian tetap berjalan. Masyarakat menjalankan aktivitas ekonomi namun tetap berpedoman pada protokol kesehatan yaitu menggunakan masker, cuci tangan dan jaga jarak.
Meskipun perekonomian Jawa Tengah masih tumbuh negatif pada triwulan 3-2020, namun sudah ada geliat ekonomi bangkit. Jika melihat ekonomi secara musiman, kondisi ekonomi Jawa Tengah sudah tumbuh di kisaran 4 %. Aktivitas yang mulai menggeliat adalah transportasi dan pergudangan, penyedia akomodasi makan dan minum dan jasa lainnya. New Normal mengaktifkan kembali tempat-tempat wisata Jawa Tengah. Pariwisata merupakan ekonomi pelapis kedua di Jawa Tengah di saat industri masih lesu.
Menjelang akhir tahun 2020, diharapkan Jawa Tengah sudah bisa terbebas dari resesi ekonomi. Sinyal positif ini ditandai dengan meningkatnya penumpang penerbangan domestik yang datang ke Jawa Tengah naik 23,64 %. Daya beli masyarakat yang tercerrmin dari angka inflasi bulan Oktober dan November 2020 pada kisaran 0,17 – 0,18 %. Pada masa PSBB Jawa Tengah mengalami deflasi dan inflasi sangat kecil di kisaran 0,02 % pada awal penerapan new normal.
Penyesuaian Program
Skenario pembangunan Jawa Tengah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi 7 % pada tahun 2023. Tentu ini sangat sulit untuk mewujudkan di tengah terpaan pandemi tahun 2020. Perlu penyesuaian program untuk mengakomodir kehidupan normal baru dalam ancaman COVID-19.
Secara makro, pemulihan konsumsi domestik sangat dipengaruhi dengan stabilitas keamanan dalam hal ini jaminan kesehatan. Konsumsi Jawa Tengah didominasi oleh 60 % penduduk dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Penduduk golongan ini sangat mengutamakan kesehatan. Adanya vaksin COVID-19 setidaknya memberi angin segar untuk mendorong konsumsi rumah tangga kembali normal.
Secara mikro, yang didominasi oleh penduduk dengan ekonomi bawah bantuan sosial menjadi andalan untuk mengungkit konsumsi rumah tangga ini. Dengan adanya pandemi COVID-19 tidak semua mempunyai efek buruk. Hikmah dari COVID-19, masyarakat dihadapkan pada adaptasi baru. Masyarakat dipaksa bisa beradaptasi dengan teknologi dalam menjalankan ekonomi dan menerapkan jaga jarak. Hal ini menjadi penghematan yang luar biasa. Tidak perlu biaya mahal untuk melakukan aktivitas ataupun marketing usaha. Keadaan ini seharusnya menjadi salah satu program yang direncanakan untuk meningkatkan perekonomian dengan melatih masyarakat ekonomi bawah lebih melek IT.
Jika perlu, bantuan sosial langsung untuk petani dan umkm mengarah pada perkembangan teknologi. Tidak hanya bantuan uang atau barang untuk meningkatkan produksi, namun bimbingan sekaligus alat untuk memasarkan produksi secara digital. Karena selama ini kelemahan sektor pertanian dan umkm ada pada pemasaran dan distribusi yang lemah.