SEMARANG (jatengtoday.com) – Masyarakat Kampung Bustaman Semarang kembali menggelar tradisi tahunannya yakni Gebyuran Bustaman, Minggu (3/32024).
Gebyuran Bustaman ini digelar setiap jelang memasuki bulan ramadhan dan tercatat sudah diadakan sebanyak 14 kali.
Tujuan dari tradisi Gebyuran Bustaman ini tak lain untuk membersihkan diri sebelum puasa.
Ketua Acara Kampung Bustaman Dheni Fattah mengatakan jika gebyuran Bustaman memang bermula dari kepercayaan masyarakat menjadi sebuah tradisi baru di kampung kota.
“Gebyuran Bustaman dirintis pada tahun 2013. Tradisi ini berasal dari kebiasaan Kyai Kertoboso Bustam, leluhur Raden Saleh di Semarang, yang memandikan cucunya menjelang Ramadhan,” ungkapnya.
Lebih lanjut Dheni mengungkapkan Gebyuran Bustaman diinisiasi oleh warga Bustaman dan Kolektif Hysteria, acara ini tumbuh menjadi upacara yang terus berlangsung hingga hari ini.
Belakangan, Pemerintah Kota Semarang mendukung kegiatan ini baik secara finansial maupun menjadikannya bagian dari rangkaian Semarang Menyambut Ramadhan.
“Gebyuran Bustaman kini diusulkan pada Kemendikbud untuk menjadi warisan budaya tak benda,” pungkasnya.
Meski puncaknya pada Minggu 3 Maret 2024 ini, namun Gebyuran Bustaman sudah digelar dengan rangkaian sejak Jumat 29 Februari 2024 lalu.
Selain acara tradisi ada sejumlah penampilan musik dan atraksi budaya mulai dari Udin Lar, Goldthief, WOL, Stevian Yudhistira, Bronx, Topeng Ireng Kaya Rimba, Diajeng Semarang dan Kerabat Raden Saleh.
Sementara dari Sesepuh Kampung Bustaman, Hari Bustaman menuturkan semua prosesi gebyuran memiliki makna.
Misalnya saat hendak masuk kampung semua peserta, baik warga kampung maupun masyarakat umum mukanya bakal dicoreti.
“Coretan itu perlambang dosa. Perwujudan dari diri kita yang sudah cukup banyak tercoreng,” ungkapnya.
Kemudian setelah dicoret-coret, akan ada prosesi siraman anak-anak kampung. Siraman ini sebagai simbol asak muasal tradisi gebyuran bermula yang dilakukan oleb Kyai Bustam.
Setelah selesai simbolis gebyuran anak-anak, lalu semua orang saling melempar air.
“Setelah itu ada ritual gebyuran. Gunanya implementasi dari bersih dosa. Menjelamg puasa. Dosanya lebur,” paparnya.
Warga saling melempar bungkusan air yang berwana-warni. Bungkusan-bungkusan ini juga sebelumnya sudah disiapkan dengan diberi pewarna.
Sepanjang prosesi, semua orang yang berada di kampung itu basah kuyup. Tidak tua dan muda, semua hanyut dalam serunya gebyuran Bustaman.
Usai acara, peserta secara bersama-sama makan Gule Bustaman sebagai hidangan khas di Kampung Bustaman yang terkenal juga sebagai kampung jagal kambing.
Hari pun sedikit bercerita jika kampungnya punya sejarah panjang. Kampung yang berada di Jalan MT Haryono itu adalah hadiah dari Belanda pada 1740 kepada Kyau Bustam.
Setelah diberi, Kyai Bustam membuat sumur pada 1742. Kemudian setelah sumur jadi, Kyai Bustam sering memandikan cucu-cucunya secara sakral menjelang bulan puasa.
“Dari sumur itu Kyai Bustam nggebyuri cucu-cucunya menjelang bulan puasa. Di situ dipertahankan sampai sekarang. Usia gebyuran ini sudah 300 tahun lebih tapi kami hidupkan lagi mulai 2013. Ini yang ke-14. Jatuh hari minggu sebelum puasa,” paparnya. (*)