in

Perselisihan Gaji dan Pesangon PT Masscom Graphy Buntu, Apindo Siap Bantu

SEMARANG (jatengtoday.com) – Nasib 95 karyawan PT Masscom Graphy yang dirumahkan sejak 1 Mei 2018, hingga sekarang tak menentu. Negosiasi yang dilakukan belum ada titik temu.

Pasalnya, hak gaji selama tiga bulan dan pesangon karyawan hingga Agustus 2018 tidak dibayarkan. Para karyawan tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa menunggu kabar baik dari pihak perusahaan.

Direktur Utama PT Masscom Graphy, Heru Djatmiko, saat dikonfirmasi jatengtoday.com melalui telepon genggamnya terkait permasalahan 95 karyawannya juga enggan memberikan klarifikasi.

“Saya minta maaf, saya mau misa ke gereja. Lain waktu saja, minta maaf ya,” katanya sembari buru-buru menutup teleponnya, Minggu (2/8/2018).

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng, Frans Kongi meminta agar setiap perselisihan antara pengusaha dengan karyawan bisa diselesaikan melalui jalur musyawarah.

“Saya memang belum tahu persoalan PT Masscom Graphy sebenarnya. Tapi prinsipnya kalau terjadi perselisihan di dalam perusahaan antara pimpinan perusahaan dengan buruh, seyogyanya diselesaikan secara musyawarah mufakat. Itu prinsip pertama,” katanya.

Dikatakannya, kalau memang masalah antara buruh dan pengusaha di dalam perusahaan belum bisa diselesaikan, maka perlu meminta bantuan pemerintah. “Dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja untuk menjembatani. Perlu diurai, apa permasalahannya, kesulitan perusahaan macam apa, keadaannya macam apa. Seperti misalnya gaji belum dibayar, kenapa itu. Ini prinsip-prinsipnya,” katanya.

Tetapi misalnya meminta bantuan dari Apindo, pihaknya juga siap untuk membantu dengan pemikiran-pemikiran. “Kalau misalnya perusahaan itu dijual, ini ngomong umum ya, mestinya perlu dilihat perjanjian jual belinya macam apa. Dalam praktik sehari-hari memang harus begitu. Misalnya perusahaan saya, saya jual kepada pengusaha A, mestinya ada perjanjian jual beli. Kalau perjanjiannya karyawan tersebut menjadi tanggungan pengusaha A, maka gaji dan pesangon menjadi tanggungan pengusaha A. Maka saya tidak punya tanggung jawab lagi itu,” katanya.

Menurut dia, setiap perusahaan kalau masih memiliki uang bisa dipastikan akan terus berjalan. “Sebaliknya, kalau sama sekali perusahaan tidak ada uang, utangnya banyak, maka otomatis berhenti sehingga mengakibatkan karyawan terkatung-katung,” katanya.

Persoalannya, kata dia, sekarang ini Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai ketenagakerjaan mewajibkan perusahaan membayar pesangon. Adanya pesangon selama ini menjadi momok menakutkan bagi pengusaha.

“Pesangon tersebut sangat berat bagi dunia usaha. Kalau ada uang, dia akan jalan terus. Tapi kalau tidak ada uang bagaimana bisa berjalan? Apalagi bayar pesangon? Ini permasalahannya,” ungkapnya.

Apindo saat ini sudah mengusulkan kepada pemerintah untuk mengubah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang pesangon itu. “Sekarang kami pikirkan lagi bagaimana melindungi pekerja, kita pikirkan bersama. Sekarang ini ada iuran pensiun, campur aduk semua. Maka kami dari Apindo meminta agar ada ketegasan. Kalau ada pensiun jangan ada pesangon lagi. Ini double-double bikin pengusaha kepala pusing mas. Betul itu,” katanya.

Hampir rata-rata, lanjutnya, perusahaan tidak sanggup membayar pesangon sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2003. “Karena UU ini dibuat dalam keadaan emosional. Menteri Tenaga Kerja dulu dari serikat buruh, sehingga emosional. Sebab, di dalam praktik tidak ada pengusaha yang mampu melaksanakan ini,” kata dia.

Apindo sudah mengusulkan UU tersebut untuk dicabut dan direvisi. Saat ini sudah dikaji di DPR RI. “Itu harus ditinjau, kita ini harus realistis. Ambil contoh, PT Nyonya Meneer karyawannya terkatung-katung, mana mungkin bisa bayar pesangon? Bayangkan 2.000 orang. Ini realitas yang harus dicari pemecahannya,” ujar Frans.

Kembali ke permasalahan PT Masscom Graphy, Frans sekali lagi mengingatkan agar perselisihan antara perusahaan dan karyawan dirundingkan bersama. “Tidak bisa hanya mencari (solusi) di Dinas Tenaga Kerja,” katanya.

Sebelumnya, Human Resource Department (HRD) PT Masscom Graphy, Ratmoko, mengatakan perusahaan itu sudah dijual senilai Rp 66 miliar. “Tetapi perusahaan dengan berbagai cara tidak mau memberikan hak pesangon dan gaji kepada karyawan,” katanya.
Perundingan demi perundingan antara pihak perusahaan dengan karyawan telah dilakukan beberapa kali. Mulai negosiasi Bipartit hingga Tripartit. Bahkan telah dilakukan negosiasi Tripartit sebanyak lima kali tidak menuai hasil.

Pada Tripartit ketiga, yakni 24 April 2018, terjadi perundingan, isinya karyawan resmi dirumahkan selama tiga bulan dengan gaji 75 persen dari take home pay.

“Setelah tiga bulan dirumahkan, gaji kembali 100 persen. Bila memungkinkan diPHK dengan pesangon. Itu perjanjian Tripartit-nya,” ungkapnya.

Keputusan Tripartit tersebut baru berjalan satu bulan, gaji 75 persen tersebut memang diberikan. Tetapi bulan kedua dan ketiga setelah dirumahkan, mereka tidak membayar gaji dengan alasan mau menjual mesin cetak milik perusahaan.

Tripartit keempat, juga tidak menghasilkan keputusan jelas. Sebab, dari pihak perusahaan PT Masscom Graphy hanya dihadiri tiga orang petinggi perusahaan, yakni Direktur Utama Heru Djatmiko, Ari Santoso dan Budi Susanto. Mereka mengaku tidak memiliki wewenang memutuskan segala suatu tentang masalah ini.

Setelah itu, Tripartit Kelima, pihak Disnakertrans mengundang Wakil CEO Suara Merdeka, Heru Kuncoro, tanggal 27 Agustus 2018 untuk dimintai keterangan. Tetapi Wakil CEO tidak mau datang.

Jumlah karyawan PT Masscom Graphy ada dua tahap, yakni karyawan aktif berjumlah 95 orang. Tetapi sebelumnya ada masalah karyawan pensiun yang juga belum dibayarkan. Kalau ditotal seluruhnya jumlahnya kurang lebih 180-an karyawan.

Namun yang pensiun itu sudah diberikan pesangon dengan cara diangsur selama 4 tahun. “Ada yang baru berjalan 4 bulan, 1 tahun, gaji selama tiga bulan juga tidak dibayar,” katanya.

Meski begitu, Ratmoko hanya menangani masalah gaji untuk 95 karyawan aktif. (*)

editor : ricky fitriyanto

Abdul Mughis