SEMARANG (jatengtoday.com) – Monumen Ketenangan Jiwa di Pantai Baruna Semarang menjadi salah satu petilasan Pertempuran Lima Hari di Semarang. Sayang, monumen penuh aksara Jepang yang menyimpan sejarah itu dilupakan. Pemkot Semarang pun enggan mengurusinya.
Story Teller sejarah Semarang, Jongkie Tio menilai, upacara Peringatan Lima Hari di Semarang setiap 14 Oktober, juga perlu digelar di Monumen Ketenangan Jiwa. Tidak hanya di Tugu Muda.
“Tidak tahu, kenapa Pemkot tidak mau ke situ (Monumen Ketenangan Jiwa, Red). Padahal ada titik sejarah,” ucapnya, Senin (14/10/2019).
Dia menyesalkan jika ada tonggak sejarah di Kota Semarang yang hilang. “Sudah banyak tempat-tempat sejarah di sini yang hilang. Kita jangan sampai lupa sejarah agar tidak mengulang apa yang salah,” imbuhnya.
Dia bercerita, setelah monumen berupa tumpukan batu ini diresmikan mendiang Wali Kota Semarang, Soetrisno Soeharto 14 Oktober 1998 silam, banyak warga Jepang yang datang untuk menggelar upacara penghormatan.
“Banyak yang datang. Pendeta Buddha dari Jepang juga ada. Upacaranya sangat khusyuk,” bebernya.
Hingga saat ini, lanjutnya, masih ada warga Jepang yang datang ke Monumen Ketenangan Jiwa saat peringatan Pertempuran Lima Hari. Tapi sudah tidak sebanyak dulu.
Sayang, tidak ada perhatian dari pihak pemerintah. Terlihat dari kondisi sekitar monumen yang tak terurus. Akses menuju monumen sangat sempit. Kontur tanahnya juga menjadi catatan tersendiri. Tidak bisa dilalui menggunakan mobil.
“Dulu di sana ada banyak bangunan. Ada yang untuk toilet dan tempat istirahat. Sekarang sudah tidak ada. Malah untuk tempat pacaran,” paparnya.
Jongkie mengaku pernah ngobrol dengan Aoki Masafumi, seorang Perwira Jepang yang menjadi saksi Pertempuran Lima Hari di Semarang, terkait keberadaan Monumen Ketenangan Jiwa. Dikatakan, monumen ini dibangun menghadap istana tempat Kaisar Jepang tinggal.
“Memang dibangun di dekat pantai karena orang Jepang percaya, arwah kalau di tempat lapang lebih baik. Tidak terganggu gedung-gedung,” bebernya.
Dia menyangkal jika monumen itu merupakan tempat dibantainya warga sipil Jepang yang lari dari Weleri dan Kendal oleh pemuda Semarang. “Tidak ada mayat yang dikremasi di situ. Itu hanya monumen saja,” tandasnya. (*)
editor : ricky fitriyanto